Show

Tafsir Religiusitas dalam Lukisan Isa O. Djakasuria

Miftahul Khoer
Selasa, 17 Desember 2013 - 23:33
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Tujuh manusia tertidur nyenyak dalam sebuah gua. Sementara itu, seekor anjing merah berjaga-jaga di mulut gua ditemani cahaya bulan yang menerangi.

Ketujuh manusia tersebut tentunya akan segera kita ketahui sebagai kisah yang termaktub dalam Al Quran tentang Ashabul Kahfi. Kisah ini diangkat kembali oleh seorang Kyiai sekaligus pelukis Isa O. Djakasuria.

Dalam pameran tunggalnya Perjalanan: Kenali Diri, Kenali Alam, Kenali Maha Pemelihara yang berlangsung di Salihara 8-15 Desember 2013, ada sebuah lukisan yang cukup menarik untuk dicermati.

Lukisan tersebut berujudul Kahfi I (43 x 43 cm, akrilik di atas kanvas, 1984) yang mengisahkan tujuh pemuda yang tertidur selama 309 tahun di sebuah gua. Almarhum Isa, dalam lukisan ini mencoba menuangkan gagasan kisah Al Quran ke dalam visual.

Ashabul Kahfi, yang berarti penghuni gua adalah kisah yang terjadi ketika para pemuda menyembunyikan diri dari kuasa raja kejam pada saat itu. Mereka mengasingkan diri untuk mempertahankan keimanannya dari rezim kerajaan penyembah berhala.

Dalam Kahfi I, lukisan yang ditorehkan Isa memang tidak secara jelas dan gamblang divisualisasikan. Mungkin dia lebih menekankan makna. Pelukis dan ulama yang meninggal pada 2011 ini, selama hidupnya memang tertarik dengan lukisan bertema religius. Dia kerap menuangkan visualnya pada objek-objek keislaman.

Pada lukisan Nabawi (83 x 74 cm, akrilik di atas kanvas, 1983), kita bisa segera merasakan langsung suasana yang terdapat pada gambar. Isa mengambil salah satu sudut Masjid Nabawi yang tidak sedang disesaki pengunjung. Visualisasi ini yang mungkin ingin sajikan kepada khalayak tentang perjalanan spiritualnya.

Masjid Nabawi, seperti diketahui merupakan salah satu tempat ibadah terbesar di dunia yang dibuat langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Estetika yang dihadirkan Isa kerap dikaitkan dengan jejak peninggalan sang Nabi. Maka tidak heran jika pada lukisan lainnya, Masjidil Haram I (75 x 55 cm, akrilik di atas kanvas, 1984) dan Arafah II (45 x 55 cm, akrilik di atas kanvas, 1994) menampilkan semangat religinya sebagai seorang ulama dalam menyiarkan ajaran Islam.

Isa O. Djakasuria lahir di Ciomas, Banten pada 1920. Dia pernah dipenjara oleh tentara Jepang atas tuduhan pembuatan sketsa melalui kode rahasia hasil karyanya. Selain seorang pelukis dan ulama, dia juga kerap membuat cerita pendek yang diterbitkan berbagai surat kabar pada zamannya. Tak ketinggalan, tugasnya sebagai pemuka agama kerap dia lakoni melalui dakwah ke berbagai kalangan.

Pada pameran yang digelar oleh Yayasan Raafi Aga Benjamin ini, Isa memamerkan sebanyak 55 karya yang disusun sesuai perjalanan hidupnya. Tentunya, tema religi dan spiritual mendominasi karya Isa yang dihasilkan melalui pengalaman batinnya.

Akan tetapi, tema-tema sosial juga akan mudah ditemui dalam beberapa lukisannya. Seperti pada lukisan berjudul Pasar Solo (87 x 75, minyak di atas kanvas, 1997), Isa menggambarkan suasana pedesaan yang asri tanpa hiruk pikuk kemacetan jalan. Pada lukisan ini, sepertinya Isa ingin memberikan pesan bahwa pasar yang terjadi saat ini jauh berbeda dengan kondisi masa kini. Pasar adalah tempat orang mencari barang yang disukai. Ada pertemuan antara penjual dan pembeli. Sementara makna pasar saat ini lebih praktis dan modern yang tidak mengutamakan proses silaturahmi.

Lukisan lain yang menampilkan kearifan lokal berjudul Warung Puloraya (53 x 56 cm, akrilik di atas kanvas, 1996). Isa dengan tegasnya menorehkan kuas menggambarkan potret desa yang damai bersahaja. Dalam lukisan tersebut sama sekali tidak terlihat hiruk pikuk atau kebisingan kota. Yang ada hanyalah pepohanan, binatang dan rumah panggung yang damai dan indah.

Namun, selain melukis bertema spiritual dan sosial, Isa juga menghasilkan karya realis. Karya bertema pemandangan dan manusia bisa dilihat pada lukisan berjudul Potret Diri (40 x 50 cm, akrilik di atas kanvas, 1989) dan Anyer Lor di Negeri Banten (68 x 48 cm, minyak di atas kanvas, 1994).

Tampaknya, pelukis yang hidup sezaman dengan pelukis kesohor semacam S. Sudjojono, Affandi, Basoeki Abdullah dan seniman lainnya ini memiliki karakter tersendiri. Meskipun, dari segi visual, bisa terlihat mana produk pelukis zaman old master dan mana karya kontemporer. Di luar semua itu, lagi-lagi sisi keagamaan berkeseniannya lebih menonjol kuat

Pengamat seni rupa Danarto dalam catatannya menjelaskan bahwa kebutuhan proses kreatif seorang pelukis sekaligus berprofesi ulama adalah permasalahan keagamaan. Lukisan karya Isa dalam pandangan Danarto menjelaskan berbagai tema seakan mengembara ke berbagai kawasan.

“Bentuk, warna dan komposisi lukisan Isa dibuat sesuai apa yang tampak dalam pandangan matanya. Isa juga tak ketinggalan mencermati pemandangan alam, kota, dan tempat-tempat bersejarah terkenal,” paparnya.

Danarto melihat beberapa pemuka agama yang juga berprofesi sebagai seniman sering menghadirkan tema spiritual dan religi seperti halnya Mustofa Bisri (Gus Mus), D Zawawi Imron dan juga Acep Zamzam Noor. Kesemua seniman tersebut kerap menyelipkan ihwal keterkaitan hubungan manusia dengan Tuhan melalui karyanya.

Penulis : Miftahul Khoer
Editor : Sepudin Zuhri
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro