Bisnis.com, JAKARTA - Pada 14 Oktober 1893, Salikun yang dikenal dengan nama Pitung, menghemmbuskan nafas terakhir di rumah sakit Stadeverband Glodok pada pukul 20.00 WIB.
Sebelumnya, dia disergap oleh Marechaussee unti kepolisian Belanda, yang di Indonesia akrab disebut Marsose, di kuburan Kober China, Tomang.
Sebutir peluru emas, bacokan kelewang, dan tembakan susulan dari aparat kompeni berhasil melumpuhkannya.
Tepat 29 tahun sebelumnya, yakni pada 1864, di kawasan Pengumben, tepatnya di Rawabelong [Palmerah], lahir bayi laki-laki putra pasangan Panimin dan Sa’pinah. Bayi yang diberi nama Salikun ini, dikemudian hari dikenal sebagai jawara Betawi.
Sepanjang hidupnya, Pitung dikenal memiliki ilmu silat yang tinggi, dan seringkali membuat resah pemerintah Hindia Belanda, karena berbagai aksi perampokan yang dilakukannya kepada pejabat kolonial, dan musuh rakyat seperti rentenir, tauke, dan tuan tanah.
Kebenciannya kepada penjajah berawal dari beberapa kejadian kekerasan yang dilakukan oknum controleur terhadap penduduk pribumi. Berdasarkan pemberitaan, surat kabar Bintang Barat, pimpinan E.F. Wiggers yang terbit pertama kali pada 1868, diberitakan seorang oknum polisi yang membuat onar di warung yang berlokasi di Kebayoran, dibuat malu oleh seorang pemuda bertubuh kecil, bernama Salikun.
Disebutkan dalam surat kabar itu, pria ini membela pemilik warung dengan mengacungkan senjata parang kearah sedadu.
Sepak terjang jagoan Betawi ini sangat dibanggakan oleh warga masyarakat Betawi. Kehadiran Pitung dinilai sebagai representasi masyarakat pada masa itu, yang dibelenggu oleh kemiskinan dan penindasan penjajah.
Banyak pro dan kontra yang menyelimuti kisah legenda si Pitung ini, mulai dari keberadaan tokoh ini, hingga apakah Pitung seorang perampok murni, atau maling budiman seperti yang selama ini diyakini khalayak.
Ketua I Lembaga Kebudayaan Betawi Yahya Andi Saputra menyatakan muncul versi yang menyebutkan bahwa Pitung bukan nama orang, melainkan nama kelompok Pituan Pitulung, yang anggotanya berjumlah tujuh orang.
“Versi yang menyebutkan bahwa Pitung itu adalah kelompok Pituan Pitulung, atau Pitu Wong, hanya salah tafsir dari masyarakat. Pitung itu beraksi seorang diri,” ujarnya.
Menurutnya tidak ada bukti tertulis maupun data yang menyebutkan aksi perampokan yang dilakukan Pitung dilakukan oleh tujuh orang. Aksi si Pitung tidak pernah membawa lebih dari tiga orang, dan pasangan saat merampok rumah-rumah orang kaya di Batavia selalu berbeda-beda.
Di satu sisi, Pitung dielu-elukan sebagai seorang pahlawan, tetapi di sisi lainnya, juga berkembang pendapat bahwa tokoh ini adalah murni perampok.
MALING BUDIMAN
Seorang penulis Belanda Margreet van Till, dalam disertasinya yang diterbitkan oleh Journal of The Royal Institute of Linguistics and Anthropology, kabar bahwa hasil rampokannya dibagikan kepada rakyat miskin adalah keliru.
“Tidak ada perampok yang rela membagi hasil rampokannya dengan cuma-cuma. Termasuk menyumbangkan uangnya pada mesjid-mesjid,” ujar Till.
Dia menyatakan hal tersebut tidak terbukti karena pada saat itu mesjid hanya terdapat di kawasan Pekojan, Luar Batang, dan Kampung Sawah. Dari tiga tempat peribadatan umat muslim ini, tidak terdapat satu buktipun bahwa Pitung mendermakan uangnya.
Pendapat Till disanggah oleh Yahya. Menurutnya, pendekar Betawi ini memberikan sebagaian besar harta curiannya kepada sejumlah organisasi di masa awal pergerakan. Salah satu organisasi yang mendapatkan kucuran dana dari Pitung adalah Serikat Dagang Islam yang diberikan melalui lembaga swadaya masyarakat jaman kolonial, VON.
“Bantuan ini sifatnya gerakan bawah tanah. Selain itu, tidak adanya bukti pemberian harta Pitung kepada masyarakat biasa, karena dia memberi tanpa mau diketahui orang,” ungkapnya.
Namun demikian, pernyataan Yahya ini dapat dengan mudah dipatahkan, mengingat organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) yang bertujuan menghimpun para pedagang batik pribumi ini, baru dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada 1905.
Terlepas dari kontroversi pendekar Betawi ini, tidak berlebihan jika Pitung dianggap sebagai perwakilan perlawanan kaum tertindas. Sepak terjangnya sebagai jago silat tingkat tinggi, selalu membuat pemerintah Hindia Belanda pusing kepala.
Seperti terukir dalam sejarah asal mula Jakarta, predikat rampok atau pahlawan tidak akan pernah lepas disandangnya. Pro kontra akan selalu menyelimuti kisah tentang putera Betawi tulen ini. (m03/m04)