Bocah penderita obesitas ekstrem asal Karawang, Arya Permana, (kiri) bersama teman-temannya bersiap-siap mengikuti pendidikan di kelas IV Sekolah Dasar/Antara-M. Ali Khumaini
Health

Melawan Obesitas Dengan Pajak

Rezza Aji Pratama
Rabu, 28 Desember 2016 - 18:27
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Bagaimana reaksi Anda ketika melihat anak yang memiliki berat badan berlebihan? Sebagian besar mungkin akan menganggapnya biasa. Sebagian lain justru melihatnya sebagai sesuatu yang menggemaskan. “Tidak apa-apa gemuk, yang penting sehat,” begitu ungkapan yang sering dilontarkan masyarakat.

Tidak hanya di Indonesia, pandangan konservatif soal berat badan ini juga terjadi hampir di seluruh dunia. Laporan kesehatan tahunan Inggris menunjukkan 9 dari 10 orang tua di negara tersebut mengabaikan fakta obesitas buah hatinya. Tidak hanya itu, 4 dari 10 orang tua bahkan menganggap anak yang obesitas tetap sehat.

Terdengar familiar dengan yang terjadi di Tanah Air bukan?

Padahal, pandangan semacam ini sangat berbahaya bagi masa depan anak. “Obesitas pada masa kanak-kanak berkorelasi langsung dengan berbagai masalah kesehatan seperti asma, diabetes, dan gangguan muskuloskeletal,” tulis Gillian Prior dalam riset yang diterbitkan pekan lalu.

Akibat prinsip para orang tua yang menganggap remeh obesitas, sebagian besar anak-anak di Inggris juga enggan mengubah perilaku dietnya. Sebanyak 69% anak yang mengalami obesitas tidak mau berusaha menurunkan berat badan.

Kembali ke Indonesia, memang belum ada data survei serupa untuk melihat persepsi orang tua terhadap berat badan anak. Namun, riset kesehatan dasar 2013 menujukkan 18,8% anak usia 5-12 tahun mengalami kelebihan berat badan dan 10,8% lainnya menderita obesitas. Adapun di seluruh dunia sekitar 41 juta anak-anak mengalami obesitas pada 2014, berdasarkan data World Health Organization (WHO).

Di Tanah Air, persoalan obesitas mulai menyeruak ketika Arya Permana, bocah 10 tahun asal Karawang menjadi buah bibir. Arya mendadak diperhatikan publik karena memiliki berat badan 190 kilogram. Hanya dengan melihat postur tubuhnya sekilas kita sudah bisa menduga masalah kesehatan yang dialami bocah ini.

Rita Ramayulis, Pengurus DPP Persatuan Ahli Gizi (Persagi) mengatakan obesitas pada anak memang bukan hal mudah untuk diatasi. Karakteristiknya berbeda dengan obesitas pada orang dewasa karena harus mempertimbangkan faktor masa pertumbuhan. Kendati demikian, ciri-ciri anak yang mengalami obesitas bisa dilihat dengan mudah.

“Tanda-tandanya adalah pipi yang gembil dan dagu terlihat dobel, leher yang pendek, perut yang membuncit, dan ketika berjalan kedua paha bagian dalam akan saling bergesekan,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Pajak minuman

Saking berbahayanya problem ini, WHO bahkan sampai mendorong sejumlah negara untuk menaikkan pajak minuman manis. Seperti diketahui, obesitas berkaitan erat dengan gaya hidup—salah satunya adalah kegemaran mengonsumsi panganan bergula tinggi. WHO menilai kenaikan harga jual minuman manis hingga 20% akan menurunkan konsumsi secara signifikan.

Penggunaan instrumen pajak untuk kesehatan sebenarnya bukan barang baru. Penaikan pajak rokok dan tembakau di berbagai negara dinilai berhasil menekan konsumsi tembakau di seluruh dunia. Jika seruan WHO ini akhirnya diimplementasikan, derajat minuman manis sama berbahayanya dengan tembakau.

Seperti halnya rokok, obesitas juga dituding sebagai penyebab berbagai penyakit kardiovaskular. Padahal, penyakit jenis ini sendiri bertangungjawab terhadap 17 juta kematian di seluruh dunia setiap tahunnya.

Ismoyo Sunu, dokter spesialis jantung sekaligus ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) mengatakan kondisi obesitas menyebabkan kenaikan volume darah dalam tubuh sehingga membuat kerja jantung meningkat. Ini akan menyebabkan penebalan dan pelebaran rongga jantung akibat peningkatan beban kerja organ vital tersebut.

“Kondisi ini dapat menimbulkan keluhan seperti cepat lelah, sesak napas ataupun dada yang terasa berat. Apabila tidak mendapatkan intervensi atau penanganan medis yang tepat, maka hal ini dapat meningkatkan risiko kematian,” ujarnya.

Obesitas juga bertangggungjawab atas tingginya penderita hipertensi dan diabetes mellitus. Dokter spesialis jantung Ario Soeryo Koencoro mengatakan dua faktor utama penyebab obesitas adalah pola makan yang buruk dan kurangnya aktivitas fisik.

“Seseorang yang banyak mengonsumsi makanan tinggi kalori dalam bentuk gula dan lemak, ditambah gaya hidupnya yang tidak banyak bergerak, akan rentan untuk mengalami obesitas,” tuturnya.

Nah, kini, setelah mengetahui bahaya seputar obesitas, apa reaksi Anda ketika melihat anak dengan berat badan berlebih?

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Saeno
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro