Bisnis.com, JAKARTA - Zaman dahulu, penanganan pasien penyakit jantung bawaan atau PJB selalu dilakukan dengan Eko yang dilanjutkan dengan kateterisasi, dengan kata lain, prosedur ini menjadi andalan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah.
Namun menurut Oktavia Lilyasari, Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Rumah Sakit Harapan Kita, dalam beberapa dekade terakhir, prosedur yang tadinya invasif berubah menjadi non-invasif dengan lebih sering menggunakan CT dengan MRI.
Ekokardiography (Eko) untuk pencitraan kardiovaskular pada PJB, selanjutnya dipilih alat/modalitas yang non-invasif terlebih dahulu, sebelum kateterisasi kalau memang dibutuhkan. Modalitas non-invasif tersebut yakni MRI atau CT Scan. Kemudian ada lagi modalitas non-invasif lain bernama Cardiac CT.
"Kita lihat nanti dalam perkembangam dunia medis, selanjutnya bagaimana," kata dokter yang juga menjadi salah satu petinggi Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki), belum lama ini.
Saat ini saja, lanjut dia, sudah muncul modalitas 3D Printing. Teknologi ini dapat melihat sekaligus mencetak bentuk jantung pasien persis seperti aslinya. Selain mencetak, teknologi ini juga bisa membentuk replika jantung pasien, berikut dengan bagian-bagian yang bermasalah.
Kemudian ada juga teknologi pencitraan canggih yang sedang dimiliki oleh kalangan medis di Israel, yakni 3D Hologram. Namun sayangnya kedua modalitas tersebut belum ada di Indonesia.
Bila teknologi ini menyebar dan ada di Indonesia maka akan sangat membantu dokter mendagnosis karena bisa melihat kondisi jantung pasien lebih detil. Terlebih, berdasarkan data rumah sakit Harapan Kita sebagai rumah sakit rujukan, kasus penyakit jantung bawaan terus mengalami peningkatan tiap tahun, terutama dari 2013 sampai 2016.
Penggunaan CT Scan dalam penanganan PJB di RS Harapan Kita pada 2013-2016 mengalami peningkatan sebesar 3,7%. Adapun penggunaan MRI naik 0,9%, sedangkan Kateterisasi diagnostik cendrung menurun.