Bisnis.com, JAKARTA-- Masalah kekurangan vitamin D masih menghantui anak-anak di Asia, termasuk Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah kurang terpapar sinar matahari, menurut ahli nutrisi dari Belanda, Dr. Martine Alles.
"Anak-anak ditempatkan di dalam rumah. Orang tua takut anak mereka terkena paparan sinar matahari, belum lagi kekhawatiran anak-anak mereka diculik dan lainnya, " kata Alles yang juga sebagai Direktur Developmental Physiology & Nutrition salah satu produsen makanan dalam acara kesehatan di Jakarta, Jumat (20/3/2015).
Dia mengungkapkan, data dari SEANUTS Indonesia pada 2013memperlihatkan prevalensi kekurangan vitamin D pada anak-anak berusia 2-4,9 tahun ialah sebesar 42,8 persen di perdesaan dan 34,9 persen di perkotaan.
Angka ini menurut Allen, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan prevalensi kekurangan vitamin D yang cukup tinggi, setelah Vietnam.
Data serupa pada tahun yang sama (2013) menunjukkan, di Vietnam prevalensi kekurangan vitamin D untuk usia 6-11,9 tahun, mencapai 48,1 persen di perdesaan dan 52,7 persen di perkotaan.
Eropa
Allen mengatakan, sementara di Eropa dan Amerika Serikat kasus kekurangan vitamin D bahkan telah terjadi pada abad ke-19.
Saat itu, kata dia, kurangnya anak-anak terpapar sinar matahari menyebabkan terjadinya insiden riketsia (pertumbuhan tulang dalam bentuk abnormal) terutama di perkotaan.
Oleh karena itu, menurut dia, sebaiknya orangtua sejak dini menstimulasi anak-anak bermain di luar ruangan untuk mendapatkan sinar matahari yang cukup.
"Meningkatnya penyakit riketsia ternyata menyingkapkan manfaat lain vitamin D. Selain memperbaiki pertumbuhan tulang, vitamin D juga berpengaruh pada imunitas adaptif," katanya.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, pakar gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Hardinsyah mengatakan waktu terbaik mendapatkan sinar matahari justru bukan pagi-pagi, melainkan setelah pukul 09.00 hingga 13.00.
"Setelah jam sembilan sampai jam satu siang. Bukan pagi-pagi sekali," ujar Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Hardinsyah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel