Bisnis.com, JAKARTA - Bagi kebanyakan perempuan, memiliki tubuh langsing ideal adalah sebuah dambaan. Biasanya keinginan tersebut belum terbesit saat masih anak-anak dan baru muncul setelah mereka beranjak remaja serta mulai memasuki usia puber.
Saat menginjak remaja, anak-anak mulai menyadari keberadaan standar-standar cantik yang terbentuk di dalam sebuah struktur sosial. Mereka mulai mengenal presepsi bahwa kelebihan berat badan bukan standar cantik atau penampilan fisik yang ideal.
Tanpa disangka-sangka, stigma sosial tersebut memengaruhi pola pikir para remaja putri. Itulah sebabnya banyak gadis pada zaman modern yang sudah mengenal berbagai macam pola diet ekstrim sejak rentang usia mereka masih sangat hijau.
Namun, terdapat pula gadis-gadis yang mengalami obesitas sejak remaja dan tidak memperoleh dukungan keluarga mengenai pola hidup sehat. Tak sedikit orang tua yang abai bahwa obesitas pada anak gadisnya dapat berujung pada depresi berat saat mereka dewasa.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh University of Washington di Seattle memaparkan fakta bahwa remaja putri yang mengalami obesitas cenderung menunjukkan gejala-gejala depresi saat menginjak usia 65 tahun, khususnya jika mereka berasal dari keluarga miskin.
Uniknya, fenomena itu tidak dijumpai pada remaja putra. Studi itu dilakukan terhadap 10.000 lulusan SMA di Wisconsin pada 1957. Mereka diminta menjawab 20 pertanyaan survei saat lulus, dan pada 1964, 1975, 1993, serta 2004 saat rerata usia mereka menginjak 65 tahun.
Para peneliti menggunakan foto-foto pada buku tahunan sebagai acuan, dan membagi para responden ke dalam empat kelompok, yaitu grup kurus, normal, kecenderungan gemuk, dan obesitas.
Hasilnya, sekitar 40% responden memiliki berat badan normal saat remaja, 36% berisiko gemuk, 10% kurus, serta 10% obesitas. Pada saat berusia 65 tahun, ternyata sepertiga dari responden mengalami obesitas.
"Hasil yang paling mengejutkan terletak pada perbedaan hubungan antara obesitas pada remaja dan gejala-gejala depresi saat dewasa antara laki-laki dan perempuan," jelas kepala penelitian tersebut, Melissa L. Martinson, seperti dikutip dari Reuters.
Dia mengungkapkan gejala-gejala depresi paling banyak dialami oleh perempuan pada usia 65 tahun yang semasa remajanya mengalami obesitas. Padahal, tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya berhasil mencapai berat badan ideal, serta status sosial yang lebih baik.
Sementara itu, responden yang pada masa remajanya kurus atau berisiko gemuk tidak memiliki kecenderungan depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki berat badan normal.
"Kami belum mengetahui secara pasti mengapa terdapat perbedaan hasil antara responden laki-laki dan perempuan. Mungkin stigma sosial yang negatif mengenai remaja obesitas lebih memengaruhi perempuan ketimbang laki-laki, terutama bagi mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah-bawah," imbuh Martinson.
Dia juga menemukan fakta bahwa responden perempuan yang obesitas saat SMA dan masih kelebihan berat badan saat menginjak 65 tahun menunjukkan gejala depresi dan stres yang paling parah.
Sudah rahasia umum bahwa depresi saat remaja dapat memicu obesitas saat dewasa. Ini menjelaskan mengapa banyak orang sulit menurunkan berat badan sepanjang hidupnya, imbuh Kristy Sanderson dari Menzies Institute for Medical Research di Hobart, Australia.
Lebih lanjut, dia menjabarkan obesitas merupakan sebuah problema jangka panjang yang bisa menjadi momok seumur hidup bagi seseorang. Bahkan, ada stigma bahwa sekali seseorang mengalami obesitas, selamanya dia akan tetap seperti itu.
Menurut sosiolog Utah State University di Logan, Christy M. Glass, perempuan yang gagal memenuhi standar cantik konvensional kerap mengalami kegagalan dalam hubungan sosial dan ekonominya.
"Remaja putri yang obesitas biasanya dijauhi dalam pergaulan. Tidak jarang dia menjadi bahan olok-olokan. Saat puber pun, jarang ada remaja putra yang mengajak kencan karena mereka lebih memilih gadis yang langsing," ujarnya.
Kondisi tersebut tanpa disadari memupuk benih-benih depresi pada gadis muda tersebut. Saat dia beranjak dewasa, dia akan terus menghadapi stereotipe bias dan negatif dari rekan-rekan kerjanya, kolega, maupun pegawai di sekitarnya.
Di lain pihak, lanjutnya, remaja putra cenderung tidak terlalu terdampak pada penalti sosial tersebut. Biasanya, mereka lebih abai dan terlalu disibukkan dengan kegiatan ekstrakulikuler dan lain-lain, sehingga mereka tetap dapat mempertahankan jejaring sosial dalam hidupnya.
Untuk itu, sudah saatnya meninjau kembali masalah obesitas pada perempuan yang bagaikan lingkaran setan di dalam kehidupan sosial manusia modern. Banyak keluarga yang menyalahkan seorang perempuan karena kelebihan berat badan, tanpa menilik penyebabnya.
Sebagian besar ahli gizi juga lebih fokus pada kondisi berat badan pasiennya saat ini, ketimbang mempelajari rekam jejak berat badan pasiennya sejak remaja. Padahal, bisa saja untuk mengatasi obesitas, dibutuhkan penyembuhan secara psikologis terlebih dahulu.
"Lebih bijaklah dalam menilai penampilan fisik seseorang, karena kita tidak pernah tahu apa yang pernah dialami oleh seseorang yang mengalami obesitas. Jangan sampai standar cantik sosial mengubah kita menjadi orang yang mudah menghakimi individu lain berdasarkan penampilan fisik."