Bisnis.com, JAKARTA – Maraknya isu intoleransi yang menyebar di beberapa kota di Indonesia perlu disikapi secara bijaksana oleh awak media agar tidak menimbulkan citra buruk kepada golongan mayoritas di Indonesia, dalam hal ini menciptakan Islamophobia di Indonesia.
Bambang Muryanto, anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, mengatakan dalam menghadapi masa krisis intoleransi, para jurnalis perlu menghindari sensasionalisme.
Bambang menyebut, sensasionalisme pada pemberitaan bisa berujung pada opini tentang islamophobia.
“Jadi, ini kan terkadang karena tingginya sensasionalisme maka menjadi islamophobia nantinya kalau tidak hati-hati,” terang Bambang kepada Bisnis, Selasa (18/10/2018).
Bambang menegaskan, hal pertama yang paling penting para jurnalis sebelum melakukan peliputan harus memiliki perspektif yang tidak mengadu domba kedua belah pihak dalam kasus intoleransi. Maka, jurnalis perlu bertugas mendorong hak hidup kelompok minoritas dari berbagai latar belakang.
“Kelompok minoritas dan mayoritas ini keduanya harus dilindungi, dan negara pun harus siap jika baik kelompok minoritas dan mayoritas itu tidak memiliki pandangan yang sama,” kata Bambang.
Ahmad Junaidi, Direktur Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) menambahkan salah satu yang juga penting dari pemberitaan kasus intoleransi adalah perspektif jurnalis di lapangan maupun perspektif editor atau redaktur. Masih ada beberapa isu intoleransi yang sengaja tidak dipublikasikan karena perspektif yang belum selaras.
“Perspektif jurnalis di lapangan juga di perspektif redaktur juga harus sudah selesai. Karena di tingkat newsroom yang tak mau tulis isu tertentu kemudian ini tak akan muncul. Maka itu, tidak bisa menjadi wacana publik. Persoalan tiga level ini membuat isu intoleransi tidak bergaung. Jadi contoh diberikan secara adil juga ruang-ruang untuk mereka yang dimarjinalkan,” ujar Ahmad.