Bisnis.com, JAKARTA - Pukul 06.30 WIB. Hangatnya udara matahari yang bersinar menusuk kulit. Bulan Juni merupakan bulan kebesaran bagi salah satu pendiri bangsa Indonesia, yakni Soekarno. Lahir 6 Juni 1901 Soekarno tetap membekas di hati Bangsa Indonesia.
Pagi itu, 20 orang peserta Wisata Sejarah Soekarno telah berkumpul di Tugu Proklamasi, Jakarta. Wisata sejarah yang digelar oleh Komunitas Bambu ini berdasarkan buku yang ditulis oleh Sejarawan Peter Kasenda yang berjudul Soekarno Muda : Biografi Pemikiran 1926 – 1933.
“Aku langsung jatuh cinta dengan Bandung,” begitu ucap Soekarno seperti yang tertulis dalam buku yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu ini.
Bandung merupakan kota yang paling berkesan bagi Soekarno. Masa-masa Soekarno di Bandung adalah saat yang paling cemerlang dan memukau dari semua pemikiran terbaiknya yang lahir di Kota Kembang tersebut.
Konsep yang disebut Marhaenisme, atau teks pidato yang menggugah yang sangat dahsyat, yaitu Indonesia Menggugat dan risalah Mencapai Indonesia Merdeka ditulis di perkebunan teh di selatan Bandung.
“Perjalanan ini sebenarnya punya misi mengenalkan siapa pendiri bangsa kita. Terutama pemikirannya, bagaimana pikiran itu lahir dan orang bisa memahami serta tahu dari mana pikiran-pikiran itu dihasilkan dari suatu proses,” tutur Pemimpin Umum Komunitas Bambu, JJ Rizal.
Setibanya di Kota Bandung, kami langsung menuju rumah Ibu Inggit Garnasih. Rumah yang dibilang tidak besar namun terlihat nyaman itu memang sudah tidak menunjukkan wujud aslinya lagi. Proses pemugaran yang dilakukan mengubah rumah itu tampak seperti rumah minimalis modern saat ini.
Berawal dari rumah ini, cerita tentang sosok Soekarno mulai bergulir. Pada 1921, setelah menyelesaikan pendidikannya di Surabaya, Soekarno bertolak menuju Bandung untuk menjadi mahasiswa dari Technische Hoogeschool (THS) yang kini bernama Institut Teknologi Bandung (ITB).
Kala itu, Soekarno diajak oleh Haji Sanusi untuk tinggal di rumahnya bersama istri Sanusi, Inggit Garnasih.
Di rumah ini percikan-percikan cinta Soekarno akan Inggit muncul walau Oetari—istri pertama Soekarno—masih mendampinginya. Kata cerai pun dilontarkan Soekarno kepada istri pertamanya, dan kemudian dia menikah dengan Inggit yang usianya melampaui umurnya, atas izin Sanusi yang mau menceraikan Inggit terlebih dahulu.
Rumah yang dihuni mereka tersebut memiliki empat ruangan dan pekarangan belakang, salah satu kamarnya digunakan untuk usaha Inggit, yakni meramu jamu, menjahit, dan berdagang guna memenuhi kebutuhan rumah tangganya karena Soekarno masih berstatus mahasiswa yang tidak memiliki apa-apa. Inggitlah yang berperan besar bagi perjalanan kesuksesan Bung Karno.
Siang pun datang, tur ke rumah Inggit selesai. Untuk mengobati perut yang keroncongan, rombongan bertandang ke salah satu rumah makan sunda yang sudah berdiri sejak 1950-an. Rumah makan sunda ini memiliki resep rahasia turun menurun.
Penerus generasi ke-3 Nenden masih mempertahankan cita rasa sunda buhur alias leluhurnya. Hanya dengan merogoh kocek Rp35.000-Rp50.000 tersedia menu pilihan yang mengenyangkan perut.
KULINER BANDUNG
Perjalanan kami berlanjut ke Penjara Sukamiskin. Waktu itu, setelah keputusan Landraad Bandung ditetapkan, empat orang tawanan, yaitu Soekarno, Gatot Mangkupraja, dan Maskun dipindahkan ke Penjara Sukamiskin di Jalan Pos Besar.
Soekarno ditahan dalam sel nomor 233 yang letaknya di blok timur dalam. Ukuran yang lebih besar dari sel tahanan lainnya karena sel itu berada di sudut bangunan sehingga lebih besar.
Penataan yang cukup praktis dengan tempat tidur asli yang masih menempel dinding dengan toilet di bawahnya, lalu meja yang merapat ke dinding berisi tumpukan buku-buku yang terdapat goresan tinta yang ditulis oleh anaknya yang pada Maret lalu mampir untuk melihat kamar sel itu.
Saat malam menjelang, kami menonton fi lm tentang Soekarno yang berjudul Ketika Bung di Ende, dan langsung berdiskusi dengan Peter dan Rizal. Peter membuka obrolan dengan bercerita buku yang ditulis berawal dari skripsi yang dibuatnya tahun 1989. Pada 2010, skripsi tersebut dicetak menjadi sebuah buku Soekarno Muda yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu.
“Saya berpikir bahwa mengapa wisata sejarah ini penting karena kita berpikir makin sulit mencari sumber keteladanan, tapi mencari dari yang masih hidup susah sekali. Kenapa tidak ke yang sudah mati sebagai sumber inspirasi dan aspirasi,” ungkap Rizal.
Dalam diskusi tersebut, Peter berkata bahwa sikap otoriter Soekarno kala itu tidak sekeras sekarang. Kala itu Soekarno dapat dengan mudah memenjarakan teman-teman terdekat apabila tidak lagi sepaham dengan visi misinya. Selain itu, hubungan Soekarno dan Hatta dua kali bentrok, tetapi di akhir hayat pendiri bangsa itu, Hatta masih menunjukkan kepeduliannya terhadap Soekarno.
“Hal ini yang tidak dimiliki Indonesia kini. Pemimpin kita yang bentrok tetap pada jalurnya masing-masing dan tidak menunjukkan rasa kepeduliannya terhadap Indonesia. Dalam perjalanan ketidaksamaan paham Soekarno dan Hatta tujuan mereka tetap satu yakni untuk Indonesia,” cerita Peter.
Keesokan hari, kami menuju ITB, tempat Soekarno menjadi seorang sarjana. Bangunan ITB merupakan bangunan kolonial Belanda yang diperuntukkan bagi pekerja umum kala itu untuk pembangunan kota Bandung. Terlihat struktur yang masih mencerminkan Belanda tampak dalam rangka yang berada di Aula Barat, ITB.
Lalu, tidak lama kami langsung menuju Gedung Konferensi Asia Afrika (KAA), disanalah tempat Soekarno menyampaikan ide membangun solidaritas Asis Afrika melalui pergerakan nasional melawan penjajahan. 18 April 1955, Presiden Soekarno mengucapkan pidato pembukaan yang berjudul “ Let New Asia and a New Africa be Born” (Mari Kita Lahirkan Asia Baru dan Afrika Baru).
Setelah itu, Hotel Grand Preanger dan Penjara Banceuy tidak lupa kami telusuri. Kedua tempat tersebut memiliki sejarah yaitu Soekarno yang diajak oleh Wolff Schoemaker untuk menjadi asistennya untuk merenovasi Hotel Preanger di Jalan Pos Besar.
Begitu pula dengan Penjara Banceuy yang sempat ditempati oleh Soekarno selama tiga hari lalu dipindahkan ke Penjara Sukamiskin. Bangunan yang hanya tersisa satu sel tahanan tempat Soekarno khusus disisakan dan yang lainnya sudah menjadi ruko-ruko. Namun, daerah tersebut tidak terurus dengan baik sehingga terlihat kumuh dan jorok.
Perjalanan terakhir kami ditutup dengan berkunjung ke Gedung Indonesia Menggugat di mana Soekarno kala itu diadili. Dalam pengadilan inilah Soekarno membacakan sebuah pidato penjang yang menjelaskan tentang tujuan dan cara-cara kaum nasionalis.
Membacakan pledoinya yang termasyhur dan dibuat di dalam Penjara Banceuy, berjudul Indonesia Menggugat.
Rizal menambahkan bahwa dengan sejarah seseorang yang jadi pemimpin akan memimpin dengan baik. Kalau dilihat sekarang para calon pemimpin tidak ada yang benar-benar memahami sejarah bangsa Indonesia sendiri.
Banyak hal yang muncul dengan tanda tanya ada apa sebenarnya. Inilah pentingnya sejarah bagi bangsa karena merupakan kaca atau cerminan Indonesia.
“Karena kita tidak mengetahui sejarah, makanya Indonesia kita ini tersesat. Dan ini sudah kejadian sehingga masyarakat harus sadar akan pentingnya sejarah agar kita tidak lupa pada tujuan awal bangsa kita sendiri sehingga tetap pada jalurnya.”