Ilustrasi/Antara-M Risyal Hidayat
Fashion

Memartabatkan Batik di Negeri Sendiri

Wike Dita Herlinda
Senin, 5 Oktober 2015 - 06:37
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA--Sudah enam tahun terakhir republik ini merayakan Hari Batik Nasional tiap 2 Oktober. Batik pun dijadikan pakaian wajib pada hari-hari tertentu di banyak instansi. Itu berarti, hampir bisa dipastikan mayoritas warga Indonesia punya minimal satu sandang batik dalam lemarinya.

Penggemar batik pun bervariasi. Mulai dari anak muda, hingga kalangan yang sudah sepuh. Mulai dari warga lokal, ekspatriat, hingga warga negara asing. Mulai dari golongan kelas menengah-bawah, hingga kelompok sosialita dan kaumjetset.

Berdasarkan makna entimologisnya, batik dalam bahasa Jawa berartiambalan titik. Dalam bahasa Indonesia, pengertian harafiahnya adalah menulis dan memberi titik-titik. Dua teknik tersebut pula yang menjadi dasar karya cipta sebuah batik.

Itulah mengapa, mayoritasdie-hard fansbatik menolak mengakui batikprint atau batik pabrikan sebagai batik yang sesungguhnya. Sebab, yang disebut dengan batik sejatinya adalah yang melalui proses rumit menulis dan menitik. Kira-kira demikian.

Nah,akibat rumitnya proses pembuatan, pemaknaan filosofis, bahan, serta syarat dan prasyarat tradisional lain untuk menghasilkan karya batik yang sesuai pakem, tidak heran apabila harga selipat kain batik berkualitas begitu melangit.

Harus diakui, sandang batik asli yang dibanderol sangat mahal masih tidak terjangkau oleh banyak kalangan di Tanah Air. Sesekali, cobalah tengok harga selembar syal batik tulis di gerai batik premium. Minimal, harganya bisa mencapai Rp3,49 juta per helai.

Dari situ, lahirlah industri tekstil yang menyadur motif tradisional batik untuk diproduksi massal, agar harganya lebih terjangkau antara Rp50.000-Rp200.000. Tekstil bercorak batik itu banyak dijumpai di Thamrin City, Tanah Abang, Plaza Semanggi, dan sebagainya.

Di sisi lain, jumlah pusat perbelanjaan modern di Jakarta mencapai lebih dari 173 gedung. Setidaknya, 29 di antaranya merupakan mall bertarafhigh end. Namun,coba perhatikan berapa banyak gerai batik berkualitas di mall-mall yang ada di Ibukota?

Sebenarnya, ada beberapa tempat yang menjual batik premium. Mulai dari Danar Hadi, Iwan Tirta Private Collection, Batik Keris, hingga Parang Kencana, Alleira, Batik Chic, dan lainnya. Akan tetapi, jika diperhatikan, rerata gerai batik di mall cenderung sepi pengunjung.

Jika dibandingkan denganoutletlabel pakaian asing yang sama mahalnya, gerai batik premium lokal relatif tidak begitu mencuri perhatian pengunjung. Hanya konsumen dari kalangan tertentu saja yang sengaja mampir untuk berbelanja pakaian batik berkelas.

Agar batik Indonesia tidak terus-terusan kalah pamor dibandingkan label pakaian dari luar negeri, berbagai pengelola pusat perbelanjaan sampai harus putar otak dalam mengemas batik sedemikian rupa agar menarik pengunjung, terutama pada perayaan Hari Batik Nasional.

Marketing Director Senayan City Halina, misalnya, sampai menyediakan lahan khusus untuk menggelar instalasi seni batik tulis Irwan Tirta yang dipadukan dengantileNiro Ceramic Indonesia. Dia juga meminta karyawan mall elit itu untuk memakai batik setiap Senin.

Kami berharap instalasi seni ini dapat dihadirkan untuk mengedukasi generasi muda akan keanekaragaman kekayaan budaya bangsa Indonesia. Sebab, kami rasa batik ini adalah warisan kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai harganya, sebutnya.

Dia menyadari batik asli Indonesiayang bahkan sempat hendak diklaim oleh negeri tetanggamembutuhkan inovasi baru untuk dapat bersaing di tengah kompetisi yang ketat dalam industri pakaian jadi. Apalagi, pakaian impor masih merajalela di pasar domestik.

Bahkan setelah United Nation Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan batik sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi, Indonesia justru kian diserbu pakaian impor.

Ironisnya, batik yang menjadi kain paten milik Indonesia pun masih banyak didatangkan dari luar negeri. Kementerian Perdagangan mencatat setidaknya ada 10 negara asal impor batik, dengan tren yang terus menanjak setiap tahunnya.

Impor tekstil batik dan motif batik dari 2012-2014 meningkat 17,9% atau setara US$13,24 juta. Pada 2012, nilainya mencapai US$73,89 juta, setahun berikutnya naik lagi menjadi US$80,86 juta, dan tahun lalu nominalnya sudah menembus US$87,14 juta.

Setidaknya, selama periode Januari-April 2015, impor tekstil batik dan motif batik menembus US$34,91 juta, melonjak 24,1% dibandingkan periode yang sama 2014. Gerah dengan tren tersebut, pemerintah putar otak agar batik dapat kembali menjadi bos di negerinya sendiri.

Lantas, pertengahan tahun ini diterbitkanlah Permendag No. 53/M-DAG/PER/7/2015 tentang ketentuan impor tekstil dan produk tekstil (TPT) batik dan TPT motif komoditas, baik yang berupa kain lembaran maupun pakaian jadi batik dan bermotif batik.

Tujuan regulasi itu adalah untuk membatasi keran impor batik dan motif batik, dengan memperketat persyaratan perusahaan atau importir TPT. Pemerintah juga membatasi pelabuhan tujuan TPT batik dan TPT motif batik di dalam negeri, serta ketertelusurannya.

Upaya pemerintah itu bisa dibilang merupakan wujud kepedulian terhadap geliat industri kecil menengah (IKM) batik yang tengah berjibaku untuk bisa mengekspor. Tercatat, saat ini ada 39.000 IKM batik dengan serapan 900.000 pekerja dan nilai produksi US$39,4 juta.

Pemerintah ingin agar para IKM tersebut memiliki ruang gerak untuk berkembang di tengah kompetisi industri pakaian jadi yang makin ketat. Bahkan, Menteri Perindustrian Saleh Husin ingin agar setiap produk batik lokal yang dihasilkan dilengkapi dengan logo dan hak cipta.

Batik ini tidak hanya merupakan kebanggaan bangsa yang harus dikukuhkan, tapi juga merupakan tantangan tersendiri karena kita semua harus terus melestarikan dan melindunginya sebagai warisan budaya, tegasnya.

Kemenperin melalui Ditjen IKM pun tengah memantapkan draf Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk batik tulis, batik cap, dan batik kombinasi. Harapannya, kualitas batik dapat terus ditingkatkan sehingga nilai ekspornya mampu naik setidaknya 5% tahun depan.

Selama ini, batik asli Indonesia yang banyak diekspor adalah pakaian jadi. Per Juli, ekspor baju atasan batik menembus US$85,57 juta, celana panjang batik US$42,57 juta, pakaian renang batik US$1973 juta, jaket batik US$14,45 juta, dan mantel batik US$11,69 juta.

Menurut Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kemendag Nus Nuzulia Ishak, potensi pasar pakaian jadi berbasis batik di luar negeri masih sangat besar, dan belum tergarap. Justru, jarang sekali produk batik Indonesia diekspor dalam bentuk kain lembaran.

Secara terpisah, Chairman Indonesia Society of Agriculture Economies Bayu Krisnamurthiyang juga merupakan tokoh penggemar berat batik tulisberpendapat batik Indonesia tidak perlu takut atau gentar dalam persaingan di dunia garmen modern.

Meskipun volume penjualan batikhigh endmasih kalah dibandingkan merek baju asing, saya kira batik telah mendapatkan tempat yang baik di masyarakat Indonesia maupun dunia. Batik juga dapat menjadi obyek wisata, seperti di Cirebon, Pekalongan, dan Solo.

 

Yah, apapun upayanya, mudah-mudahan perjuangan memartabatkan batik sebagai kain nasional RI tidak terhenti sampai pada perayaan Hari Batik Nasional semata. Jangan sampai lebih banyak lagi ikon Indonesia yang dipakai rakyatnya, tapi dibeli dari tangan orang asing!

Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro