Ilustrasi - Buruh pabrik mengemas rokok SKT di Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) Kudus./Bisnis-Muhammad Faisal Nur Ikhsan
Health

Implementasi Dilapangan Dinilai Lebih Efektif Turunkan Konsumsi Rokok Anak Dibanding Revisi Peraturan 

MG Noviarizal Fernandez
Rabu, 14 Juli 2021 - 10:28
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah pihak menilai bahwa revisi PP No.109/2012 tidak akan efektif menurunkan prevalensi merokok anak di Indonesia. Namun yang perlu dilakukan adalah sosialisasi dan impelementasi mengenai Peraturan Pemerintah (PP) tersebut dilapangan.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Benny Wachjudi mendukung target pemerintah untuk menurunkan angka prevalensi merokok anak. Meski begitu, revisi peraturan dinilai bukanlah jalan keluar yang tepat.

“Pada dasarnya PP No.109/2012 sudah sangat memadai dan tidak perlu direvisi. Kalaupun ada yang kurang, kami menilai bukan pada aturannya sendiri, melainkan lebih kepada implementasinya, khususnya sosialisasi dan edukasi masyarakat serta penegakan peraturannya,” ujarnya seperti dikutip, Rabu (14/7/2021).

Seperti diketahui bahwa saat ini Pemerintah Republik Indonesia tengah didorong untuk menunjukan keseriusannya dalam menurunkan prevalensi perokok anak di bawah 18 tahun menjadi 8,7% di 2024.

Target tersebut diusung Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang mendesak dilakukannya revisi Peraturan Pemerintah No.109/2012 (PP 109/2012) tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Usulan revisi tersebut antara lain perluasan gambar peringatan kesehatan atau Pictorial Health Warning (PWH) pada kemasan rokok dari saat ini 40% menjadi 90%, pelarangan penggunaan bahan tambahan, memperketat pengaturan iklan, pelarangan kegiatan sponsorship dan promosi oleh perusahaan penghasil produk tembakau.

Menurut Benny, PP No.109/2012 sudah secara tegas melarang penjualan rokok kepada anak dibawah umur 18 tahun dan ibu hamil.

Soeprapto Tan, Managing Director IPSOS di Indonesia, sebuah lembaga riset pasar menyatakan bahwa 32% General Trade (pedagang rokok tradisional atau warung) mengaku tidak tahu adanya peraturan larangan penjualan rokok kepada anak-anak karena tidak pernah mendapat sosialisasi.

Menurutnya, sebagian menyimpulkan larangan itu hanya berlaku bagi pelanggan rokok dan bukan untuk pedagang. Dan ketika dilakukan kajian lebih lanjut, 34% pedagang mengaku pernah menjual rokok kepada anak dengan asumsi bahwa rokok tersebut untuk kebutuhan orang dewasa atau orang tua sang anak.

Asumsi tersebut didasari pada pembelian rokok dalam bentuk kemasan utuh, dan bukan eceran. Diantara mereka juga mengungkapkan, bahwa jika mereka melarang pembelian oleh anak, hal ini akan berpengaruh pada berkurangnya pendapatan.

“Dengan banyaknya pedagang rokok tradisional berlokasi di lingkungan pemukiman dan seiring dengan tujuan menekan akses anak di bawah umur kepada rokok, pemerintah perlu melakukan upaya untuk meningkatkan pengetahuan pedagang terkait regulasi penjualan rokok kepada anak mengenai apa yang melatarbelakangi regulasi itu serta menerapkan sanksi kepada para pedagang yang tetap melakukannya,” ujarnya.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular pada Kementerian Kesehatan, Cut Putri Arianie, menyebut bahwa sosialisasi dan penegakan hukum terkait PP 109/2012 seharusnya menempatkan pemerintah daerah sebagai ujung tombak.

Menurutnya hal itu konseksuensi dari otonomi daerah. Kemenkes fokus pada penanganan dampak rokok atau di hulu. Sementara penegakan hukum ada di hilir.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar, Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo mengatakan bahwa PP 109/2012 sudah lebih ketat jika dibandingkan dengan Framework Convention for Tobbaco Control (FCTC),  yakni acuan internasional pengendalian Industri Hasil Tembakau (IHT) internasional.

Edy berpendapat, penegakan hukum dan sosialisasi PP 109/2012 lebih dibutuhkan dibandingkan dengan revisi. Menurutnya semua sisi harus dipertimbangkan dalam membuat regulasi, karena aturan yang lebih ketat dari PP 109/2012 bisa mematikan IHT.

“Meski IHT dapat dikatakan industri yang agile dalam menghadapi berbagai kondisi, namun kondisi mereka saat ini sangat menurun. Di tengah kondisi yang tertekan ini, adanya revisi PP 109/2012 akan malah mendorong dan membuka peluang masifnya rokok ilegal,” ujarnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro