/ilustrasi
Health

Seks, Twitter, dan Dunia yang Berubah

Miftahul Khoer
Sabtu, 8 Februari 2014 - 10:08
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA- Indonesia mungkin saja  bukanlah negara liberal. Tapi di dunia Twitter, tampaknya masalah kebebasan seksual kian meletup-letup. Salah satunya, bagaimana bebasnya sebagian orang ‘menjual diri’ secara terbuka dan tanpa tedeng aling-aling. Saya pun menemui salah satu di antaranya.

Mereguk green tea latte di hadapannya, Saskia—bukan nama sebenarnya, tak kunjung bisa bersantai. Di sebuah kafe di daerah Jalan Sumatera, Bandung niatnya beristirahat setelah lelah menyetir dari Jakarta terus terganggu. “Sial, ini telepon bunyi terus, SMS, WA, BBM, aplikasi gue semuanya rame,” kata perempuan tersebut.

Dia hanya menjawab seperlunya.  Tidak semua permintaan komunikasi itu dibalas. Tiga telepon pintar terbaru di meja tergeletak sibuk. Saskia menghela napas. “Heran, yang booking gue di Bandung, cuma satu orang dan itu tertutup.  Tapi ini ada empat orang Bandung yang ngajak gue ngamar. Mana yang booking itu minta long time, gue butuh duit, tapi tidak semuanya bisa terlayani,” katanya.

Booking, ngamar, long time, short time adalah keseharian Saskia. Sedikitnya 2 tahun melakoni pekerjaan sebagai penjaja seks, hampir setiap hari dia tak bisa berleha-leha. Lajang berusia 25 tahun itu memastikan dirinya bisa keluar hotel di Jakarta—tempat dia bermukim, dua sampai tiga kali sehari. “Bahkan pernah baru selesai di hotel yang sama, klien gue sudah nunggu di kamar yang berbeda, ha..ha..ha,” katanya tanpa malu-malu.

Saskia bekerja sendiri, tanpa jalan perantara membuatnya sibuk melewati semua proses booking terhadap dirinya. Menjawab permintaan ngamar, memeriksa rekening bank, menyetir ke satu hotel ke hotel lain, dan memastikan berhadapan dengan klien yang tidak main-main. “Jujur, ini sudah 2  tahun berjalan. Risiko tinggi tapi duit murni masuk kantong sendiri,” ujarnya.

Sebelum terjun ke dunia esek-esek, Saskia melakoni pekerjaan sebagai pemandu lagu di Karaoke sebuah hotel di Jakarta. Menurutnya, pekerjaan tersebut menuntut dirinya menyiapkan energi besar setiap hari. Mabuk dan meladeni permintaan nakal para pengunjung. “Capek, duit juga kena potong mamih terus. Badan jadi remuk tiap malam, musti minum,” katanya.

Bersinggungan dengan lelaki hidung belang di karaoke, membuatnya untuk memilih bekerja mandiri.  Walaupun ajakan keluar juga cukup deras. “Pastilah mereka ngajak gue ngamar. Gue sempat banyak nolak, tapi ketika uang yang didapat besar, gue menemukan jalan,” katanya.

Berbekal nomer telepon, PIN para pelanggannya, dia memutuskan keluar dari tempat yang menggajinya Rp5 juta per bulan itu. Partikelir menjajakan tubuh, Saskia mengklaim dalam sebulan dia bisa mengantongi uang Rp7,5 juta sampai Rp12 juta. Tarifnya untuk waktu singkat Rp1 juta dengan maksimal waktu 2 jam x 2 making love (ML). Untuk long time dia membandrol tubuhnya Rp 2 juta untuk 4 jam dan 4 kali ML maksimal.

Selfie Jadi Bukti

Fenomena orang berfoto sendiri dengan telepon pintar atau disebut selfie menjadi istilah populer. Saskia sudah mengawalinya lebih dulu. “Selfie buat gue itu alat bukti, nih gue nggak bohong, nih gue serius jual diri,” ujarnya sambil tertawa.

Ini keputusan paling berani sejak dirinya memutuskan membuat akun pribadi di Twitter pada 2012. Mengawali kicauan dengan pose-pose telanjang dirinya—yang disambar oleh ratusan akun Twitter usai dicecuitkan menjadi caranya menarik para pelanggan baru: para pemilik akun twitter. Kenapa tidak di Facebook? “Dahsyat itu Twitter! Kalau dulu seminggu cuma tiga hari sekali melayani hidung belang, sekarang bisa setiap hari,” katanya.

Akun Saskia dalam dua tahun melesat tinggi diikuti puluhan ribu followers. Alasannya, ada yang hanya ingin melihat-lihat koleksi selfie atau para pelanggan yang setiap saat bisa ‘memesan’ dirinya. “Rasanya di-mention ratusan orang dalam waktu bersamaan itu bikin BB gue sempat mau pecah, ha..ha..ha,” katanya.

Diserbu para pelanggan baru, dia tak menurunkan tarifnya.  Namun sejumlah aturan dibuat Saskia untuk membentenginya dari ulah iseng dan main-main. Dia tidak menerapkan sistem transfer sebagai uang muka keseriusan pelanggan. Saskia minta tunai usai melayani di kamar. “Transfer hanya untuk orang tertentu saja. Tunai lebih aman karena di akun gue sudah menyebutkan tarif,” katanya.

Dia hanya meminta pelanggannya sudah menunggu di hotel dengan bukti nomor kamar berikut foto. Menurutnya pelanggan yang tak serius gampang diketahui jika berniat booking tapi tidak bisa menyebutkan nomer kamar dan nama hotel. “Banyak yang cuma pura-pura iseng, setiap hari ada saja,” katanya.

Mereka yang iseng, akan dihukum. Nomor telepon, bahkan foto diri dan isi percakapan dipampang melalui Twitter miliknya. Saskia mengaku tidak peduli meski ini beresiko. Dia perlu banyak menggertak karena profesi ini dilakukannya secara profesional.

Trik Kartu Anggota

Diah, bukan nama sebenarnya melakoni hidup dengan selera tinggi. Busana bermerek, gadget tercanggih, ke luar negeri, dan mobil Honda Freed yang membawanya menjelajah mal-mal dan kafe serta tak ketinggalan klub-klub malam berkelas di Bandung.

Agak berbelit-belit, ia mengaku menjual diri memberinya kesempatan menikmati banyak kemewahan. Tak jarang para pelanggannya memberi hadiah-hadiah luar biasa. Perempuan berusia 28 tahun ini mengaku senang-senang saja. “Orang tua tahunya sibuk kerja di sebuah bank, banyak duit, punya mobil, tinggal di kosan mewah,” katanya.

Pundi-pundinya makin bertambah usai dia menemukan cara baru mendapat uang di Twitter. Diah mengaku memiliki akun twitter memberinya ruang untuk narsis bahkan menjurus ke fetish. “Aku suka iseng, foto selfie tetapi cuma anggota tubuh yang jadi andalan gue: payudara, paha,” kata drop out sebuah PTS terkemuka di Bandung ini.

Keisengan ini jika ditampilkan di Twitter tentu saja ibarat bunga mekar yang mengundang lebah datang. Followernya bertambah setiap hari, permintaan untuk dia menampilkan foto anggota tubuhnya lagi, lagi dan lagi datang. Diah mengaku awalnya dia terpancing untuk terus menampilkan ketidaksenonohan. “Awalnya senang saja. Lucu banyak hidung belang mengiba-iba, tapi lama-lama, wait a minute guys!”

“Aku bukan barang gratisan,” kata Diah merutuk. “Punya badan bagus ini pakai perawatan mahal di salon. Enak saja maniak-maniak itu memintanya dengan gratis.” Maka, setahun lalu Diah memutuskan apa yang diinginkan para followernya harus dibayar dengan biaya yang setimpal.

Dia menawarkan sebuah layanan pada para followernya: Menjadi member dirinya, membayar Rp100.000 untuk daftar keanggotan via transfer, mendapatkan kartu anggota dan mereka bisa menikmati foto-foto anggota tubuhnya yang sensual setiap pekan via BBM. “Anggota atau fans bakal dapat foto yang lebih ekslusif dibanding non member. Tentu ada tarif anggota Rp200.000 setiap bulan, tapi itu kan murah,” katanya.

Tawarannya tidak sepi sambaran. Saat ini sudah 40 orang terdaftar sebagai anggota privat penikmati gambar-gambar tubuhnya. Fakta ini menurutnya cukup mengerikan, karena permintaan cukup aneh-aneh datang. “Ada yang minta fotoin dong puser lu, jari kaki lu, banyak orang sakit tapi aku ladeni,” katanya.

Menurutnya dengan kartu keanggotan memudahkan pekerjaannya. Secara rutin dia cukup memotret aktifitas dan tubuhnya lalu dikirim pada member. Bahwa layanan ini mendatangkan uang besar, dia menggangguk, namun di sisi lain menurut Diah perilaku seksualnya memiliki media yang tepat.

Meski sudah memiliki anggota setia, dia masih sesekali mengunggah foto sexy-nya ke Twitter untuk menarik anggota-anggota baru. “Aku puas secara kegilaan dan uang yang didapat lewat media sederhana, twitter. Mungkin setelah obrolan kita ini, akun twitter saya kunci atau bikin akun baru lagi, ha-ha-ha,” ia tertawa.

Norma

Fenomena merebaknya jejaring sosial macam Twitter memang menjadi dunia baru khususnya di Indonesia. Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB menyebut kini masyarakat sudah terjun dalam dunia internet. Dunia yang memungkinkan masyarakat kembali pada tradisi ‘barbar’, tanpa batas dan cenderung bebas.

Kehadiran teknologi yang dinikmati masyarakat Indonesia kerap disalahkaprahkan oleh pengguna. Perangkat teknologi bahkan menjadi suatu hal yang membuat hal tabu menjadi terbuka. Pengguna teknologi seolah tidak memiliki aturan tertentu dan cenderung mengenyampingkan norma yang dianut.

“Untuk itu hal-hal semacam transaksi seks online menjadi niscaya. Ini konsukensi dunia maya bagi masyarakat kita yang belum siap menerima kehadiran teknologi. Mestinya kehadiran teknologi ini diikuti oleh karakter masyarakat yang memiliki mental bagus,” paparnya.

Witrin Gamayanti, Psikolog dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati ( UIN SGD) Bandung mengatakan teknologi juga berdampak pada pergeseran perilaku individu. Dia membandingkan kondisi masyarakat 10 tahun ke belakang yang belum terjamah masifikasi teknologi internet.

Menurutnya, kehadiran toknologi internet dan gadjet mengubah sikap psikologis seseorang. Hal yang dulunya tabu menjadi 'barang' yang sangat terbuka. Fenomena ini bisa dilihat dari cara seseorang menggunakan jejaring sosial. Tak sedikit pengguna mengekspos diri di luar batas kewajaran. “Dampaknya, bahkan banyak yang melakukan transaksi seks secara terbuka,” paparnya.

Pelanggaran-pelanggaran norma inilah yang kerap kali dilabrak sebagian masyarakat Indonesia. Padahal, bangsa ini dikenal sebagai salah satu penganut anti liberalisme di dunia. Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Dalam hal apapun, lanjut Acep Iwan Saidi, masyarakat Indonesia malah lebih liberal dibandingkan dengan negara lain.

Baik Acep maupun Witrin, keduanya sepakat jika ada yang salah terhadap pola pikir masyarakat. Norma yang berlaku di tengah masyarakat Indonesia cenderung tersingkirkan oleh adanya modernisasi, salah satunya kehadiran teknologi yang tidak bisa dibendung.

Acep bahkan menyebut tanggung jawab terhadap fenomena ini bukan hanya diberikan kepada masyarakat atau individu semata sebagai pelaku pelanggaran norma. Namun, katanya, regulasi yang diatur pemerintah dalam menyikapi kehadiran teknologi selama ini tidak tegas.

Dia menambahkan tanggung jawab juga dialamatkan kepada sektor pendidikan yang seolah tidak berhasil membangun karakter masyarakat yang bermutu. Padahal, katanya, baik dan tidaknya karakter sebuah bangsa dilihat dari pendidikan yang berhasil. “Saya pikir untuk membendung perilaku negatif masyarakat perlu adanya regulasi yang lebih kreatif. Jika tidak, negara ini akan chaos,” paparnya.

Pembicaraan pun usai, saya memandang Diah yang tengah sibuk dengan smartphonenya. Wajahnya rupawan, tubuhnya semampai, rambutnya tergerai indah, ia lalu memandang keluar, melihat wajah Bandung yang ditimpa hujan dengan rupa tanpa beban. (k57)

Penulis : Miftahul Khoer
Editor : Nurbaiti
Sumber : Bisnis Indonesia (8/2/2014)
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro