Bisnis.com, JAKARTA - Demi menggapai cita-cita, Wi bertolak meninggalkan Indonesia menuju Moskow, Uni Soviet, untuk melanjutkan studinya ke sebuah perguruan tinggi.
Wi berjanji tetap setia dengan kekasihnya. Mereka saling berbalas surat agar hubungannya tetap hangat. Hingga pada suatu ketika, gejolak politik mengemuka kisah cinta mereka pun pupus.
Begitulah potongan cerita pertunjukan teater boneka Setjangkir Kopi Dari Plaja yang dipentaskan Papermoon Puppet Theatre di Edwin's Gallery, Jakarta, 3 Oktober 2016. Pementasan ini digelar dalam rangka menggalang dana untuk PESTA BONEKA #5 pada 2-4 Desember mendatang di Jogjakarta. Sebelum di Edwin's Gallery, Setjangkir Kopi Dari Plaja sudah sempat tampil di Jakarta. Terakhir di Goethe Institut pada 2013.
Ada tiga boneka yang ditampilkan pada malam itu. Ketiganya memerankan Wi, kekasihnya Wi, dan pria lain yang dikemudian hari menjadi suami wanitanya Wi. Cerita ini merupakan kisah nyata perjalanan cinta sepasang kekasih yang berpisah lantaran persoalan politik.
Wi dalam cerita ini adalah Widodo Suwardjo, yang berusaha mencari kekasihnya setelah sekian lamanya berpisah, Widaro Soewahjo. Wi adalah mahasiswa pada era Orde Lama yang mendapat kesempatan melanjutkan studi ke Uni Soviet.
Di tengah-tengah studinya, meletus peristiwa 65 di Indonesia. Segala hal yang berbau komunis dan Orde Lama disingkirkan termasuk Wi yang tak bisa pulang ke negaranya karena kewarganegarannya dicabut. Adegan ini ditandai dengan boneka yang berperan sebagai Wi masuk ke dalam koper. Wi akhirnya menetap di Kuba. Dia tetap melajang hingga di usia senja karena kadung berkomitmen untuk menikahi kekasihnya itu.
Meskipun tanpa percakapan, pertunjukkan ini mampu menyampaikan pesan-pesannya. Pesan tentang keteguhan hati Wi yang tetap setia dengan kekasihnya walau harus dipisahkan dengan jarak dan waktu. Kemudian pesan tentang sejarah kelam bangsa Indonesia yaitu G-30 S/PKI 1965, saat sesama bangsa sendiri saling mencaci dan memfitnah.
Gejolak Politik
Gejolak politik di Tanah Air rupanya mengakhiri kisah cinta dua sejoli tersebut. Di tengah kebimbangan, kekasih Wi pun dipersunting orang lain. Mereka hidup bahagia membangun rumah tangga. Sebab tak mungkin menunggu Wi yang rasanya mustahil untuk balik ke Indonesia.
Saat rezim berganti, Wi mendapat kesempatan pulang ke Indonesia setelah memperoleh paspor dari pemerintah. Pada bagian ini, boneka itu keluar dari koper yang memenjarakannya. Dia membuka dokumen-dokumen lamanya dan menemukan foto kekasihnya. Janji setia dengan wanitanya masih dipertahankan Wi.
Pada momen itu, Wi berupaya bertemu dengan kekasihnya. Namun, usaha Wi belum membuahkan hasil. Hingga kembali ke Kuba, Wi tidak sempat bertemu dengan kekasihnya itu.
Setjangkir Kopi Dari Plaja disuguhkan di ruang galeri yang disulap menjadi tempat pertunjukan teater boneka. Suasananya lawas tak ubahnya gedung barang-barang antik, properti-properti yang dihadirkan bernuansa klasik miniatur mesin jahit, mesin tik, hingga jam beker. Semakin lengkap dengan cuplikan suara radio pada periode 60-an.
Adegan cerita diawali dengan perjumpaan sepasang boneka tersebut di suatu tempat. Keduanya berkenalan sampai tak disadari benih cinta tumbuh. Layaknya pasangan yang kasmaran mereka pergi kencan ke tempat hiburan. Wi kemudian memberikan cicin ke kekasihnya itu. Keduanya pun berpisah, karena Wi mesti melanjutkan pendidikannya ke negeri seberang. Cerita pun mengalir tanpa percakapan.
Maria Tri Sulistyani, Co. artistic director Setjangkir Kopi Dari Plaja mengatakan, pada pementasan kali ini ada beberapa penambahan unsur cerita salah satunya menaruh miniatur mesin jahit. Hal ini dilakukan setelah pihaknya mendapat cerita dari Pak Wi bahwa mereka telah membeli mesin jahit untuk persiapan membangun rumah tangga.
"Meski ceritanya sama konsep kami selalu berubah," ujarnya kepada Bisnis usai pementasan.
Selain penambahan properti, pementasan di galeri ini banyak menampilkan pergerakan set properti panggung. Maria mengatakan, hal tersebut memungkinkan dilakukan karena ruang galeri cukup luas. Dengan demikian pergerakan set ini diharapkan dapat menguatkan jalannya cerita.
"Tempatnya kan berbeda-beda jadi menyesuaikan ruang. Kami tidak bosan mementaskan ini."
Dia menuturkan, selain penggalangan dana, pementasan Secangkir Kopi dari Plaja dipilih karena ingin menyampaikan pesan tentang sejarah gelap Indonesia. Kembali menceritakan masa lalu pada saat ini akan memberikan pengetahuan bagi generasi muda.
"Ada alternatif mengekspresikan sejarah," ujarnya.