Kandidat vaksin Covid-19 Sinopharm
Health

Daftar Tantangan yang Dihadapi Negara Asia-Pasifik dalam Vaksinasi Covid-19

Desyinta Nuraini
Selasa, 29 Desember 2020 - 16:28
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Distribusi vaksin virus corona yang adil menjadi sorotan untuk saat ini. Selain ketersediaan, pertimbangan lain bagi pemerintah yang ingin menyediakan vaksin termasuk biaya, persyaratan penyimpanan, dan persepsi publik.

“Biaya adalah salah satu masalah besar yang dapat menghambat jenis vaksin yang ingin mereka dapatkan, dan yang lebih penting infrastruktur yang diperlukan untuk penyimpanan dan pengiriman vaksin,” kata John Siu Lun Tam, asisten profesor dari mikrobiologi di Universitas Politeknik Hong Kong seperti dilansir dari SCMP, Selasa (29/12/2020).

Terlepas dari upaya Covax, di Asia Tenggara, negara-negara ini menghadapi banyak sekali tantangan yang berkaitan dengan biaya, penyimpanan, dan distribusi. 

Thailand, ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara, telah berjanji untuk memimpin penerbitan vaksin di wilayah Mekong dengan melisensikan teknologi Oxford-AstraZeneca untuk memproduksi jutaan dosis sebagai "barang publik" untuk negara-negara tetangga.

Myanmar, Laos, dan Kamboja sangat bergantung pada janji Covax untuk menyediakan 20 persen dosis yang dibutuhkan dengan harga yang sangat disubsidi, atau menunggu suntikan dari Rusia dan China. 

Kamboja, yang taipannya telah didaftarkan oleh Perdana Menteri Hun Sen untuk membantu pengadaan vaksin, diyakini akan mencari bantuan yang terjangkau ke Rusia untuk melengkapi 1 juta dosis yang baru-baru ini diamankan melalui Covax.

Pada pertemuan PBB baru-baru ini, Perdana Menteri Thongloun Sisoulith dari Laos, salah satu negara termiskin di Asia Timur, mengimbau negara-negara kaya agar menyediakan vaksin yang terjangkau bagi negara-negara miskin. Pada November, Perdana Menteri China Li Keqiang pun mengatakan pada KTT Asean bahwa akan mengambil tindakan praktis untuk membuat vaksin terjangkau dan tersedia. 

Sejauh ini, Indonesia telah mendapatkan 125,5 juta dosis vaksin Sinovac, sementara Filipina mengupayakan 20 hingga 50 juta dosis dan Singapura telah memesan dalam jumlah yang tidak diketahui. Ada juga laporan bahwa Turki, Brazil dan Chile telah mendapatkan inokulasi dari perusahaan, sedangkan Uni Emirat Arab dan Bahrain telah mengijinkannya untuk digunakan.

Meskipun memposisikan dirinya sebagai pemimpin regional dalam peluncuran vaksin, Thailand sendiri hanya mengamankan suntikan untuk kurang dari 20 persen populasinya melalui kesepakatan US$ 80 juta untuk vaksin Oxford-AstraZeneca. Sebanyak 26 juta dosis tersebut juga diperkirakan tidak akan tiba hingga Mei atau Juni. Harapan tinggi untuk produksi lokal baru akan diuji coba kepada manusia mulai April tahun depan.
“Tantangan kami termasuk ketidaksesuaian antara permintaan dan pasokan, kapasitas untuk memvaksinasi dan hanya memiliki satu kesepakatan yang jelas,” kata Thira Woratanarat, seorang ahli epidemiologi terkemuka di Thailand.

Vietnam juga telah mengarahkan pandangannya pada vaksin yang diproduksi secara lokal, dengan empat perusahaan domestik bekerja untuk mengembangkannya. Mereka termasuk Nanogen Biopharmacies Biotechnology yang berbasis di Ho Chi Minh City, yang pada 17 Desember menjadi pengembang pertama di negara itu dan memulai uji coba pada manusia tahap pertama. Menurut Kementerian Kesehatan Vietnam, vaksin Nanocovax diperkirakan hanya berharga 120.000 dong (US$ 5,17) per inokulasi. 

Andrea Taylor, asisten direktur program di Duke Global Health Institute di Durham, Carolina Utara, mengatakan negara-negara berpenghasilan tinggi memiliki lebih dari setengah dosis vaksin yang dibeli melalui komitmen pasar sebelumnya, meskipun hanya mewakili 16 persen dari populasi dunia.

“Saat ini, banyak negara berpenghasilan rendah, termasuk di kawasan Asia-Pasifik, menghadapi kesenjangan besar dalam cakupan populasi dengan vaksin Covid-19. Namun, kami juga tahu bahwa akses yang tidak adil terhadap vaksin akan menyebabkan situasi yang lebih buruk, baik dari segi hasil kesehatan maupun dampak ekonomi,” kata Taylo.

Menurutnya negara-negara berpenghasilan tinggi menghadapi kerugian PDB gabungan sebesar US$120 miliar tahun depan jika negara-negara berpenghasilan rendah tidak divaksinasi. "Kami tampaknya sedang menuju situasi di mana ada orang kaya dan miskin, setidaknya untuk beberapa tahun mendatang, dan ini akan menjadi lebih buruk bagi semua orang,” sebutnya khawatir.

Jerome Kim, kepala Institut Vaksin Internasional di Seoul, Korea Selatan, mengatakan distribusi yang adil adalah masalah serius, tetapi memperkirakan ketersediaan vaksin yang jauh lebih luas dimulai pada kuartal kedua 2021. Itu mungkin termasuk vaksin China dan Rusia yang dipasok melalui Covax , asalkan mereka menerima persetujuan yang diperlukan dari WHO untuk dimasukkan dalam skema.

“Apa yang tersedia mungkin sangat bergantung pada kemampuan berbagai manufaktur untuk menyediakan pasokan, partisipasi dalam Covax, dan dukungan global untuk Fasilitas Covax. Jika tidak, mungkin ada serapan dan penggunaan vaksin yang tidak merata dan infeksi Covid-19 dan kematian akan terus meningkat," kata Kim.

Bahkan di mana persediaan vaksin yang memadai dapat diperoleh dan disimpan dengan benar, beberapa negara mungkin menghadapi tantangan logistik yang berbeda untuk mengimunisasi populasi mereka. “Selain kesulitan dalam penyimpanan dan pengiriman vaksin mRNA, banyak negara tidak memiliki program vaksinasi khusus yang melibatkan semua usia dan kelompok risiko,” kata Tam.

Kebutuhan akan pendingin khusus untuk penyimpanan, perhatian khusus pada vaksin Pfizer-BioNTech, yang harus disimpan pada suhu minus 80 derajat Celcius (minus 112 derajat Fahrenheit), kemungkinan akan menjadi tantangan bagi banyak negara, termasuk di Asia Tenggara.

Di India, di mana beberapa vaksin yang ditanam sendiri termasuk di antara sembilan kandidat yang sedang dikembangkan, kekhawatiran telah dikemukakan tentang ketersediaan tenaga kerja yang diperlukan untuk mengimunisasi lebih dari 1,3 miliar orang di negara itu. Pakar kesehatan masyarakat setempat telah menyatakan keraguan tentang rencana pemerintah untuk memobilisasi 154.000 dari 239.000 bidan perawat tambahan (ANM) negara itu untuk kampanye imunisasi massal.

T. Sundararaman, koordinator kelompok advokasi Gerakan Kesehatan Rakyat, mengatakan para petugas kesehatan ini penting untuk melaksanakan program imunisasi, perawatan antenatal, persalinan di rumah dan program keluarga berencana yang ada. Selain tantangan pengiriman vaksin, ada tantangan standarisasi dan efektivitas vaksin. Kebutuhan sumber daya transportasi untuk pengiriman, ruang penyimpanan dingin, dan jumlah pemberi vaksin yang terampil juga menjadi tantangan di negara ini.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro