Makkawaru Sang Pencerita
Show

Samudera Para Leluhur di Mata Fotografer Beat Presser

Puput Ady Sukarno
Minggu, 5 Oktober 2014 - 19:27
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Jika nenek moyang Anda adalah pelaut, maka menafsir tentang laut adalah hal yang lazim alias wajar. Namun, bagi seorang Beat Presser, penulis sekaligus fotografer asal Swiss, cerita tentang birunya laut, kegigihan pelaut menerjang ombak, proses pembuatan kapal hingga asal muasal para leluhur, merupakan suatu hal yang menarik dan multitafsir.

Melalui pameran fotonya bertajuk Sea of The Ancestors, yang digelar atas kerjasama Pusat Kebudayaan Jerman Goethe Institut Indonesien, Kedutaan Besar Swiss di Jakarta, dan Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA), mulai Jumat (19/9) – Minggu (5/10), fotografer kawakan berusia 62 tahun ini berhasil memvisualisasikan apa yang ditangkapnya selama puluhan tahun itu menjadi sebuah karya seni penuh arti.

Laki-laki berperawakan tidak terlalu tinggi itu sungguh memiliki kejelian luar biasa dalam menangkap momen dan menghadirkan cerita di balik setiap gambar yang berhasil direkamnya selama pengembaraannya di Madagaskar, lepas pantai Afrika Timur, dan Indonesia, sejak 1988 hingga sekarang.

BP, begitu Beat Presser biasa dipanggil, yang notabene terlahir di sebuah negara yang tidak memiliki wilayah lautan sama sekali itu, dan dengan bermodalkan dua kamera analog kesayangannya, Hasselblad dan Leica, beserta 100 roll negatif film, pria berambut putih ini mampu menghadirkan karya fotografi luar biasa tentang dunia kelautan yang sederhana namun penuh makna.

Seperti yang tampak pada gambar The Stories of Makkawaru. Kisah tentang Makkawaru, sengaja diekplorasi cukup panjang oleh BP. Makkawaru adalah seorang pencerita yang ditemuinya di Madagaskar. Pelaut tua berpengalaman setinggi 1,9 meter, yang berbagi cerita kepadanya tentang banyak hal berkaitan dengan asal usul para leluhur di Madagaskar.

Makkawaru, konon, pada masa mudanya adalah seorang perompak dan telah jauh berkelana antara Malaka, Oman, Maldives, Madagaskar dan Pantai Timur Afrika. Pelaut digdaya itu menafkahi satu keluarga di Zanzibar, Afrika Timur dan satu lagi di Sulawesi, Indonesia seraya berlayar bersama angin muson dari satu ujung dunia ke ujung lainnya.

Pada foto itu terlihat, dengan didampingi kawan-kawannya dan istrinya bernama Kanang, Makkawaru duduk di tepi pantai dan menceritakan pelbagai kisah dari kehidupannya yang panjang dan penuh petualangan di tengah luasnya tujuh samudra.

Melalui sang pencerita yang ditemuinya itulah, BP mendapatkan banyak cerita tentang Madagaskar, ketangguhan para pelaut Bugis dari Indonesia yang mampu menaklukkan samudra hingga sampai di Madagaskar, proses penciptaan kapal, pembukaan hutan Madagaskar untuk ditinggali, dan kisah lainnya.

Sebanyak kurang lebih 97 foto hitam putih yang dipamerkan tersebut, bagi sebagian mata awam mungkin sekilas tampak sederhana dan biasa saja. Akan tetapi apabila melihat momen dan cerita di balik pengambilan gambar itu, kiranya tidak berlebihan kalau foto-foto itu cukup mendapat apresiasi luar biasa dari para pengunjung pameran malam itu.

Selain kisah tentang Makkawaru, dalam puluhan foto BP itu juga mengabadikan cerita tentang sejarah Dhow beserta galangan kapalnya, asal mula kemunculan kapal layar di Indonesia, kisah tentang kapal Pinisi, Pawelloi (nenek moyang Makkawaru), hingga kehidupan orang Madagaskar saat ini.

Foto bertajuk Dhow, mencoba mengisahkan tentang Dhow itu sendiri, yakni istilah umum yang merujuk pada beberapa jenis kapal dan perahu yang dibangun di sejumlah galangan kapal sepanjang Pantai Timur Afrika dan Uni Emirat Arab. Berlayar dengan Dhow merupakan bagian dari budaya maritim di dunia yang masih berlangsung hingga hari ini.

Semua dimulai dari penelusuran BP yang memulai riset pada 2009 dengan mendatangi Afrika Timur untuk menekuni budaya Dhow dan tinggal selama enam bulan di atas perahu layar yang berbeda-beda serta melayari Samudra Hindia, di sepanjang Pantai Timur Afrika.

Sebenarnya sejak dia tinggal selama lima tahun di Madagaskar pada 1990-an, sebuah pertanyaan selalu mengusiknya. Jenis perahu apakah yang pertama mendarat di pantai Madagaskar? Dari mana para petualang ini berasal? Apakah dari Afrika, Arab, India atau Indonesia?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang selalu mengusiknya untuk terus mengembara. Kisah Pinisi juga masuk dalam tangkapan BP lantaran Makkawaru sejatinya berasal dari Tanaberu, Sulawesi Selatan. Di situlah terdapat galangan kapal Bugis terbesar.

Sementara foto kapal Pinisi dan galangan kapalnya, mencoba mengisahkan tentang kapal layar tradisional Indonesia (Pinisi) yang fungsi utamanya digunakan untuk menagkap ikan, membawa muatan barang dan orang ke seluruh Nusantara.

Kapal pinisi paling aawal dibangun 1600 SM, di ilhami oleh kapal-kapal Belanda. Kapal Pinisi sampai saat ini di Indonesia masih terus dibangun dan digunakan masyarakatnya untuk menaklukkan laut.

Sementara Pawelloi, adalah nenek moyang Makkawaru yang pergi melaut dan berlayar hingga Madagaskar dengan perahu buatannya sendiri yang membuka hutan di pulau tersebut, hingga kehidupan keseharian masyarakat Madagaskar saat ini yang agraris dan bertenak, dari semula hanya penangkap ikan.

“Pameran ini merupakan penghargaan yang tidak main-main mengingat sebagai bagian sejarah, hal ini sudah banyak dilupakan,” tutur Beat Presser, kepada Bisnis belum lama ini.

Pihaknya juga sengaja memilih menampilkan foto dalam hitam putih karena selain ada tantangan tersendiri dan juga menjadikan hasilnya terkesan lebih abadi dan tak lekang oleh waktu.

Seabadi lagu anak-anak Indonesia tentang nenek moyangnya yang seorang pelaut yang sampai sekarang masih sering terdengar lagunya.

Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudra. Menerjang ombak tiada takut menempuh badai sudah biasa.

Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro