Bisnis.com, JAKARTA -- Nama Samuel Wattimena memang sudah tak asing lagi di dunia industri mode tanah air. Perancang busana asal Maluku ini dikenal melalui kiprahnya yang setia mengangkat kain-kain nusantara dalam karyanya, khususnya kain tenun ikat ikat tanimbar asal Maluku Tenggara.
Kiprah pria yang akrab disapa Bung Sam ini bermula saat dia mengikuti lomba perancang mode yang diadakan salah satu majalah remaja waktu pada 1979. Kegemarannya menggambar busana membuat dia nekat mengikuti lomba tersebut, meski dia sadar tidak punya wawasan mengenai mode di umurnya yang masih 19 tahun itu.
Terinspirasi dari karya Guruh Soekarno Putra, Sam pun mengambil tema sekatenan untuk karya perdananya itu. Dia memodifikasi kebaya dan busana pria ala sekatenan dengan menambahkan sentuhan-sentuhan yang lebih modern. Semuanya didesain dalam warna putih.
Tak disangka, dia pun menjadi juara pertama pada lomba itu, mengalahkan peserta lainnya yang rata-rata berasal dari sekolah mode. Publisitas yang diperolehnya dari wartawan-wartawan yang meliput kemenangannya sebagai perancang busana muda turut mengakat namanya. Nama Samuel Wattimena pun mulai naik daun.
Peristiwa itu dikenangnya sebagai momen yang membuka jalan di industri mode tanah air, sebab dari situlah kemudian dia mendapatkan berbagai kepercayaan untuk merancang busana selebritis tanah air. Musisi-musisi besar seperti Harvey Malaiholo, Bob Tutupoli, Hetty Koes Endang, hingga diva sekelas Ruth Sahanaya, Titi DJ pun pernah mengenakan gaun rancangannya untuk festival musik di luar negeri. Sam pun mengenang era -80an sebagai era dirinya bersama selebritis Indonesia.
“Karena saya otodidak, saya cepat merasa kosong. Karenanya pada tahun 85 saya berkenalan dengan kain etnik,” ujarnya kepada Bisnis.com ketika penutupan Gelar Karya Samuel Wattimena di Museum Tekstil, beberapa waktu lalu. Dia pun tergugah melihat kekayaan kain tradisional di setiap provinsi yang ada di Indonesia.
Sejak saat itu, dia pun turun ke tempat para pengrajin Maluku untuk memberikan pembinaan mengenai motif kain adat yang bisa dimodernisasi. Selain itu, dia juga memberikan pemahaman bisnis kepada para pengrajin dan membuka pasar kain tenun ikat tanimbar ke pasar nusantara.
Atas usaha gigihnya menciptakan siklus usaha tenun ikat itu, dia mendapatkan penghargaan upakarti untuk pengembangan tenun Timor-Timur dan tenun tanimbar asal Maluku Tenggara. Penghargaannya itu dia dapatkan pada 1990.
Selama melakukan pembinaan, Sam juga tetap setia mengangkat kain etnik ke dalam karya-karyanya yang dipamerkan baik di dalam maupun di luar negeri. Dia mengatakan hamipr semua kota dan negara besar di dunia pernah disinggahinya, sebut saja New York, Maroko, Tokyo, dan masih banyak lainnya. Puncaknya, pada tahun lalu dia mendapatkan penghargaan sebagai desainer terbaik se-Pasifik dari Fiji Fashion Week. Setahun sebelumnya, dia juga mendapatkan penghargaan pin emas dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2012, atas usahanya yang setia mengangkat tradisi Indonesia.
Meski telah banyak mendapatkan penhargaan, Sam tidak berhenti sampai di sini saja. Beberapa strategi bisnis pun telah dia siapkan demi mengangkat kain tenun. Untuk menjangkau kelas menengah ke atas, Sam mengkreasikan desain tas bermotif batik tenun dengan metode printing ke atas kulit ular. Untuk menjangkau generasi muda, dia mendesain busana-busana bermotif kain etnik dengan gaya yang lebih kasual dan terjangkau bagi mereka. Adapun untuk pasar luar negeri, dia berencana untuk mengeksplorasi motif batik ke atas kain sutera yang lebih ringan, lembut, dan memiliki peluang kenaikan harga yang besar.
“Kalau dari keluarga, ibu saya satu-satunya yang memberikan pemahaman sejak kecil bahwa selera setiap orang berbeda, karenanya tak perlu putus asa,” ujarnya. Dia bercerita sejak kecil kerap kali mengikuti ibunya yang melakukan kerja sosial memandikan jenazah. Hal itu diakuinya sebagai salah satu momen yang sangat membentuk karakternya dalam memandang kehidupan. Berkat peristiwa itu, Sam memandang setiap manusia secara egaliter tanpa pandang bulu, baik itu orang dari kalangan menengah ke atas ataupun kalangan menengah bawah. Sikapnya yang sederhana inilah yang turut memudahkannya melakukan pendekatan terhadap para pengrajin di Maluku.
Selain ibunya, seniman besar Teguh Karya menjadi sosok yang sangat menginspirasinya dalam berkarya. Tak hanya pandai merancang busana dengan kain etnik, Sam juga lihai merancang busana untuk kostum teater dan perfilman. Inilah yang membuat dia dekat dengan nama-nama besar seperti Garin Nugroho, Nano Riantiarno, Arifin C. Noer, Ratna Sarumpaet, Slamet Rahardjo, termasuk Teguh Karya.
“Pesan Pak Teguh yang paling saya ingat adalah jangan pernah membuat sesuatu yang tidak kita pahami,” cerita Sam. Hal itulah yang terus memotivasinya dalam berkarya, untuk senantiasa melakukan riset dan observasi yang mendalam demi menghasilkan karya dengan kualitas terbaik.