Bisnis.com, JAKARTA - Tjhin Wiguna, Psikiater Anak dari Divisi Psikiater Anak dan Remaja Departemen Psikiatri FKUI/RSCM mengatakan permainan tradisional sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosi anak dan kemampuan adaptif terhadap lingkungan.
“Permainan yang dilakukan bersama-sama akan mempercepat anak menerima sinyal dari lingkungan sekitar,” paparnya.Misalnya, si anak akan mengetahui jika pasangan bermainnya sedang sedih, gembira, tidak mood atau bete. Mereka akan menghibur satu sama lain. Di sinilah simbiosis mutulisme turut bermain.
Namun kini dengan terbatasnya lahan, permainan tradisional dengan komunal dan lahan berubah seiring berkembangnya zaman ke era digitalisasi.“Era digitalisasi tidak bisa dikatakan buruk, ya seperti dua sisi mata uang lah, ada baiknya dan ada pula buruknya,” ungkap Tjhin.
Permainan digital memacu si anak untuk mempunyai jiwa kompetisi karena permainan macam ini (digital) lewat gadget berpacu dengan level kemenangan.“Semangat kompetisi juga baik untuk tumbuh kembang emosi anak. Namun yang disayangkan adalah jika mereka berkompetisi lewat dunia maya. Mereka tidak tatap muka langsung,” ujarnya.
Tjhin berharap jika permainan dengan melibatkan interaksi komunal tetap selalu terjaga eksistensinya. Dia juga percaya jika permainan tradisional tidak akan tenggelam meskipun kurangnya lahan di era serba teknologi ini.Hal tersebut dapat disiasati dengan bermain di ruang terbatas tetapi masih bersifat komunal dengan tatap muka. Misalnya main bekel, main lompat tali, monopoli dan ular tangga. (Inda Marlina & Deliana Pradhita Sari)