Nelayan melintasi muara sungai yang tercemar sampah plastik di Pantai Satelit, Desa Tembokrejo, Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (19/4/2019). produksi sampah plastik di Indonesia telah mencapai 64 juta ton/tahun dan sebagian besar mencemari lautan./ANTARA FOTO/Seno
Fashion

Laut, Sampah, dan Kepunahan Spesies di Depan Mata

Reni Lestari & Tika Anggreni Purba
Minggu, 19 Mei 2019 - 07:41
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Fenomena kerusakan lingkungan makin terlihat nyata dalam beberapa tahun belakangan ini. Keberhasilan sektor industri yang memproduksi banyak barang yang bermanfaat bagi manusia, ternyata berdampak pada makin meningkatnya pemanasan global.

Tingginya pemanasan global membuat ribuan spesies hewan dan tumbuhan baik di darat dan laut berkurang dan bahkan punah. Kerusakan lingkungan baik di darat dan laut ini terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.

Sebagai negara bahari, 71 persen wilayah Indonesia merupakan per­airan dengan jutaan spesies flora dan fauna laut. Namun, kegiatan industri yang makin masif membuat laut menjadi tercemar limbah yang mengancam kehidupan hewan dan tumbuhan serta ekosistem di dasar samudera.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan bahwa industrialisasi perikanan dengan skala yang sangat masif membuat banyak spesies ikan di perairan Indonesia hilang.

Salah satu contohnya adalah ikan bawal putih yang sempat hilang karena penggunaan alat penangkap ikan berupa cantrang di perairan Pantai Utara Jawa.

Selain itu, Indonesia juga sangat dirugikan dengan praktik penangkapan ikan ilegal yang dilakukan oleh negara-negara tetangga.

Sejak Susi Pudjiastuti menjabat sebagai menteri, lebih dari 500 kapal asing yang tertangkap tangan melakukan penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia ditenggelamkan.

Langkah tersebut diharapkan memberikan efek jera, meskipun hingga kini disinyalir masih banyak kapal penangkap ikan ilegal tetap beroperasi di Tanah Air.

Selain menerapkan hukum yang ketat, Susi juga terus menyosialisasikan hak asasi laut atau ocean rights dalam sejumlah forum internasional. Ocean Rights merupakan cetak biru yang mewajibkan adanya keseimbangan antara manusia dan laut dengan penerapan standar dan kriteria baru untuk konservasi lingkungan.

Ocean Rights mengharuskan manusia untuk memperlakukan laut sebagai bagian dari penghuni bumi dan bukan sumber bagi konsumsi. “Laut harus diberi hak proteksi, karena saya pikir kita lebih membutuhkan laut dibandingkan laut yang membutuhkan kita,” ujarnya dalam diskusi di Bentara Budaya Jakarta baru-baru ini.

Susi menegaskan bahwa untuk melindungi sumber daya laut maka masyarakat termasuk industri harus mengubah pola konsumsi menjadi lebih ramah terhadap kelestarian laut. Menurutnya, perilaku industri yang mengeruk ikan tanpa memberi ruang bagi laut untuk memproduksi kembali secara alami, bertolak belakang dengan prinsip keberlanjutan lingkungan.

Laut berperan penting dalam mencegah perubahan iklim karena jumlah karbondioksida yang diserap hamparan lamun di dasar laut sebanding dengan yang diserap hutan hujan tropis, dengan luasan areal yang sama. “Konservasi dan proteksi akan meningkatkan produktivitas laut. Jadi mindset untuk hanya terus-menerus mengeruk harus selesai,” tegasnya.

Sementara itu, Rizal Malik, CEO World Wildlife Fund (WWF) Indonesia mengungkapkan, berdasarkan data Living Planet Report 2018, sebanyak 60 persen dari makhluk bertulang belakang atau invertebrata sudah punah dalam 40 tahun terakhir.

“Tentu saja ini mengkhawatirkan karena sumber bagi keberlanjutan spesies manusia itu tergantung dari keanekaragaman hayati di sekeliling kita,” katanya.

Memunculkan kesadaran masyarakat untuk peduli lingkungan terutama laut ternyata terus dilakukan pemerintah dan otoritas internasional kini mulai menunjukkan harapan.

Salah satu contohnya adalah pada awal 2000, menetapkan perairan Raja Ampat sebagai marine protected area. Rizal mengatakan, dari penelitian para ahli, setelah perairan tersebut ditetapkan sebagai daerah lindung maka jumlah ikan meningkat tiga kali lipat, termasuk jumlah hiu yang sebelumnya banyak yang mati karena diburu siripnya.

“Yang harus kita [masyarakat] lakukan adalah mengubah gaya hidup yang lebih bersahabat dengan alam. Bukan saja warga negara tetapi pemerintah juga, karena marine protected area hanya bisa dilakukan melalui regulasi dan aturan-aturan,” katanya.

Menurutnya, untuk menunjang upaya tersebut, WWF mendorong revisi Sustainable Development Goals (SDGs). Tujuannya untuk menetapkan target yang lebih terukur dalam hal keseimbangan hidup antara manusia dan alam.

Contohnya, apa saja yang perlu dilakukan oleh negara-negara di dunia untuk mengembalikan keanekaragaman di laut, secara terukur, berkelanjutan, dan dilakukan dalam jangka waktu tertentu.

Terkait dengan upaya menjaga keberlangsungan laut, Susi Pujiastuti juga mengingatkan masyarakat untuk tidak sembarangan membuang limbah plastik ke laut. Menurutnya, perilaku konsumsi kemasan plastik yang baik harus dibudayakan.

“Masih banyak masyarakat yang mengelak atau tidak paham bahwa plastik sekali pakai yang dibuang setiap hari mengotori dan menjadi ancaman bagi ekosistem laut,” tegasnya.

SAMPAH PLASTIK

Terkait dengan sampah plastik, berdasarkan Laporan Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memprediksikan bahwa pada 2059 jika tidak diawasi maka, volume sampah plastik dapat melebihi jumlah ikan. Bahkan, jumlah mikroplastik akan melebihi jumlah plankton di laut sehingga mengancam ekosistem laut dan manusia yang mengonsumsi ikan.

Data LIPI ini juga menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara penyumbang sampah plastik di laut terbesar nomor dua di dunia.

Director of Trash Program Free Seas dari Ocean Conservancy Nicholas Mallos menyatakan bahwa informasi dan edukasi mengenai polusi plastik dan dampaknya pada biota laut harus terus dilakukan.

“Kita yang menggunakan plastik, tetapi mereka [biota laut] yang terancam bahaya. Apabila kebiasaan ini tidak dihentikan, pelan-pelan laut akan dipenuhi plastik,” katanya.

Menurutnya, permasalahan itu dapat diatasi dengan kepedulian bersama untuk menyelamatkan laut di antaranya dengan perilaku tidak membuang sampah ke laut.

Pegiat Ocean Conservancy sendiri telah melakukan upaya penyelamatan laut melalui pembersihan pesisir pantai dari sampah salah satunya dilakukan di Pantai Mertasari Sanur Bali. Kampanye itu berlangsung secara global demi laut yang lebih sehat, biota laut yang terlindungi, dan bebas polusi.

“Kita semua bertanggung jawab untuk mengatasi masalah polusi di laut. Untuk menghentikannya, diperlukan kerja sama dari banyak pihak,” tegasnya di sela-sela

kegiatan pembersihan pesisir pantai bertajuk Breitling x Ocean Conservancy Beach Cleanup 2019.

Peselancar Kelly Slater, Sally Fitzgibbons, dan Stephanie Gilmore yang merupakan brand ambassador arloji premium Breitiling Superocean turut mengkampanyekan gerakan penyelamatan laut dalam kegiatan bersih-bersih pantai itu.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementarian Kelautan dan Perikanan Muhammad Yusuf menyatakan, gerakan bersih-bersih pantai merupakan aksi nyata dalam membebaskan laut dari sampah plastik yang berbahaya bagi ekosistem laut.

Langkah nyata menekan sampah laut merupakan upaya yang perlu terus digalakkan sebagai lingkaran kesadaran lingkungan yang merupakan bagian dari restorasi bahari. Sudah saatnya menjaga kelestarian lingkungan tidak hanya berhenti sebagai slogan dan menjadi kewajiban seluruh negara untuk menjaganya, mengingat bumi yang ditinggali ini merupakan rumah besar bagi penduduk dunia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro