Insomnia/boldsky.com
Health

Pandemi Covid-19 Bikin Orang Susah Tidur, Waspada Imun Menurun

Newswire
Minggu, 21 Maret 2021 - 01:47
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Kecemasan terhadap pandemi Covid-19 membuat sejumlah orang mengeluhkan kesulitan tidur. Hal ini berbahaya karena justru menurunkan sistem imun tubuh di tengah pandemi.

Dokter Andreas Prasadja, RPSGT dari Snoring and Sleep Disorder Clinic di RS Mitra Kemayoran Jakarta mengungkap bahwa sejumlah pasiennya mengalami masalah tidur sejak pandemi Covid-19 dimulai di Indonesia.

"Telah terjadi perubahan komposisi masalah tidur pada pasien saya. Sebelum pandemi, 50 persen pasien yang datang ke saya mengalami insomnia, sementara 50 persen lagi sleep apnea. Sekarang, 70 persen pasien saya adalah pasien insomnia dan 30 persen sleep apnea," kata Andreas, dikutip dari Antara.

Kurang tidur dapat mengakibatkan produksi hormon stres meningkat, sehingga melemahkan sistem imun tubuh.

"Selain itu, bisa juga menyebabkan pembengkakan pada tubuh. Karenanya, mendapatkan tidur berkualitas menjadi lebih penting lagi di tengah pandemi ini," kata dia.

Menurut hasil studi tidur global Philips 2021 yang dirilis dalam rangka World Sleep Day 2021 mengungkapkan bahwa masyarakat di kawasan Asia-Pasifik dan di seluruh dunia, mengalami setidaknya satu atau lebih tantangan tidur sejak awal mula Covid-19.

Hampir dua pertiga (62 persen) responden menyatakan pandemi telah berdampak secara langsung terhadap kemampuan mereka untuk tidur nyenyak.

Seperti ketakutan dan kekhawatiran dalam situasi krisis umumnya, pandemi ini telah memperburuk masalah tidur masyarakat dunia.

Hampir setahun setelah Covid-19 merebak, masyarakat di Asia Pasifik melaporkan bahwa mereka tidur lebih banyak, dengan rata-rata 7,2 jam per malam (dibandingkan 7,1 jam pada studi di 2020), tetapi 1 dari 4 (41 persen) merasa tidak puas dengan tidur mereka.

"Bagi setengah dari responden survei di Asia Pasifik, pola tidur mereka telah berubah Ketika pandemi melanda–hampir seperempat (22 persen) menyatakan bahwa waktu tidur malam mereka berkurang setiap malam, dengan hanya 35 persen mengaku merasa cukup istirahat ketika bangun pagi, dan 44 persen mengalami kantuk di siang hari," kata Pim Preesman, Presiden Direktur Philips Indonesia.

Mendapatkan tidur yang nyenyak hingga pagi merupakan tantangan bagi banyak orang. Responden studi mengalami kesulitan seperti terbangun di tengah malam (42 persen), kesulitan tertidur (33 persen), dan sulit untuk tetap tertidur (26 persen).

Kekhawatiran dan stres menjadi alasan utama mengapa orang dewasa di Asia Pasifik kurang tidur (21 persen), disusul oleh penggunaan gawai seperti ponsel dan tablet (17 persen) serta lingkungan tidur (16 persen).

Masyarakat di Asia-Pasifik yang kerap terjaga akibat kekhawatiran/stres, mengatakan bahwa hal yang paling mereka khawatirkan adalah masalah finansial (54 persen), tanggung jawab pekerjaan (52 persen), kesehatan diri dan keluarga (38 persen), dan kondisi keluarga secara umum (34 persen). Hampir setengah (43 persen) juga khawatir dengan pandemi COVID-19 yang masih berlanjut.

Obstructive sleep apnea (OSA)

Ketika masyarakat di Asia Pasifik mulai mencari berbagai cara untuk mengatasi masalah tidur, rasa takut masih menjadi penghalang bagi penderita untuk mendapatkan diagnosa gangguan tidur, seperti obstructive sleep apnea (OSA).

Satu dari tiga (31 persen) responden takut untuk menjalani tes tidur karena tidak mau mengetahui jika mereka menderita OSA, sementara 28 persen percaya bahwa tidak perlu mendapatkan perawatan untuk OSA.

Sebagai kondisi yang jarang didiskusikan, dan sering tidak terdiagnosa, OSA ditandai dengan gangguan pernapasan atau henti napas beberapa kali sepanjang tidur, sehingga mencegah oksigen mencapai paru-paru.

Gejala OSA termasuk tersedak atau napas tersengal saat tidur, dengkuran yang keras dan terus-menerus, kelelahan berlebihan dan konsentrasi yang buruk di siang hari.

"OSA telah teridentifikasi sebagai faktor risiko independen untuk penyakit COVID-19 parah yang bisa mengakibatkan pasien harus dirawat di rumah sakit. OSA juga secara independen dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas terkait COVID-19," tutur Andreas.

Sayangnya, masih banyak orang yang tidak menyadari hal ini dan menyepelekan gejala OSA, terutama mendengkur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Newswire
Editor : Hafiyyan
Sumber : Antara
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro