Di banyak negara, sebagian besar anak perempuan dikhitan sebelum usia 5 tahun. /Bisnis.com
Health

SIRKUMSISI PEREMPUAN: Kontroversi yang Tidak Berkesudahan

Wike Dita Herlinda
Sabtu, 13 Februari 2016 - 19:00
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Sejak zaman prasejarah, peradaban manusia telah mengenal praktik sirkumsisi. Buktinya, para arkeolog berhasil menemukan ukiran gambar ritual khitan pada dinding-dinding gua di Mesir, yang dipahat kira-kira pada 1360 sebelum masehi.

Munculnya agama samawi yang bercokol dari bangsa Yahudi semakin melazimkan tindakan sunat pada pria. Selain sebagai ritual yang diwajibkan secara religi, mereka melakukannya untuk alasan medis dan estetika pada kelamin kaum Adam.

Penganut agama Islam dan sebagian aliran agama Kristen juga mewajibkan sirkumsisi pada pria. Di banyak negara, khitan dilakukan sebagai tindakan medis yang wajib dilakukan sebelum seseorang menginjak puber, atau hanya sebagai bagian dari tradisi primordial.

Sementara itu, di banyak negara Afrika, sunat biasa dilakukan oleh berbagai suku sebagai tanda pemurnian atau penaklukan. Di Australia, kaum Aborigin melakukannya sebagai penanda keberanian, pengendalian diri, dan peralihan menuju kedewasaan.

Di sisi lain, di berbagai belahan dunia lainnya, sunat tidak diwajibkan, tetapi banyak dijalani sebagai bagian dari praktik medis dengan alasan kesehatan ataupun sebagai bagian dari tuntutan sosial budaya.

Namun, dalam perkembangannya sirkumsisi juga banyak menuai pertentangan. Berbagai kelompok pendukung integritas genital menolak praktik sunat yang dilakukan pada bayi, karena dianggap sebagai bentuk mutilasi genital.

Permasalahan lainnya adalah praktik sunat yang juga dilakukan terhadap perempuan di berbagai negara. Untuk kasus yang satu ini, kontroversinya tidak berkesudahan.

Negara seperti Amerika Serikat mengecam dan melarang secara legal praktik khitan perempuan. Akan tetapi, di beberapa negara, sirkumsisi terhadap kaum Hawa dilakukan sebagai bagian dari tradisi.

Salah satunya juga dilakukan di Tanah Air. Bahkan, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan kasus sirkumsisi perempuan terbanyak di dunia.

MASALAH SERIUS

Di luar keberadaannya sebagai bagian dari tradisi, praktik sunat yang dilakukan terhadap kaum Hawa menjadi masalah serius tersendiri karena dianggap sebagai tindakan mutilasi kelamin perempuan (female genital mutilation/FGM).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengingatkan risiko mandul akibat praktik tersebut. Dalam jangka panjang, praktik itu juga dianggap berbahaya bagi fisik, mental, dan kesehatan seksual seorang perempuan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat setidaknya 200 juta anak perempuan dan perempuan dewasa yang hidup di 30 negara saat ini telah menjalani FGM. Di Indonesia, FGM disebut sunat perempuan dan banyak dipraktikkan dalam ranah kesukuan.

Pada perayaan Hari Internasional Toleransi Nol terhadap FGM bulan ini, PBB melansir data bahwa separuh dari total jumlah anak perempuan di tiga negara—Mesir, Ethiopia, dan Indonesia—telah menjalani praktik tersebut.

Data tersebut didasari oleh berbagai studi mikro dan observasi di ketiga negara tersebut. Berdasarkan studi tersebut, PBB membuktikan bahwa FGM merupakan sebuah isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) global terhadap perempuan.

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kesehatan, sebenarnya pernah memiliki peraturan yang melarang praktik sunat perempuan pada 2006. Namun, pada 2008, peraturan itu direvisi karena adanya fatwa MUI bahwa sunat perempuan tidak melanggar agama.

Peraturan menteri 2008 itu mengatur bahwa khitan perempuan hanya boleh dilakukan tenaga medis dengan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris tanpa melukai klitoris, dan dilakukan menggunakan jarum steril.

Namun, pada 2013 Kemenkes diam-diam mencabut peraturan itu. Alasannya, sunat perempuan di Indonesia berbeda dengan yang dipraktikkan di Afrika. Tidak ada unsur mutilasi, karena hanya dilakukan dengan teknik menggores kulit dengan jarum.

Terlepas dari prosedur ataupun teknik apa yang digunakan untuk khitan perempuan, praktik tersebut dicap sebagai pelanggaran terhadap hak anak oleh PBB. Dan, sekali lagi, kasus tersebut ditengarai masih banyak terjadi di Indonesia.

Deputi Direktur Eskekutif United Nations Children’s Fund (Unicef) Geeta Rao Gupta menjelaskan praktik mutilasi kelamin perempuan dilakukan dengan metode berbeda-beda di berbagai wilayah dan latar belakang budaya, dan berisiko membahayakan hidup.

“Dalam setiap kasus, FGM melanggar hak anak dan perempuan. Kita semua— pemerintah, profesional kesehatan, pemuka masyarakat, orangtua, dan keluarga—harus mempercepat upaya mengakhiri praktik ini,” terangnya dalam sebuah konferensi belum lama ini.

PREVALENSI TERTINGGI

Organisasi yang bernaung di PBB tersebut memaparkan setidaknya terdapat sekitar 44 juta perempuan berusia 14 tahun atau lebih muda yang telah mengalami FGM. Prevalensi tertinggi berada di Gambia (56%) dan Mauritania (54%).

Sementara itu, di Indonesia sekitar 50% anak perempuan berusia 11 tahun atau lebih muda telah menjalani praktik kontroversial tersebut. Namun, tidak dijelaskan di mana saja wilayah dengan tingkat kasus FGM tertinggi di Tanah Air.

Lebih lanjut, negara dengan prevalensi tertinggi di kalangan anak perempuan dan perempuan dewasa berusia 15—49 tahun adalah Somalia (98%), Guinea (97%), dan Djibouti (93%).

Di banyak negara, sebagian besar anak perempuan dikhitan sebelum usia 5 tahun. “Angka global dalam laporan statistik FGM [pada 2015] meliputi hampir 70 juta lebih banyak anak perempuan dan wanita dibandingkan dengan perkiraan pada 2014. Hal ini dipicu pertumbuhan populasi di beberapa negara dan data representatif nasional yang dikumpulkan oleh Pemerintah Indonesia,” kata Geeta.

Dia memperkirakan jumlah total anak perempuan dan perempuan dewasa yang telah menjalani praktik mutilasi genital tersebut akan terus bertambah. Pada 2016, setidaknya tiga negara telah memiliki data representatif nasional tentang praktik tersebut.

Saat ini, berbagai gerakan memerangi FGM terus digencarkan di berbagai belahan dunia. Prevalensi FGM di antara anak perempuan usia 15—19 tahun terus menurun dalam 30 tahun terakhir.

Di Liberia turun 41%, di Burkina Faso 31%, di Kenya 27%, dan di Mesir 27%. Geeta menambahkan sejak 2008, lebih dari 15.000 komunitas dan subdistrik di 20 negara telah mendeklarasikan penolakan terhadap FGM. Lima negara juga telah menetapkan undang-undang yang melarang praktik FGM.

“Mereka yang tidak setuju meliputi hampir dua pertiga anak lelaki dan kaum pria. Namun, angka kemajuan itu tidak cukup untuk menyamai pesatnya pertumbuhan populasi. Jika saat ini ledakan populasi berlanjut, maka jumlah perempuan yang akan menjadi subjek FHM akan meningkat signifikan dalam 15 tahun ke depan.”

Di Indonesia, berbagai organisasi yang menentang FGM juga terus tumbuh. Salah satunya adalah Kalangan Mitra, yang bergerak dalam hal advokasi hak perempuan. Mereka menuntut agar pemerintah kembali memberlakukan aturan pelarangan sunat perempuan.

Wakil Ketua Kalangan Mitra Rena Handriyani berpendapat pemerintah telah mengambil langkah mundur dengan menghapuskan larangan khitan kaum hawa. “Menurut kami, itu termasuk kekerasan seksual yang merusak kesehatan alat reproduksi perempuan.”

Sekadar catatan, PBB melalui Unicef dan UNFPA menargetkan penghapusan FGM secara global pada 2030 lewat kerja sama dengan pemerintah, komunitas, pemuka agama, serta mitra lainnya. ()

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Sabtu (13/2/2016)
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro