Gunung Bromo/id.wikipedia.org
Travel

WISATA BROMO: Menikmati Indahnya Pasir Berbisik

News Editor
Sabtu, 23 Agustus 2014 - 08:15
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA- Pemandangan sawah dan perkebunan khas pedesaan mulai berganti dengan pemandangan bukit dan gunung pada siang itu. Jagung berganti dengan kol, sawi atau jenis sayuran lain yang tumbuh subur di dataran tinggi dan berudara sejuk. Ada pula perkebunan stroberi.

Namun perjalanan ini juga terganggu jarak pandangnya dari dalam mobil. Ada kabut tebal yang menyeli-muti jalan berkelok, menanjak, dan menurun. Belum lagi harus ekstra hati-hati karena tak adanya pembatas di sisi jalan dengan jurang terjal yang menganga.

Saya pun harus memfokuskan kerja mata. Sekitar pukul 15:00, kami berempat tiba di gerbang desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur. Ini adalah desa terakhir menuju kawah gunung yang cukup fenomenal hingga diabadikan dalam sebuah sekuel film layar lebar, Bromo. Kami berempat –Destyananda Hellen, Yanita Petriella, Arys Aditya dan saya— menelusuri desa ini dalam satu tim khusus reportase mudik.

Saat itu Minggu, 27 Juli. Setelah menempuh perjalanan selama tiga hari dengan melewati sejumlah kota di wilayah pantai utara Jawa, kami membelokkan mobil ke Probolinggo, dari tujuan awal yakni Malang. Ini gara-gara ada yang melontarkan ide soal pergi ke Bromo.

Saya pun banting setir. Di persimpangan Pasuruan—Malang—Probolinggo, seketika arah penunjuk jalan yang dilihat hanya yang bertuliskan Probolinggo dan gunung Bromo. Ketika jendela mobil dibuka, udara segar langsung menyerbak masuk. Pikiran soal Lebaran yang datar pun berubah seketika. Harapan terbaik muncul: melewatkan hari raya di gunung Bromo.

Menyadari kedatangan kami di gerbang desa, sejumlah penduduk lokal segera menghampiri. Pertanyaan berujung pada niat utama seo-rang penduduk, yakni menawarkan jasa penginapan dan sewa mobil hardtop untuk menyambangi sejum-lah destinasi di gunung Bromo.

Sedikit berdiskusi, tim memutuskan untuk menerima bantuan penduduk yang bernama Wito, 42 tahun. Setelah memilih jenis penginapan, negosiasi harga penginapan mencapai kata sepakat pada nilai Rp400.000 untuk satu malam
dengan fasilitas dua kamar tidur, tiga ranjang dan satu kamar mandi dilengkapi dengan pemanas air.

Negosiasi berlanjut pada penentuan harga sewa kendaraan menuju empat destinasi wisata gunung Bromo, yakni Penanjakan, Kawah Bromo, Padang Savana dan Pasir Berbisik. Negosiasi berjalan sedikit alot hingga memakan waktu lebih dari satu jam.

Tidak mengetahui harga patokan, Kami berbagi tugas, di sela-sela Wito gencar mempromosikan kemudahan yang didapat jika menggunakan jasanya, dua orang dari kami sibuk berselancar di dunia maya melalui telepon pintar mencari harga yang pantas untuk menyewa mobil hardtop di gunung Bromo.

Sementara itu salah seorang diantara kami sibuk mengirim pesan BlackBerry Messenger (BBM) ke sejumlah kontak. Pesan yang dikirim pun seputar pertanyaan berapa biaya yang pantas ditebus untuk empat destinasi gunung Bromo. Akhirnya kami menerima tawaran Wito. Untuk empat destinasi senilai Rp700.000 sudah termasuk tiket masuk ke Bromo senilai Rp35.000 per orang, akhirnya diterima.

Udara dingin semakin menusuk. Jam menunjukkan pukul 18:00 WIB. Tidak satu pun anggota tim yang berani membilas tubuh dengan air. Setiap kali berbicara, maka uap terlihat muncul dari mulut. Dua lapis jaket yang digunakan tidak cukup untuk menjaga suhu tubuh tetap hangat. Sarung tangan dan tutup kepala yang baru saja dibeli menjadi Yanto. Perjalanan pertama menuju Penanjakan, lokasi strategis melihat indahnya matahari terbit, dilakukan dengan sedikit deg-degan.

Mengandalkan lampu sorot mobil dan hanya mampu memberikan jarak pandang sekitar 5 meter ke depan, perjalanan selama 15 menit terasa sangat lama. Rasa khawatir muncul karena jalur yang ditempuh berkelok-kelok tanpa pembatas yang memisahkan jalan dengan jurang ditambah jalanan yang diselimuti kabut tebal.

MENAKJUBKAN

Setibanya di Penanjakan, kami kaget dengan jumlah pengunjung yang datang. Kendati saat itu adalah hari libur Lebaran. Penanjakan penuh sesak baik oleh wisatawan  lokal maupun mancanegara.

Pengunjung kawah Bromo ketika itu sangat ramai, saking padatnya, perjalanan menaiki 250 anak tangga menuju kawah Bromo harus dilakukan perlahan karena mengantre. Puas mengabadikan momen pendakian ke kawah Bromo. Destinasi selanjutnya adalah Padang Savana. Lokasinya yang tidak terlalu jauh dari kawah gunung Bromo dapat ditempuh kurang dari 10 menit. Hujan belum sekali pun turun di gunung Bromo dalam beberapa pekan terakhir.

“Rerumputan menguning dan mengering. Jika datang di saat musim hujan, maka, pemandangan yang didapat adalah padang rumput menghijau dengan tanaman bunga-bunga segar khas pegunungan,” ujar Yanto, yang juga berasal dari Suku Tengger.

Prosesi pengabadian momen di Padang Savana berlangsung sekitar 20 menit. Pasir Berbisik adalah lokasi selanjutnya yang dituju. Yanto menjelaskan, Pasir Berbisik bukanlah nama sebenarnya dari padang pasir ini. Nama ini muncul ketika film Pasir Berbisik pada 2001 menggunakan lokasi tersebut.

Setelah film tersebut tayang, seketika lokasi padang pasir yang dahulu tak bernama hingga kini dikenal dengan sebutan Pasir Berbisik. Tentunya, pengalaman dengan pemandangan menakjubkan ini tak akan terlupakan. Dan saya yakin, kesan itu pula yang akan tertinggal pada tiga teman lainnya.

 

 

Penulis : News Editor
Sumber : Bisnis Indonesia (23/8/2014)
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro