Bisnis.com, JAKARTA -- Masalah seputar perbaikan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) masih menjadi sorotan antaranggota Organization of Islamic Cooperation (OIC). Pasalnya, belum ada perbaikan signifikan yang mengentaskan negara anggota OIC dari problema gizi buruk.
Berdasarkan dataStatistical, economic, and social research and training centre for Islamic countries(Sesric), rata-rata umur harapan hidup (UHH) di negara-negara OIC selama 1990-2013 meningkat dari 60,5 tahun menjadi 66,3 tahun.
Meski mengalami sedikit perbaikan, capaian tersebut masih tertinggal 4,5 tahun dari rerata UHH dunia, serta lebih rendah 3,8 tahun dibandingkan UHH negara-negara yang bukan anggota OIC.
Selama periode yang sama, angka kematian ibu (AKI) menurun 44% dari 520/10.000 menjadi 293/10.000. Bagaimanapun, masih terdapat satu dari tiap 34 ibu di negara OIC yang meninggal saat kehamilan dan melahirkan.
Padahal, rerata dunia atas kematian ibu saat kehamilan dan melahirkan adalah satu dari 48 ibu. Di negara OIC, sekitar 60 juta balita atau 33% dari total balita mengalamistunting, yang mana kasus terbanyak terjadi di Indonesia, Nigeria, Pakistan, dan Banglades.
Menyoroti hal tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Pusat Kerjasama Luar Negeri Kementerian Kesehatan pada awal November telah mengadakan sosialisasiScaling Up Nutrition(SUN), yang diikuti juga oleh peserta dari Afganistan, Uganda, dan Turki.
Kemenkes menggarisbawahi pencapaian target indikator kesehatan di negara-negara OIC yang masih belum optimal. Oleh karena itu, pemerintah merencanakan pembuatanroadmapdan kerangka kerja sama OIC untuk mencapai Global Nutrition Target 20125.
Apalagi, Indonesia tercatut dalam daftar negara yang tak kunjung mampu lepas dari cengkeraman gizi buruk. Salah satu wilayah yang tidak pernah absen dalam daftar kasus gizi buruk di Tanah Air adalah Nusa Tenggara Timur (NTT).
Berdasarkan catatan Kemenkes, sebanyak 1.918 anak di NTT menderita gizi buruk selama JanuariMei 2015. Sejumlah 11 anak di bawah lima tahun (balita) meninggal akibat gizi buruk, dan masih ada 21.134 anak balita yang mengalami kekurangan gizi.
Pada 2014, tercatat ada 2.100 anak di NTT yang menderita gizi buruk, yang mana 15 di antaranya meregang nywa. Pada tahun yang sama, 3.121 balita mengalami kekurangan gizi di provinsi beribukota Kupang itu.
Kasus gizi buruk di provinsi itu paling rentan menimpa keluarga miskin yang hidup di wilayah terpencil dan pedalaman, yang sulit dijangkau kendaraan bermotor akibat belum terbangunnya infrastruktur jalan.
Pemerintah mencatat gizi buruk terjadi di hampir seluruh kabupaten di NTT. Terbanyak, krisis gizi terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Utara, dan Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Menurut Kepala Seksi Perbaikan Gizi Masyarakat Dinkes NTT Isbandrio, di kawasan-kawasan tersebut pemahaman para ibu terhadap pentingnya kecukupan gizi masih sangat rendah.
Belum lagi, kemarau berkepanjangan sejak 2014 memperparah angka gizi buruk, karena banyaknya lahan yang gagal panen. Akibatnya, kawasan-kawasan tersebut mengalami krisis pangan dan anak-anak tidak mendapatkan asupan makanan bergizi yang mencukupi.
Kekurangan gizi itu membuat anak mudah terserang berbagai penyakit, seperti diare. Dampak lanjutannya adalah kematian, jelasnya, seperti dikutip di laman resmi Ditjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes.
DISOROT DUNIA
Kasus gizi buruk yang melanda Indonesia seperti di NTT turut disorot dunia. Masalah klasik yang tak lekang digerus zaman untuk terus dicari solusinya itu membetot perhatian khusus dari United Nations Childrens Fund (Unicef).
Berdasarkan lansiran Unicef Indonesia yang diterimaBisnisbaru-baru ini, lebih dari 15% anak di NTT menderita kekurangan gizi, kurus, dan sangat kurus. Sementara itu, 51% anak mengalamistuntingalias tubuh yang terlalu pendek untuk usia mereka.
Provinsi NTT sedang menghadapi krisis kekurangan gizi. Kondisi ini akan menjadi lebih buruk karena badai El Nino di daerah tersebut. Penurunan panen akan meningkatkan harga pangan, dan kekurangan air akan meningkatkan risiko diare, papar mereka.
Permasalahannya, hanya sedikit keluarga di pelosok yang mengerti bagaimana cara terbaik memberi asupan yang tersedia secara lokal bagi buah hati mereka. Unicef menemui banyak keluarga yang tidak mengakui anaknya menderita kurang gizi akut.
Banyak di antara keluarga yang anaknya mengalami kurang gizi tidak menganggapnya sebagai situasi darurat medis. Akibatnya, mereka lebih memilih untuk tidak mencari layanan atau bantuan ketika tubuh anak-anak mereka berubah menjadi sangat kurus.
Situasi gizi buruk yang mencekam sebagian pelosok negeri ini juga mengancam masa depan generasi muda harapan bangsa. Sebab, anak yang menderita kekurangan gizi cenderung mengalami penurunan prestasi pendidikan akibat sulit konsentrasi dan tidak produktif.
Unicef sendiri telah menggandengAction Contre La Faimuntuk memerangi krisis gizi di Indonesia. Kami mendukung Kemenkes dan pemda untuk memberikan layanan guna mengidentifikasi penderita kekurangan gizi, dan merawat mereka dengan tepat.
Upaya lain yang dilakukan organisasi tersebut adalah meningkatkan kapasitas petugas kesehatan dan melakukan pengkaderan untuk bimbingan konseling para ibu tentang pentingnya menyusui dan makanan pendaming air susu ibu (ASI).
Sementara itu, Direktur Perkumpulan Inisiatif dan Advokasi Rakyat NTT Sarah Lery Mboik berpendapat provinsi tersebut membutuhkan revolusi pada progra kesehatan ibu dan anak (KIA) yang diluncurkan pada 2012.
Dia menilai program yang menghabiskan anggaran miliaran rupiah itu tidak memberi dampak signifikan terhadap penurunan angka gizi buruk di NTT, yang sebenarnya sudah menjadi momok sejak 20 tahun silam.
Setiap penyusunan APBD antara pemda dan DPRD ujung-ujungnya untuk kepentingan mereka, melalui sejumlah proyek siluman. Rakya Selalu menjadi korban, akunya.
Direktur Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes Anung Sugihantono berpendapat problema gizi buruk di NTT sudah terlalu kompleks akibat terlalu banyak faktor yang memengaruhi pemburukan kondisi tersebut.
Dia menjelaskan status gizi buruk di NTT bukanlah gizi buruk dalam pengertian marasmus kwashiorkor, melainkanwastingatau kurus. Persoalan ini tidak bisa diputus begitu saja. Pemerintah dan LSM telah berupaya melakukan intervensi, tapi kami tidak bisa mengintervensi tradisi pola asuh di sana, ujarnya.
Intervensi yang selama ini dilakukan pemerintah berkutat pada membantu suplai makanan bagi ibu hamil yang kekurangan energi. Tujuannya adalah agar bayi yang dilahirkan sebisa mungkin memiliki berat badan yang mencukupi.
Intervensi lainnya adalah dalam bentuk sosialisasi ASI eksklusif dan makanan pendamping ASI selama enam bulan. Program tersebut diimbangi dengan pemberian suplemen zat gizi mikro untuk bayi dan imunisasi dasar lengkap.
Tidak banyak intervensi yang dilakukan untuk mengubah pola asuh dan cara pandang masyarakt di pelosok akan pentingnya asupan cukup gizi bagi bayi dan anak. Masih banyak orang tua yang memberikan makanan asal kenyang kepada anaknya.
Bahkan di beberapa kasus, sebagaimana dilaporkan Unicef, terdapat keluarga dengan penghasilan rerata Rp200.000/bulan yang hanya bisa mengupayakan konsumsi protein hewani bagi anak-anak mereka sebanyak maksimal dua kali sebulan.
Lantas, sampai sejauh mana masalah ini akan dibiarkan terus berlanjut? Jangan-jangan ada yang salah atau tidak tepat sasaran pada upaya pengentasan gizi buruk yang sudah berlangsung selama puluhan tahun di Indonesia.
Jangan pernah lupa, setiap anak Indonesia memiliki hak memperoleh pelayanan kesehatan untuk membantu tumbuh kembangnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU No.23.2002 tentang Perlindungan Anak. Lalu, pertanyakan kembali, bagaimana penegakan hak tersebut?