Referensi

Resensi Buku: Detik-detik Kematian Penyair Chairil Anwar

Miftahul Khoer
Sabtu, 14 September 2013 - 10:20
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA--Chairil Anwar, penyair yang dinobatkan sebagai sastrawan Indonesia angkatan 45 memang tak pernah habis dibicarakan. Sosoknya yang nyentrik dan urakan menjadi ciri khas sastrawan pada zamannya.

Sosok Chairil Anwar selalu dikaitkan dengan seorang kritikus sastra H.B Jassin. Melalui penilaian Jassin, karya-karya Chairil yang konon tidak lebih dari 100 itu cukup mempengaruhi kepenyairannya. Tak jarang Chairil mengirim puisinya untuk dimuat di majalah mingguan Mimbar Indonesia yang terbit pada 1940-an.

Di mata kawannya, dalam sebuah buku yang ditulis Nasjah Djamin, yang juga seorang sastrawan seangkatannya, Chairil diibaratkan laiknya tokoh Anwar, yang sembrono dan kurang ajar dalam roman Achdiat Kartamihardja, Atheis. Nasjah punya kenangan tersendiri saat pertama kali bertemu Si Binatang Jalang itu.

Nasjah bertemu Chairil di Yogyakarta pada 1947 ketika semangat revolusi masih berkobar. Saat Nasjah bersama seniman lukis di sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM) seperti Zaini, A. Wakidjan, Nashar dan lainnya, Charil mampir dengan seorang wanita bule.

Dia ingat betul Chairil mengenalkan wanita itu sebagai seorang wartawan. Keduanya berbicara bahasa Belanda cukup pasih. Chairil juga sempat mengenalkan S. Soedjojono pada perempuan bule itu sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia Baru.

Dalam buku tersebut, Nasjah lebih mengedepankan penjelasan kehidupan Chairil selama berkesenian dengan para seniman sezamannya. Gayanya yang bohemian, seolah ingin keluar dari kemapanan hidup yang dilakoninya.

Selain dikenal sebagai penyair, Chairil juga tahu banyak seluk beluk sastra dan seni dunia. Pengetahuannya di bidang seni bisa dilihat ketika Chairil berapi-api berbicara tentang kesenian dengan rekannya sesama seniman.

Dia juga merupakan seorang yang rajin berkunjung ke ruang Balai Pustaka, tepatnya di ruang redaksi yang dipimpin pelukis Baharudin. Di percetakan Balai Pustaka, Chairil menguasai laiknya rumah sendiri. Dia datang seenaknya, duduk, bicara ngalor-ngidul hingga marah-marah.

Di ruang itu, yang menjadi sasaran adalah Baharudin. Chairil kerap meminjam uang kepada Baharudin jika dirinya sedang tidak punya uang. Beruntung, Chairil selalu diberi pinjaman sekadar untuk makan. Sekalipun Baharudin sedang kempes, Chairil terus membuat seribu alasan agar Baharudin meminjamkan uangnya.

Kelakuan sehari-hari Chairil memang banyak ditonjolkan dalam buku Hari-hari Akhir Si Penyair, yang dicetak untuk kedua kalinya ini. Buku ini terbit pertama kali pada 1982. Nasjah, sang penulis, banyak menggambarkan sosok Chairil melalui pandangan mata ketika sedang bersamanya dan rekan seniman lainnya.

Dalam buku ini juga dijelaskan kebiasaan Chairil membawa catatan berisi puisi yang ditulis tangannya ke mana pun dia pergi. Dalam setiap perkumpulan sesama seniman, Chairil selalu menjadi pusat perhatian karena sering berulah aneh dan terkadang menjengkelkan.

Namun, kepenyairan Chairil tidak diimbangi dengan kondisi kesehatannya yang buruk. Pernah suatu hari, ketika Nasjah sedang makan di sebuah warung dengan Chairil, tiba-tiba perut penyair itu sakit dan terasa melilit hingga Chairil buang air besar campur darah.

Sampai akhirnya teman sesama seniman, Sam Soeharto membawa Chairil ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang dulunya dikenal dengan sebutan Centraal Burgerlijk Ziekenhuis (CBZ).

Tidak diketahui persis penyakit apa yang dialami Chairil, yang jelas saat itu dia diopname selama hampir seminggu.

Tepat pada 28 April 1949, Soeharto mengabarkan ke para seniman yang tengah berada di Sanggar Affandi perihal kepergian penyair besar itu. Hingga akhirnya pada 29 April 1949, Chairil Anwar, Si Binatang Jalang dikebumikan di Pemakaman Karet Bivak, Jakarta Pusat.

Pada hari berkabung itu, Jakarta tengah terkena sengatan matahari sangat terik. Rombongan pengantar jenazah dari mulai para seniman hingga siswa sekolah memadati kuburan.

Penyair besar yang sempat menuliskan sepenggal sajaknya berjudul Yang Terampas dan Yang Putus dengan larik: Di karet, di Karet, sampai juga deru dingin, itu seakan telah meramalkan kematian melalui secarik puisi karyanya.  (ra)

Penulis : Miftahul Khoer
Editor : Rustam Agus
Sumber : Bisnis Indonesia Weekend
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro