Bisnis.com, JAKARTA -- Umumnya, gerakan tari antara penari perempuan dan laki-laki sangat jelas bedanya. Perempuan menarikan gerakan gemulai, sementara tarian laki-laki penuh gerakan besar yang menyimbolkan kegagahan.
Namun, bukan berarti tidak ada gerakan penari laki-laki yang gemulai. Hal ini setidaknya dapat kita saksikan pada alur cerita Opera Tari Gandrung Banyuwangi karya sutradara Bathara Saverigadi Dewandoro yang dipentaskan oleh Komunitas Swargaloka pada Mozaik Budaya Jawa Timur di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), akhir tahun lalu. Opera tari ini adalah sebuah adaptasi dari tari Gandrung Banyuwangi yang dikembangkan dengan pendekatan yang lebih puitis dan kontemporer.
“Sebelumnya sudah banyak komunitas yang membawakan tari Gandrung Banyuwangi yang dikaitkan dengan hal negatif seperti prostitusi. Jadi malam-malam setelah menari, jadi ajang pesta seks. Saya ingin membawakan opera Gandrung Banyuwangi dengan cara yang lebih positif kepada generasi muda,” ujar sutradara Bathara, yang baru menginjak usia 17 tahun ini. Dia menambahkan, sebanyak 60 penari remaja terlibat dalam proses kreatif opera tari yang berlangsung hingga satu tahun ini.
Opera tari ini bercerita tentang sejarah perjalanan Gandrung Lanang. Dia adalah sebutan untuk penari laki-laki yang biasa membawakan tari Gandrung Banyuwangi dengan berpenampilan seperti perempuan.
Diiringi peralatan musik perkusi seperti kendang dan rebana, Gandrung Lanang menari berkeliling desa. Mereka mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat di sebelah timur Balambangan Kabupaten Banyuwangi yang jumlahnya konon tinggal sekitar 5.000 jiwa akibat peperangan.
Gandrung Lanang memang hidup sejak era penjajahan , tepatnya pada era penyerbuan kompeni yang dibantu oleh Kerajaan Mataram dan Madura pada 1767 untuk merebut Balambangan dari kekuasan Kerajaan Mangwi. Akibat perang itu, rakyat terpencar di desa-desa dan di hutan-hutan. Gandrung Lanang pun muncul sebagai pemersatu rakyat.
Sayangnya, keberadaan Gandrung Lanang kelamaan lenyap dari Banyuwangi. Hal ini disebabkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Banyuwangi saat itu mengharamkan laki-laki yang berdandan seperti perempuan. Tradisi Gandrung Lanang pun berganti menjadi Gandrung Wadon, yang dibawakan penari perempuan hingga sekarang.
Terlepas dari nilai sejarahnya yang kaya, Opera Tari Gandrung Banyuwangi berhasil menjadi sebuah opera tari yang mengagumkan. Pemeran utama Gandrung Lanang, sang sutradara sendiri, terlihat guyub dan menyatu dengan tarian. Dia berhasil menghadirkan karakter Gandrung Lanang yang gemulai dan terpaksa mengakhiri karirnya dengan tragis akibat desakan masyarakat.
Selain itu, komposisi tarian pun terlihat seimbang dan indah. Kreativitas Bathara sebagai sutradara dalam memanfaatkan selendang sebagai tirai untuk berganti baju, serta mengolah blocking sekitar 60 penari yang terdiri dari remaja dan anak-anak, sungguh patut diacungi jempol. Belum lagi mengingat semua gerak tari dalam pertunjukan berdurasi satu jam itu adalah hasil koreografi Bathara sendiri.
Indonesia sepertinya butuh lebih banyak remaja seperti Bathara. Generasi muda cerdas dan berbakat yang tak hanya terus berkarya, tetapi juga peduli akan kekayaan dan khazanah bangsa. Tak heran jika pelajar kelas 3 SMA Angkasa Jakarta Timur ini sudah menyandang gelar koreografer kelas dunia termuda berbasis seni tari tradisi dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Dengan bakatnya itu, Bathara sudah melestarikan budaya tradisi Indonesia, dalam usia yang masih sangat muda.