Pongki Pamungkas/Jibi
Relationship

Yang Naik Pasti Turun

Bagikan

“Kehidupan itu seperti elevator. Naik dan turun. Hanya pastikan, Anda turun di lantai yang benar dan tepat” (Keith Douglas)

Membaca judul tulisan ini, kawan saya yang suka guyonan, berkomentar, “ Yo sakmestine ta Pong" (ya semestinyalah Pong). Yang naik, yang sudah bergerak dari bawah ke atas. Pada saatnya, akan turun kembali.

Hukum alam, hukum gravitasi sudah dilaksanakan oleh alam sebagaimana pengaturan Nya. Setinggi-tinggi layang-layang, cepat atau lambat akan kembali mendarat di daratan atau di perairan. Setinggi-tinggi astronot melayang ke arah angkasa luar, menjelajah alam semesta, pada saatnya tetap akan turun dan kembali berpijak bumi.

Musim pemilu dan pilkada ini memacu orang berlomba-lomba untuk ‘naik’. Mereka sedang berjuang keras untuk bisa memenangkan kompetisi. Mereka ingin meraih jabatan, sesuai dengan area masing-masing. Mereka ingin ‘naik’.

Perihal ‘naik’ ini seperti yang tertuang dalam kalimat, “Naik dan turun adalah tujuan-tujuan manusia. Manusia pada dasarnya adalah eksplorer, penjelajah, avonturir,“ kata Cesar Millan, ‘counsellor’ anjing terkemuka di dunia.

Demi untuk ‘naik’ itu, pelbagai cara mereka lakukan. Terdapat beragam cara yang mereka bisa pilih sesuai dengan pertimbangan kemampuan dan situasi. Paling banyak dibicarakan, salah satunya adalah cara-cara kotor, model busuk (yang nampaknya mulai diterima sebagai cara ‘normal’), yakni politik uang.

Adanya istilah uang mahar, salah satunya, bukanlah istilah yang turun dari langit. Istilah ini muncul dari pelbagai pengakuan dan temuan para pemain yang terlibat pilkada, bahwa agar mendapatkan ‘kendaraan’ dari partai sebagai prasyarat yang sah sebagai peserta pilkada, mereka harus setor uang ke partai yang bersangkutan.

Dengan uang mahar itulah sang partai akan mengajukan calon yang bersangkutan sebagai calon yang bakal ‘naik’, bakal dinaikkan oleh sang partai, memenuhi kaidah perundang-undangan.

Uang mahar ini biasanya menyangkut uang dalam jumlah besar, maka berjumpalitanlah si calon untuk mengumpulkannya dengan pelbagai cara. Kita sering baca dan dengar, akhirnya banyak dari mereka terperosok ke jalan sesat. Terjadilah perbuatan kriminal yang terkutuk, yang mereka lakukan, yaitu korupsi.

Sudah demikian banyak contoh perbuatan kriminal yang terungkap dan pelakunya tertangkap dan dihukum penjara. Ternyata the show must go on. Perbuatan nista itu terus saja dilakukan oleh banyak orang di negara yang mengaku diri sebagai negara berke Tuhanan Yang Maha Esa ini.

Kembali ke laptop, “ Apa yang naik, pasti turun “. Adagium ini seratus persen benar.

Bila ternyata, misalnya seorang calon A dengan partai X sebagai kendaraan berhasil memenangkan pilkada, lalu ia menjadi gubernu/wagub/bupati/wali kota atau menjadi anggota legislatif, kita katakan dia berhasil naik. Itu masa dia naik. Lalu masa turun pun akan datang. Dia akan mengalami jatuh temponya, habis masa jabatan atau diturunkan dari jabatan karena pelanggaran. Itu masa dia turun.

Kita juga bisa melihat, ada yang dengan modus tertentu, berusaha sekali naik, tak akan pernah hendak turun. Contoh paling aktual, Xi Jinping, pemimpin negara China saat ini. Dia berhasil bertahan tidak turun, mungkin hingga akhir hayatnya, dari kursinya sebagai pemimpin Republik Rakyat China. Dia kini Presiden RRC, sekaligus Ketua Komisi Militer Pusat.

Di luar Xi Jinping, ada gejala sama yang mungkin akan terjadi di Rusia. Presiden Vladimir Putin, untuk menjadi presiden seumur hidup. Tetap di atas, tak pernah turun.

Di negara kita, banyak pula yang tetap ingin di atas, tetapi dengan mempergunakan sanak saudara sebagai pengganti pejabat dirinya. Akal bulus ini kita kenal sebagai istilah politik dinasti. Mereka mengajukan dan memodali istri atau anak ataupun kerabat sebagai kandidat pengganti diri mereka sebagai pejabat.

Dengan anak atau saudara sebagai penggantinya, dia mungkin, serasa tak turun. Dia merasa terus di atas. Merasa terus berkuasa, ataupun memang memegang kekuasaan (de facto), sedangkan sang pengganti hanya ‘boneka’ (de jure) yang bisa dimainkannya sekehendak hati sang inkumben.

Ini mungkin seperti dinyatakan oleh John Denver, “Segala sesuatu naik turun. Kalau Anda mampu bertahan manakala waktu turun, Anda akan naik kembali.” Itu kalau dia sukses menjalankan akal bulus politik dinastinya.

Dalam praktik, tak semua akal bulus itu mendulang sukses. Banyak pula, segala perjuangan untuk tetap di atas itu tak membuahkan hasil sebagaimana diharapkan.

“Terhadap segala sesuatu yang naik, musti dalam kesadaran pula bahwa tidak semua hal yang jatuh, akan naik kembali “, kata George Barnes.

Dalam soal-soal ambisi untuk naik atau tetap di atas inilah terdapat hal-hal yang amat menyedihkan. Saya katakan menyedihkan karena dengan melakukan korupsi sebagai penggalangan dana atau modal mereka berkompetisi, jelas itu merupakan tindak pelanggaran hukum sekaligus perusakan moral bangsa.

Perbuatan semacam ini sangat menyakitkan masyarakat dengan pelbagai alasan. Pertama, rakyat sebagai para pembayar pajak merasa dirampok dan dihinakan.

Kedua, pesta demokrasi sebagai suatu proses pembelajaran demokrasi bagi segenap masyarakat kita yang sebagian besar masih ‘belum maju’ ini menjadi suatu ajang peperangan yang negatif dan destruktif dalam segala bentuknya. Saling hujat. Saling fitnah.

Dusta dan pelbagai contoh perilaku yang sangat tak pantas dijadikan contoh oleh rakyat dari suatu negara yang ingin menjadi negara maju dan beradab.

Mereka adalah para pemimpin yang seharusnya menjadi teladan bagi segenap masyarakat. Karena kita tahu prinsip dasar ini, pembangunan budaya bangsa pada dasarnya ditentukan oleh para pemimpinnya.

Saya, dan mungkin banyak warga masyarakat lain, khususnya sesama pembayar pajak, hanya mampu berharap para penguasa negara ini memetik nasihat ini. “Kearifan hidup dan pemerintahan yang baik memerlukan lebih dari sekedar penerapan yang konsisten dari prinsip-prinsip yang abstrak,” kata Anthony Daniels, pemeran C-3PO dalam film serial Star Wars.

Kearifan hidup sebagai penguasa negara, sebagai abdi negara, semestinya bersandarkan pada amanah yang mereka terima melalui upacara sumpah jabatan yang sakral.

Sumpah yang intinya mereka berjanji kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, akan melaksanakan prinsip rahmatan ‘lil alamiin, menjadi berkat bagi sesamanya, bagi rakyatnya. Bukan malah sebaliknya, menjadi maling atau penipu rakyatnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro