Nonita dalam satu seminar. /jibi
Fashion

Mengenal Lebih Jauh Tren Bisnis Pakaian Siap Pakai

Wike Dita Herlinda
Senin, 30 Mei 2016 - 22:40
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Bangkitnya industri pakaian siap pakai produksi mandiri (self-manufactured ready to wear) menjadi momentum baru di dunia fesyen Tanah Air. Ketatnya persaingan bisnis RTW oleh banyak pemain muda mendorong mereka untuk bersaing sengit dengan keunikan konsep.

Sebagian besar label RTW lokal yang berkembang saat ini menonjolkan konsep desain yang edgy untuk mencuri minat penikmat fesyen. Selain edgy, banyak label yang menonjolkan sentuhan tradisional dalam produknya untuk memikat parafashionista.

Salah satu label RTW premium yang konsisten dengan penggunaan aksen tradisional yang kental adalah Purana, yang didirikan oleh Nonita Respati. Melalui labelnya, Nonita memperkenalkan motif-motif heritage Indonesia ke segmen pasar yang lebih modern.

Selama lebih dari delapan tahun eksistensinya, label Puruna dikenal atas motif dan palet warnanya yang berani, serta kombinasi berbagai material khas Asia; seperti sutra Thailand, viscose, ATBM, organdi, dan tencel.

Sebagai nilai tambah, label RTW yang diusung Nonita juga mengedepankan unsur ramah lingkungan dan biodegradable. Pelanggannya pun merambah hingga ke kalangan selebritas, mulai dari Moza Pramita, Maudy Koesnaedi, Wanda Hamidah, dan masih banyak lagi.

Lantas, bagaimana kiat-kiat Nonita untuk bisa menjalankan bisnis RTW premium yang eksis, di tengah persaingan yang semakin ketat. Berikut penuturannya:

Bagaimana ide awal terjun ke bisnis ready to wear?

Sebenarnya saya mulai [label] Purana mulai dari 2008. Hanya saja, saya baru mulai fokus ke lini ready to wear [RTW] sekitar 3 tahun belakangan. Sebelumnya sebagian besar koleksi saya adalah custom made.

Saya memutuskan untuk terjun ke bisnis RTW karena saya ingin Purana lebih dikenal sebagai brand yang solid. Kalau terlalu fokus pada custom made, artinya kekuatan [Purana] sebagai sebuah label yang solid kurang.

Jadi, berkecimpung di bisnis RTW berarti seorang desainer memang sudah siap untuk memerkuat soliditas label yang diusungnya. Kalau masuk ke bisnis RTW, dia juga harus siap dengan produksi barang yang harganya lebih terjangkau.

Apa yang menjadi signature label Anda, mengingat saat ini semakin banyak label RTW yang menonjolkan unsur tradisional dalam konsepnya?

Karakter utama Purana adalah selalu mengolah kain tradisional yang tidak hanya batik, tapi juga tenun, ikat, atau jumputan. Kami juga sudah bekerjasama dengan perajin lokal. Bahkan, saat ini kami sudah punya workshop di Jogja.

Kami lebih fokus pada teknik [pembuatan kain] ketimbang motifnya. Kami selalu memakai kain yang tekniknya sudah diterapkan oleh perajin lokal Indonesia sejak ratusan tahun lalu, sedangkan motifnya kami create sendiri ke dalam desain-desain yang lebih komersial.

Selama ini kami banyak menggunakan teknik batik dan jumputan. Nah, kami akan mencoba mengelola tenun. Namun, mengelola tenun adalah kendala tersendiri, karena sulit untuk membuat tenun yang secara karakter cocok untuk daerah tropis.

Tenun kan prosesnya dipintal dari benang dan handmade. Jadi, kami harus ekstra hati-hati agar hasilnya nyaman dan ringan di kulit serta cocok untuk cuaca tropis, sehingga bisa dipakai sepanjang hari dengan nyaman.

Karakter lain dari Purana adalah menonjolkan prinsip fashionable, stylish, dan selalu up to date. Selain itu juga harus bisa senyaman mungkin dipakai dan mengakomodasi segala macam bentuk tubuh perempuan.

Kami tidak mau membuat perempuan terpaku dengan ukuran baju S,M,L. Jadi, kami membuat produk [all size] dengan sizingyang fleksibel. Tidak hanya itu, setiap item kami desain agar bisa serba guna [versatile] sehingga dapat di-styling dua hingga tujuh cara.

Persaingan bisnis RTW sudah semakin ketat. Strategi apa yang dipakai untuk bisa eksis dan meraup pasar yang lebih luas?

Strategi khusus kami adalah tetap pertahankan DNA dari label Purana itu sendiri. Formula kami adalah membuat pakaian yang sesuai keinginan konsumen, dengan free sizing, dan bisa di-styling bermacam-macam alias multistyle.

Misalnya saja, satu produk bisa dipakai untuk celana sarung tapi bisa juga dijadikan sebagai outter wear. Lalu, kami juga terus mengeksplorasi berbagai cutting, model, dan inovasi kain agar jangan sampai produk yang dihasilkan sudah pernah dilihat orang lain.

Jadi, kuncinya adalah selalu lahirkan sesuatu yang baru!

Siapa saja segmen pasar yang dibidik?

Kalau dilihat dari model, ongkos produksi, harga ritel, style, dan warna, saya rasa label kami lebih sesuai untuk perempuan yang punya personal style. Artinya, bukan untuk perempuan yang dalam tahap ‘mencari gaya yang pas’, tapi memang sudah paham seperti apa gayanya.

Dengan demikian, segmen pasar yang sesuai untuk label saya adalah kisaran usia 25-50 tahun, karena biasanya perempuan pada usia tersebut sudah mapan secara finansial dan matang secara style.

Bagaimana Anda mendapatkan inspirasi desain?

Inspirasi saya bermacam-macam. Namun, saya ini tipe orang visual yang lebih mengandalkan [ide] berdasarkan apa yang saya lihat. Saya suka diving, dan ada koleksi saya yang terinspirasi dari motif ikan di laut melalui teknik tie dye.

Pernah juga waktu saya keliling Jawa, saya masuk ke rumah-rumah kuno dan menemukan motif-motif tegel kuno yang menginspirasi koleksi saya yang bertajuk Tales of Tiles. Saya juga pernah meluncurkan koleksi revival batik yang bernuansa geometris.

Bagaimana cara menjaga agar ide kreatif Anda tidak dicuri kompetitor?

Soal copycat, itu adalah hal biasa. Boleh saja kita merasa kesal, tapi harus bangga juga. Sebab, ketika ada orang lain yang menjiplak desain kita, itu berarti memang produk yang kita hasilkan bagus.

Penjiplak adalah hal yang tidak bisa ditahan dalam bisnis fesyen. Namun, intinya, sebagai orang yang kreatif, kita harus segera move on ketika desain kita sudah ditiru orang lain. Jangan berkutat pada desain [yang sudah pasaran]. Segera cari inovasi baru!

Apa tips bagi pemula yang ingin memulai bisnis RTW?

Secara umum, hal pertama yang harus dilakukan adalah do your research well! Lakukan riset yang benar-benar mendalam sebelum menciptakan sebuah label. Cari tahu apa yang sedang disukai masyarakat.

Kedua, jangan terlalu memusingkan dan ribet dengan urusan sizing. Itu akan lebih memudahkan kita. Sebab bisnis RTW tidak memungkinkan kita untuk mengukur langsung [tubuh] calon pembeli. Pahamilah prinsip pengukuran yang fleksibel.

Lagipula, saat ini tipe perempuan Indonesia sudah tidak terlalu body conscious. Mereka lebih leluasa, tidak ribet, dan rileks dalam mengenakan pakaian. Jadi, buatlah pakaian senyaman mungkin yang bisa dikenakan seharian.

Ketiga, hati-hati terhadap pricing atau sistem penetapan harga. Pertimbangkan sebaik mungkin unsur-unsur dalam penetapan harga agar harga akhir yang dipatok masih masuk akal. Ingat, kita bermain di segmen pakaian siap pakai yang sifatnya lebih kompetitif.

Keempat, ketahuilah dengan baik siapa pangsa pasar yang dibidik. Petakan terlebih dahulu seperti apa demografi konsumen yang ingin disasar sebelum memutuskan untuk membuat baju. Pastikan dulu, [seperti apa tipe konsumen] yang bakal memakai koleksi kita nantinya.

Berapa modal yang dibutuhkan untuk mendirikan label RTW?

Pada intinya, untuk menjalankan sebuah bisnis, tidak perlu modal besar. Asalkan kita tahu ke mana arah bisnis yang akan dijalankan. Kalau Purana sendiri modal awalnya sekitar Rp20 juta.

Saya berawal dengan hanya 1 pegawai tukang pola dan sekarang karyawan saya sudah mencapai 25 orang. Tadinya saya menyulap garasi saya sebagai workshop, dan sekarang saya sudah punya kantor pemasaran, ruang pamer, dan workshop sendiri.

Untuk perhitungan berapa piece yang harus diproduksi setiap item, saya menggunakan proyeksi saja. Apalagi, label saya ini berbasis handmade, jadi tidak bisa leluasa menentukan berapa yang harus diproduksi untuk setiap item. Mainkan insting saja untuk itu.

Lalu, apa saja tantangan menjalankan bisnis RTW saat ini? Apa bedanya dengan bisnis pakaian custom made?

Kalau bisnis custom made, kita tahu bahwa barang yang dipesan pasti akan dibeli. Saat konsumen datang dan memilih material, dia pasti akan beli. Hanya saja, perputaran uangnya lebih lambat dibandingkan RTW.

Selain itu, kita juga harus siap untuk meladeni konsumen yang sewaktu-waktu minta dibenarkan ukuran pakaiannya saat bentuk tubuh atau berat badan mereka mengalami perubahan. Kadang mereka minta [bajunya] dikecilin, kadang minta digedein.

Sementara itu, di bisnis RTW, kita harus paham betul sistem produksi untuk barang-barang yang pasti diminati. Tidak boleh ada kesalahan pada produk akhir, karena tidak ada toleransi untuk koreksi.

Di bisnis RTW, kita harus menghitung betul presentase produksi dalam satu range koleksi. Berapa atasan, berapa bawahan, berapa dress, dan seterusnya. Untuk itu, kita harus punya sensitivitas akan produk mana yang bakal laku keras..

Dari mana mengasah sensitivitas itu?

Berdasarkan pengalaman. Awalnya, jangan terkejut kalau kita salah prediksi. Namun, seiring bertambahnya jam terbang, kita akan tahu mana produk-produk yang disukai pasar sehingga harus diproduksi lebih banyak.

Namun, sekali lagi, formula sukses antara satu label dengan label lainnya berbeda-beda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fatkhul Maskur
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro