Bisnis.com, JAKARTA - Sekitar 3 pekan lalu, saya berada di Stasiun Bandung. Suasananya dipadati pengunjung. Saya menduga sebagian dari mereka adalah calon pemudik yang ingin merayakan Lebaran di kampung masing-masing.
Tak lama, ponsel saya berbunyi. Tanda sebuah pesan Blackberry Messenger masuk. "Mas, saya tunggu di depan Indomaret [area stasiun] ya. Saya pakai kerudung ijo," katanya. "Sip Mbak saya segera ke sana," jawab saya.
Mata saya melirik kanan-kiri mencari perempuan berkerudung hijau. Benar, ketika saya masuk pintu Stasiun Bandung, tepat seorang perempuan berdiri. Dia tengah sibuk memainkan gadjet di genggaman. Saya mendekati dia dan langsung menyapanya sambil sesekali berbasa-basi. "Lygia," katanya mengenalkan diri.
Keberadaan kami berdua di stasiun bukan untuk keperluan mudik seperti sebagian orang yang tampak sibuk itu, melainkan untuk sebuah keingintahuan saya tentang komunitas bernama Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN).
Kebetulan, Lygia Nostalina, nama lengkapnya, menjabat sebagai Marketing Communilcation IIDN. Dia memilih stasiun sebagai tempat kami mengobrol. Sekalian juga dia tengah menjemput seorang kawannya, Herry Sumartono yang akan datang dari Yogyakarta. Herry adalah tim Information dan Technology (TI) IIDN.
Senja perlahan mulai gelap. Beduk magrib terdengar. Saya sejenak membeli minuman untuk buka puasa. Kami memilih duduk di sebuah taman kecil tak jauh dari pintu masuk stasiun. Sambil menikmati buka puasa, Lygia mulai bercerita. “Sambil santai saja ya,” ujarnya yang sesegara saya balas mengiyakan.
Saya tidak sabar untuk segera tahu seperti apa kegiatan IIDN. Posisi duduk kami saling berhadapan. Dia menyimpan salah satu ranselnya. Satu tasnya lagi dia apit dalam genggaman. Dia mulai mengisahkan bahwa terbentuknya IIDN dimulai pada 2010.
Awalnya, seorang kawan penulis bernama Indari Mastuti, yang juga punya usaha agensi naskah berlabel Inscript memiliki ide untuk membuat komunitas. Lygia mengatakan dirinya ditarik untuk membantu dalam menggerakan komunitas tersebut, tanpa pikir panjang, dia mengiyakan.
“Inscript sebetulnya hanya sebuah agen saja yang biasa mengajukan sejumlah naskah buku ke penerbit. Nah kebetulan, Inscript ini kelimpungan menerima tawaran dari penerbit. Maka kami kumpulkanlah para penulis-penulis itu,” ujarnya.
Lygia menuturkan dibentuknya IIDN ini juga sekaligus untuk membuat generasi ibu-ibu khususnya yang berrumah tangga agar tetap produktif di sela kesibukan mengurus keluarganya. Dan benar saja, antusiasme para ibu-ibu tersebut pada tahun pertama cukup mengejutkan. “Ternyata banyak juga yang tertarik,” katanya.
Lygia mulai mengenalkan komunitas IIDN melalui sosial media. Dia mencoba menjaring minat ibu-ibu yang senang menulis. “Setelah memiliki anggota cukup banyak kami mulai kopdar [kopi darat] dan mulai membentuk kegiatan riil,” ungkapnya.
Peminat yang terlibat di komunitas IIDN ini sangat beragam. Dari mulai ibu-ibu penulis yang sudah menerbitkan buku hingga yang benar-benar belajar dari nol. Mereka kebanyakan ingin tahu bagaimana seluk beluk menulis dan membagi waktu dengan keluarga.
Kegiatan yang biasa digelar yaitu seminar tentang kepenulisan dengan pembicara dari beberapa tokoh besar. Selain itu ada juga diskusi rutin bulanan. “Kami juga punya jadwal khusus mendiskusikan karya masing-masing yang nantinya diberikan komentar dari setiap anggota,” ujarnya.
Cara yang biasa dilakukan adalah setiap anggota memposting karya melalui grup. Nanti satu persatu anggota lain memberikan masukan. Masukan dari anggota beragam, ada yang memberi ide cerita, memuji, bahkan berkomentar pedas, dalam artian kritik membangun.
Hingga kini anggota IIDN sudah mencapai 7.500 anggota. Anggota sebanyak itu perlahan terbangun seiring proses pengenalan setiap anggota. Juga dari bantuan media sosial. “Hampir setiap kota-kota besar kami punya korwilnya sendiri-sendiri,” paparnya.
Selama 3 tahun komunitas ini dibentuk, hampir 20% anggota yang sudah menerbitkan buku. Jenis buku yang ditulis beragam. Mulai dari cerpen, novel, kumpulan catatan pribadi dan buku motivasi. Sistem penulisan pun bermacam-macam. Setiap buku yang diterbitkan ditulis oleh sendiri dan ada juga yang keroyokan.
Lygia sendiri sampai saat ini sudah menerbitkan 10 buku antara lain berjudul A Cup of Tea, Story Cake Ramadan, Amazing Mom, For the Last Mom, dan Story Cake for Back Packer . Satu lagi, Emak Backpacker yang masih dalam proses penulisan.
KUNCI
Perempuan yang mengaku single parent itu dalam setiap bulannya ditarget membereskan satu buku oleh penerbit. Namun dia sudah tidak terlalu kebingungan untuk mendapatkan ide cemerlang. Apalagi tentang menulis, dia sudah memiliki jadwal tersendiri. “Satu kuncinya jika ingin pandai menulis: konsisten,” katanya.
Itulah yang ingin diterapkan perempuan dengan nama pena Lygia Pecanduhujan itu kepada setiap anggota IIDN. Secara perlahan strategi tersebut berhasil. Anggota IIDN sudah mulai memiliki produktifitas menulis yang baik.
Ke depan, ibu tiga anak ini memiliki rencana untuk menggelar Musyawarah Nasional (Munas) IIDN yang hingga saat ini belum juga terlaksana. Karena sebagian besar, lanjutnya, gathering hanya bisa dilakukan di setiap kota saja. “Cukup sulit menyatukan ribuan ibu-ibu ini ya ternyata,” ungkapnya sambil tertawa kecil. “Tapi mudah-mudahan tahun ini jadi,” paparnya.
Sudah hampir setengah jam lebih kami duduk di taman kecil Stasiun Bandung. Mendengarkan perempuan lulusan Hukum Universitas Padjajaran itu berkisah. Sejenak dia memberhentikan obrolannya dengan saya. Segera dia membuka ponselnya. Mungkin ada pesan masuk.
Benar saja, kawannya bernama Herry Sumartono itu sudah tiba. Lygia melambaikan tangan kirinya. Tangan kanannya memegang ponsel yang tengah menelpon. “Mas Herry, saya di sebelah kiri. Coba menengok ke kiri,” katanya.
Tanpa lama-lama, saya mengenalkan diri pada pria yang gaya bicaranya medok itu. Dan bergegas pamit setelah basa-basi sejenak. Saya segera menyalakan motor. Meninggalkan stasiun. Udara Bandung, seperti biasa, dingin menusuk kulit.