Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat sempat dibuat gerah atas kasus kabut asap yang terjadi beberapa waktu lalu. Namun, seiring masuknya musim penghujan, masyarakat dibuat lupa atas bencana yang sebenarnya dapat dicegah dan relatif mudah diprediksi.
Pameran seni rupa dan foto bertajuk Mencegah Bara yang digelar di Galeria Fatahillah Jakarta pada 17 Desember 2015 - 17 Januari 2016, seolah menjadi pengingat atas bencana kebakaran hutan seluas 2.1 juta hektare.
Pameran yang melibatkan 14 seniman dan sembilan fotografer dari Jakarta, Bandung, Magelang, Yogyakarta, dan Kanada tidak terbatas meyajikan bara api sebagai objeknya. Sejumlah fotografer dan seniman justru jeli menangkap sisi humanis dan keadaan sosial masyarakat di wilayah kebakaran hutan.
Karya yang menangkap sisi lain dari kebakaran dan asap terlihat pada esai foto karya fotografer Ulet Ifansasti. Pewarta foto yang karyanya sering menghiasi sejumlah majalah internasional ini, terkenal sangat menaruh perhatian pada tema deforestasi hutan di Indonesia sejak 2009.
Pada pameran kali ini, Ulet menyajikan pemandangan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah yang baru saja dibuka melalui karya berjudul Tanah yang Tersisa (kertas foto, 40x30 cm, 2014).
Lanskap perkebunan sawit ini diambilnya pada 24 Febuari 2014. Ulet mencatat jurnal Nature Climate Change melaporkan Indonesia kehilangan sekitar 840.000 hektare lahan hutan liar pada 2012. Angka ini melampaui hilangnya lahan di Brazil seluas 460.000 hektare.
Kerusakan ini berdampak pada masyarakat dan populasi hewan. Mulai dari punahnya harimau dan gajah Sumatera, serta runtuhnya komunitas tradisional. Ulet kembali memotret kondisi Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh Timur, Sumatera pada 2 Juni 2013, yang rusak akibat penebangan ilegal yang tidak kunjung reda.
Melalui karya berjudul Wajah Taman Nasional (kertas foto, 40x30 cm, 2013), Ulet memperlihat kan sebuah mobil truk pembawa batang kayu yang melintasi di sekitar taman yang merupakan bagian dari Situs Warisan Dunia.
Konflik warga dan gajah telah yang kehilangan habitat alaminya, juga ditampilkan dalam karya berjudul Terancam Punah (kertas foto, 40x30 cm, 2013), dan Kisah Raja (kertas foto, 40x30 cm, 2013).
“Lucunya, gajah yang disandera dijadikan jaminan warga agar pemerintah mengendalikan gajah liar yang merusak lahan pertanian mereka. Seminggu kemudian, saya ditelpon penduduk bahwa gajah itu sudah mati,” ujarnya.
Kurator fotografi Erik Prasetya menuturkan karya foto tidak berdiri sendiri dalam pameran ini. Namun, antara satu foto dan foto yang lain saling mendukung sehingga membentuk se buah narasi cerita.
Karya yang bercerita antara satu foto dengan yang lain, juga tampil dalam karya foto yang diambil dari instagram. Beberapa foto tersebut adalah Keluar dari Hutan karya Mushaful Imam (kertas foto, 20x29, 2015).
Karya tersebut menunjukkan Suku Anak Dalam yang selama ini tinggal di Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi terpaksa keluar dari tempat tinggal mereka akibat kebakaran hutan.
“Foto citizen journalism ini menangkap apa yang luput dari bidikan fotografer,” katanya. Selain karya fotografi, pameran ini juga menampilkan lima karya instalasi. Kurator karya seni rupa Bambang ‘Toko’ Witjaksono mengatakan karya instalasi ini tidak hanya berupa sebuah karya yang dipamerkan.
Namun, dua karya instalasi tersebut dibuat dengan melibatkan interaksi dengan pengun jungnya.
Karya tersebut adalah Daun to Earth karya Dadi Setiyadi (mixed media, 200x200x250 cm, 2012). Karya lain berjudul Stolen Box karya Arya Pandjalu (wooden box, glass, speaker with bird sounds sensor and cut out papers bird, 90x90 cm, 2012) mengajak pengunjung menikmati suara burung yang sudah jarang lagi didengar.