Bisnis.com, JAKARTA - Akhir tahun lalu, dunia maya dikejutkan oleh sebaran cerita tentang seorang anak berusia 6 tahun yang terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) akibat depresi yang dideritanya karena terlalu banyak tekanan untuk mengikuti berbagai kursus atau les tambahan.
Pada akhirnya, cerita tersebut terkonfirmasi sebagai sebuah isapan jempol atau hoax. Terlepas dari ketidakbenaran kisah itu, masalah keluarga seputar orangtua yang terlalu memaksakan anaknya mengikuti berbagai les tambahan lazim terjadi, terutama di perkotaan.
Sejak masih di Sekolah Dasar (SD), anak-anak zaman sekarang sudah dijejali dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler, yang dipercaya dapat mendongkrak daya saingnya di sekolah. Sayangnya, tidak semua anak menikmati kursus tambahan di luar jam sekolah.
Psikolog anak dan keluarga dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI) Mira D. Amir menjelaskan pada dasarnya anak memiliki keterbatasan fisik untuk menyerap pengetahuan.
Apalagi, saat ini hampir seluruh sekolah menerapkan sistem full day school, di mana jam sekolah baru berakhir sekitar pukul 15:00 WIB atau 16:00 WIB. Jika anak masih harus mengikuti les tambahan di rumah atau luar rumah, biasanya mereka baru selesai setelah pukul 19:00 WIB.
Kelelahan secara fisik yang mungkin diderita anak dengan jadwal terlalu padat, lanjut Mira, dapat mengganggu kestabilan emosionalnya. Namun, tidak semua orangtua dapat langsung memahami saat anaknya menunjukkan gejala-gejala gangguan psikologis.
“Anak jadi mudah marah atau cepat kesal saat fisiknya kewalahan. Celakanya, seringkali orangtua tidak memahami anaknya butuh istirahat sepulang les. Anak pulang, masih ditanya soal pelajaran, jika tidak bisa menjawab disuruh belajar lagi sampai larut malam,” katanya.
Anak yang merasa tertekan karena dituntut untuk menjadi pintar melalui berbagai les tambahan juga berpotensi melakukan tindakan destruktif sebagai bentuk protes. Hal tersebut justru bertentangan dengan tujuan orangtua dalam mengursuskan anaknya.
Gejala-gejala gangguan psikologis yang ditunjukkan oleh anak yang sedang stres biasanya berupa penurunan motivasi belajar, mudah lelah, sulit makan, banyak melakukan pelanggaran di sekolah, membuat kerusuhan di kelas, maupun menentang atau membantah orangtua.
“Manusia pada dasarnya membutuhkan istirahat. Banyak orangtua yang belum paham bahwa saat anak-anak belajar di sekolah, mereka telah mengeluarkan energi yang besar. Jadi, sebisa mungkin sepulang sekolah ada waktu untuk istirahat,” jelasnya.
Waktu istirahat bisa dalam bentuk tidur siang, sekadar rileks menonton televisi atau bermain gadget, maupun melakukan aktivitas lain yang disenangi anak untuk mengistirahatkan otak. Namun, banyak orangtua yang beranggapan aktivitas tersebut tidak berguna.
BUAT PRIORITAS
Untuk menghindarkan stres pada anak akibat terlalu banyak kursus tambahan, orangtua seharusnya membuat prioritas kegiatan mana yang memang penting bagi anaknya dan mana yang tidak.
“Meskipun anak dijejali les dari Senin sampai Sabtu, orangtua tetap harus membuat prioritas. Jangan melulu anak-anak dileskan pelajaran, bisa juga dikursuskan kesenian atau aktivitas kreatif seperti merakit robot, yang sifatnya sains tetapi dikemas dalam format bermain.”
Pada saat bersamaan, orangtua juga harus terus memantau apakah buah hatinya benar-benar menikmati kegiatan tambahan itu atau tidak. Salah satu caranya adalah dengan memperhatikan feedback yang diberikan oleh guru kursus si anak.
“Paling mudah, kita lihat apakah anak ini antusias atau ogah-ogahan saat disuruh les. Lalu, lihat masukan dari gurunya, apakah performanya baik. Jika terus-terusan menunjukkan penurunan, ada baiknya kegiatan les itu dihentikan.”
Mira mengatakan anak dengan sendirinya akan meminta kegiatan tambahan apabila dia merasa siap untuk mempelajari hal baru atau karena pengaruh positif dari teman-temannya. Namun, orangtua tetap harus memerhatikan kapasitas dan energi yang dimiliki anaknya.