Relationship

Hendy Setiono, Idealisme sang Raja Kebab

Roni Yunianto
Rabu, 2 Oktober 2013 - 08:52
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Mengawali usaha dengan kesederhanaan, tak lantas membuat Hendy Setiono minder dan menyerah. Gairah, idealisme, dan jiwa entrepreneurship mendorong bisnisnya untuk semakin berkembang.

Kini CEO Grup Baba Rafi Enterprise ini pun giat memotivasi kalangan muda. Berikut wawancara Bisnis dengannya baru-baru ini. Petikannya:

Bagaimana kisahnya ketika Anda memutuskan menjalankan bisnis ini?

Tepat 10 tahun lalu, [September 2003] saya memulai bisnis ini, tentu serba terbatas dan apa adanya. Jadi sebenarnya karena kondisi saya yang saat itu masih kuliah di ITS dan saya dalam kondisi masih mencari jati diri, jujur saya belum tahu memilih profesio­nal atau wirausaha.

Inspirasi justru saya dapatkan saat saya berkunjung ke Timur Tengah, tanpa pemikiran atau tujuan mencari ide bisnis.

Di Qatar, orang tua saya bekerja sebagai karyawan dan ibu saya juga seorang guru, mereka berdua tinggal di sana. Saat berlibur, dari situlah saya melihat langsung makanan kebab yang di Indonesia belum dijumpai. Ini suatu yang unik dan baru. Setiap turun dari apartemen orang tua, ada satu stan yang jual kebab dari situlah cikal bakal saya merasakan langsung sensasi makan kebab. Cukup lama, liburan selesai saya balik kuliah seperti biasa.

Dari situ lalu dorongan untuk mulai berbisnis muncul selalu ini yang mulai mengganggu konsentrasi kuliah saya dan mulai mendirikan outlet yang pertama di Semolo Waru, dekat tempat tinggal saya di Surabaya, dengan modal Rp4 juta.  Tidak besar. Dengan Rp4 juta dapat apa sih, outlet ini juga berbentuk rombong kayu biasa, yang belum ada branding atau mereknya. Itu yang mengilhami pertama kalinya.

Kemudian dengan istri saya bangun bisnis ini bersama-sama. Murni awalnya dari sebuah gagasan seorang mahasiswa yang belum tahu mau ngapain dan masih mencari jati diri dan mencoba berbisnis sendiri, ha-ha-ha.

Sejauh mana perkembangan kebab saat itu?

Ada, tetapi masih dijajakan secara tradisional di kampung Arab, yang dimiliki sendiri atau yang juga sekaligus jualan. Saat itu saya lihat ini sebagai suatu celah, wah ini akan bisa menjadi makanan yang booming nantinya. Kalau mi dari China bisa booming, martabak dari India bisa booming, maka saya pikir kebab pun bisa.

Apakah Anda membuat semacam riset?

Memang rasanya sudah kami modifikasi, sekembalinya ke Indonesia tidak langsung saya menggunakan menu atau resep yang sama dengan yang di Qatar, karena tidak cocok dengan lidah orang kita. Ada rasa cengkehnya, kapu laganya, bagi orang kita tidak terbiasa dengan rasa ini. Jadi dari dapur rumah biasa, kami modifikasi dengan bumbu-bumbu lokal khas Jawa dan setelah diujicobakan beberapa kali ternyata disukai.

Berapa lama risetnya?

Tiga bulan. Kebetulan saya tidak ada background memasak. Resepnya sendiri dari yang saya pelajari dari Qatar lalu kemudian coba kami olah lagi disini. Lalu ketemu formula dasarnya dan kami pekerjakan satu karyawan yang kami pekerjakan untuk berjualan di outlet.

Backgound pendidikan informatika tetapi Anda menimba pengetahuan di luar itu?

Konteksnya seklah bukan gelar yang diraih tetapi ilmu, ilmu sendiri suatu yang mutlak dan penting. Ke­­­tika saya merasa bidang studi saya tidak sesuai arah masa depan yang saya bidik yaitu usaha kuliner maka dengan segera saya putuskan untuk tidak saya lanjutkan, karena sekolahnya informatika enggak nyambung akhirnya saya ambilnya short course, yang ternyata lebih berguna buat usaha saya.

Saya ikuti short course di Jepang, Korea, Sri Lanka, dan Amerika Serikat selama 3 bulan untuk certified di bidang manajemen.

Ilmu apa saja yang Anda ambil di luar negeri?

Lebih spesifik bidang bisnis dan manajemen, franchising, tentang bagaimana paradigma UKM dalam berbisnis, materi tentang perdagangan, ekspor impor. Saya berpikir short course lebih aplikatif untuk mendukung bisnis. Intinya pendidikan tidak boleh berhenti.

Biaya pelatihan itu equal juga dengan jika saya kuliah sampai S-2. Di Paradigma saya ketika itu berpikir bagaimana sebagai CEO, bagaimana perusahaan berjalan, bagaimana usaha kelas UKM bisa scalling-up naik kelas ke usaha kelas menengah dan sebagainya. Ilmu ini yang saya geluti.

Sekarang sudah mulai banyak sekolah entrepreneur, pandangan Anda?

Tentu signifikan. Itu membentuk pola dasar berpikir, kalau selama ini umumnya kuliah-lulus-kerja di perusahaan asing atau swasta. Namun, kini rupanya ada pelatihan yang men-support bagi yang ingin berwirausaha.

Sepuluh tahun lalu tidak ada sekolah yang fokus dengan entrepreneurship di Indonesia. Sekarang ada. Kebetulan saya penggagas dan chairman di Global Student Entrepreneur Award, kompetisi wirausaha di tingkat mahasiswa. Di sini  pemenangnya berangkat ke Kuala Lumpir 5 orang, lalu pemenangnya satu orang akan diberangkatkan ke Washington DC, AS untuk mengikuti global final di sana dengan peserta dari negara lain.

Ternyata finalis yang masuk 15 besar di Indonesia itu didominasi dari Universitas Ciputra. Ini memang ternyata mereka sudah di-challenge untuk berbisnis selagi kuliah, ini yang membuat mereka berhasil dan sukses.

Seberapa jauh wirausaha diminati kalangan muda?

Saya juga dipercaya di Kadin sebagai ketua komite pengembangan wirausaha. Salah satu rule yang saya mainkan adalah meng-encourage dan mengajak generasi muda untuk berwirausaha.

Ini berbeda dengan kondisi 10 tahun lalu, di antara teman-teman saya yang lalu kuliah di ITS tidak ada yang bercita-cita menjadi wirausaha. Dulu image sukses itu kalau kerja di multinational. Passion saya tidak ke sana. Nah, tren 5 tahun terakhir sudah berubah, baik di ITS maupun universitas lain.

Di ITB sedikit berbeda, entrepereneurship-nya dikombinasikan dengan teknologi dan keilmuan yang mereka miliki maka banyak bidang usaha seperti energi terbarukan, energi alternatif dan yang berkonsep business plan tetapi untuk masa depan yang tidak langsung diaplikasikan di saat sekarang, ini bagus juga karena kita butuh mindset entrepreneur di semua lini.

Sekarang ini setiap ke kampus saya bertanya siapa yang bercita-cita wirausaha, ternyata mahasiswa sudah memilih ini sebagai cita-cita utama. Bahkan, anak-anak UI yang magang di sini mengatakan mereka bangga bisa jualan kopi di kampus tidak malu lagi seperti zaman saya ha-ha-ha.

Virus entrepreneur menular?

Adik saya pun berwirausaha di bidang online dan sudah memiliki 30 karyawan. Sementara yang saya pelajari dari orang tua adalah mereka mengajarkan saya untuk bebas dan bertanggung jawab. Di keluarga tidak ada darah entrepreneurship, namun orang tua sudah menangkap jiwa bisnis saya karena saya membisniskan aksesoris dan modifikasi sepeda motor. Mereka memahami saya cocoknya berwirausaha.

Berapa negara yang punya kebab?

Kebab sendiri sudah cukup ba­­nyak di Timur Tengah, tetapi yang terkenal di Istanbul Turki di sana pakai daging domba. Karena dimodifikasi, di sini tidak pakai domba, tetapi pakai ayam, domba kurang diminati jadi murni yang lokal yaitu kebab sapi dan kebab ayam.

Ada brand kuat di luar?

Sudah ada 20.000 penjual kebab di seluruh Eropa, sudah terkenal tetapi tidak ada yang berbentuk jaringan usaha, atau outlet ritel tidak ada sehingga kami berani masuk ke sana. Kami gunakan rempah-rempah dari Indonesia ternyata lebih diminati.

Lalu kami lakukan beberapa riset dan kami juga punya beberapa riset oleh lembaga bisnis. Alhamdulillah untuk Asia, kami nomor satu dengan 88% market share.

Dari Wikipedia, di paragraf pertama sudah terkandung kebab Turki Baba Rafi sebagai the biggest kebab chain, mereka meng-aknowledge merek Indonesia.

Dari mana ide nama Baba Rafi?

Anak saya tiga masing-masing saya buatkan perusahaan. Inspirasi Baba Rafi itu dari nama anak saya yang pertama, baba rafi artinya ba­­paknya Rafi ha-ha-ha, inspirasinya dari situ.

Bagaimana daya saing usaha?

Ini bentuk idealisme anak muda, tren sudah bergeser. Banyak pelaku UKM sekarang yang meski mulai dengan modal tidak besar dengan pendidikan yang fokus pada sekolah bisnis bisa kembangkan bisnisnya dengan optimal. ini saya istilahkan street fighter.

Siapa lagi yang akan memajukan jika bukan kita sendiri tentu saja saya memiliki visi dan impian yang besar tidak saja Baba Rafi saja tapi juga pelaku usaha lain bersama-sama membuat negara kita makin kuat. 

Kita kuat karena jumah pendu­­duknya banyak, income per kapita juga tinggi, sehingga jika punya pro­­duk kita jual di market kita sendiri saja laku, tidak bergantung pada dolar.
Beda dengan negara-negara yang basisnya hasil alam dan industri yang sangat bergantung pada pasar global, naik-turunnya dolar. Jadi saya pikir perlu berkolaborasi .

Tantangan di bisnis ini?

Saya ingin jadi saja di negeri sendiri. Jujur saya miris melihat banyak merek asing yang menjajah Indonesia melalui perekonomian dan jadi raja di masing-masing bidang dan menjadi leader di kategorinya, ini mengetuk hati saya untuk berani membangun brand lokal bahkan impian go global. Dengan infrastruktur yang baik kita harus siap hadapi Asean Economic Community.

Kalau bicara budaya, salah satunya kuliner, indonesia adalah negara dengan makanan yang paling enak di dunia. Kalau kita kalah di teknologi, kalah di otomotif, kalah di manufaktur dengan China, saya pikir dengan kuliner kita harus bisa.

Fokus bisnis Anda ke depan?

Fokus perusahaan kami adalah menjadi perusahaan terdepan dalam bidang kuliner, dengan sudah melakukan menggandeng kuliner dan upaya ini cukup diminati. Program pemerintah untuk mengonsumsi produk lokal tentu membantu.

Masih butuh dukungan dari pemerintahan?

Wirausaha itu berani mendobrak dengan apa adanya, jadi jangan cengeng.

Ekspansi butuh dana, apa rencana Anda?

Ekspansi adalah model bisnis yang kami lakukan. Untuk bisa bertumbuh salah satu caranya adalah dengan penedanaan sendiri dari dividen yang masuk lagi untuk penambahan outlet baru atau yang paling utama adalah franchising tools. Namun, yang kami lakukan adalah dalam bentuk support marketing, brand marketing tools. Ini model bisnis kami untuk berkembang.

Pengusaha luar datang untuk joint beberapa kali, tetapi idealisme masih kami pegang sehingga kami jalan sendiri saja. Pada level ini kami belum membutuhkan kerja sama konsorsium dengan pihak lain selain mengusahakan pendanaan sendiri.

Budaya korporat yang ditanamkan?

Kami tanamkan budaya, melakukan improvement yang terus menerus tidak pernah selesai. Komposisi manajemen juga menggabungkan profesional muda dan pengalaman dan kearifan.

Filosofi yang Anda pegang?

Yang namanya berbisnis semua menginginkan profit. Filosofinya berbagi, memberi manfaat bagi orang sekitar kita, customer, dan karyawan sebagai entrepreneur kami terima manfaatnya.

Siapa idola Anda?

Sandiaga Uno, atau Chairul Tanjung. Kalau di luar negeri Tony Fernandes atau Richard Branson. Saya cukup dekat dengan Tony karena saya salah satu finalis The Apprentice Asia, walau tidak lolos jadi juaranya tetapi saya masuk 12 besar. Dia banyak mengajarkan berbisnis dengan passion.

Alhamdulillah saya temukan passion dan idealisme saya di bisnis makanan, belum tentu di bisnis yang lain yang mungkin hasilnya lebih besar.

Gaya kepemimpinan Anda?

Saya tipe I [influencer] yang mampu mempengaruhi orang lain, meng-encourage anak muda. Suka bertemu orang baru seperti dunianya marketing, sales atau leader. Dari situ saya berusaha membawa aura berpikir positif dalam penyelesaian persoalan dengan pendekatan win-win solution.

Berapa karyawan yang Anda pimpin?

Smooth dengan 1.900 karyawan.

Pewawancara: Roni Yunianto

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Roni Yunianto
Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Rabu (2/9/2013)
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro