Ilustrasi
Fashion

Menyibak Wajah Pilu Perempuan Penghayat Kepercayaan di Indonesia

Wike Dita Herlinda
Senin, 29 Agustus 2016 - 14:00
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Baru saja bangsa Indonesia memperingati hari jadi ke-71 republiknya. Namun, di balik pekik perayaan kemerdekaan, masih ada selubung kelam yang belum tersibak di negeri ini. Masih banyak jiwa-jiwa yang terampas hak-haknya untuk menjadi manusia merdeka.

Keberadaan kelompok-kelompok masyarakat yang terbelenggu hak-hak konstitusionalnya itu menjadi sebuah ironi yang menyayat di tengah klaim merdeka yang digaungkan bangsa ini selama lebih dari tujuh dekade.

Tidak banyak yang peduli bahwa di negara yang merdeka ini masih hidup warga minoritas yang terbelenggu siksa sosial karena kepercayaan dan keyakinan yang mereka peluk. Lebih miris lagi, sebagian besar dari kelompok marginal itu adalah kaum perempuan.

Refleksi tentang fakta sosial yang pahit itu terungkap dalam laporan pemantauan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang melibatkan kaum Hawa dari 11 komunitas di 9 provinsi di Tanah Air.

Para perempuan tersebut adalah mereka yang menganut agama leluhur atau penghayat kepercayaan, serta pelaksana ritual adat. Mereka sekaligus adalah korban kekerasan dan diskriminasi sosial berbasis keyakinan di tanah kelahirannya sendiri.

Laporan tersebut melibatkan masyarakat adat Bayan Wetu Telu di Lombok Utara, NTB; masyarakat adat Botti dan Jinitiu di NTT; masyarakat adat Sunda Wiwitan di Kuningan, Jawa Barat; serta komunitas penghayat Sapto Dharmo di Jabar, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Lalu, masyarakat adat Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan; masyarakat adat Bissu di Pangkep, Sulsel; masyarakat adat Tolotang, Sulsel; masyarakat adat Ngatatoro di Palu, Sulawesi Tengah; masyarakat adat Musi, Sulawesi Utara; dan masyarakat penganut Kaharingan di Kalimantan Tengah.

Para perempuan korban kekerasan berbasis keyakinan dari 11 komunitas tersebut mengalami kesengsaraan fisik, psikis, dan juga gangguan reproduksi, serta terdampak secara ekonomi, sosial, dan hukum secara berkepanjangan.

“Seluruh pengalaman itu menyebabkan mereka mengalami penderitaan hebat akibat merasa digerus rasa kemanusiaannya, menderita karena kehilangan perlindungan atas kehormatan dan martabatnya,”  tegas Ketua Komnas Perempuan Azriana.

Dia berpendapat tindak kekerasan dan diskriminasi itu adalah bentuk pengingkaran terhadap hak konstitusional, penggerusan hak kelompok minoritas, pengurangan penikmatan hak-hak perempuan atas dasar kesetaraan, serta merupakan tindak penyiksaan konkret.

Dalam laporannya yang dilansir awal bulan ini, Komnas Perempuan mengungkapkan 115 kasus dari 87 peristiwa kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh setidaknya 57 perempuan penghayat kepercayaan, penganut agama leluhur, dan pelaksanaan ritual adat.

Dari 57 korban perempuan tersebut, usia termuda yang tercatat adalah 11 tahun dan yang tertua 68 tahun. Adapun, 51 di antaranya merupakan korban kekerasan langsung dan 23 lainnya mengalami kekerasan dan diskriminasi secara berulang.

Lebih lanjut, Azriana mengatakan dari 115 kasus tersebut, 50 di antaranya merupakan kasus kekerasan dan 65 lainnya adalah kasus diskriminasi.

Jika dijabarkan, kasus kekerasan dibagi menjadi kekerasan psikis (14 kasus sitgmatisasi/pelabelan dan 24 kasus intimidasi), seksual (7 kasus pemaksaan busana dan 3 kasus pelecehan seksual), dan fisik (3 kasus penganiayaan dan 2 kasus pembunuhan).

Adapun, lebih dari 50% kasus diskriminasi yang dilaporkan adalah kasus pengabaian dan diabaikan dalam administrasi kependudukan. Terdapat pula 9 kasus pembedaan dalam mengakses hak atas pekerjaan dan memperoleh manfaat dari pekerjaan tersebut.

“Selain itu ada 8 kasus diskriminasi pendidikan, 3 kasus dihambat menerima bantuan pemerintah, 3 kasus dihalangi akses pemakaman, 2 kasus dihalangi mendirikan rumah ibadah, 5 kasus dihambat beribadah, dan 1 kasus pelarangan berorganisasi,” papar Azriana.

Komnas Perempuan mencatat setidaknya terdapat 87 pelaku kekerasan dan diskriminasi; yang mana 44 di antaranya dilakukan secara individual, 10 oleh kelompok, 52 oleh aparat pemerintah, dan 2 oleh aparat hukum.

Hal tersebut terkait dengan temuan bahwa sebagian besar peristiwa kekerasan atau diskriminasi yang dialami perempuan terjadi di ranah negara, yaitu sebanyak 62% atau 54 peristiwa. Sementara itu, kasus di ranah publik tercatat sebanyak 27 peristiwa.

Selain itu, terdapat 2 kasus kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga. Alasannya berkaitan dengan perampasan hak atau kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Pada salah satu kasus di ranah rumah tangga bahkan tercatat peristiwa penghilangan nyawa.

Azriana menjelaskan meskipun tindak kekerasan dan diskriminasi juga dirasakan oleh kaum laki-laki penganut agama leluhur/penghayat kepercayaan dan pelaksana ritual adat, korban perempuan memiliki level kerentanan yang lebih sensitif akibat posisi gendernya.

“Pelecehan seksual, pemaksaan busana, dan KDRT adalah bentuk kekerasan berbasis gender yang paling banyak dihadapi perempuan dalam rangkaian kasus kekerasan dan diskriminasi berbasis keyakinan,” katanya.

Dia menambahkan korban perempuan juga lebih rentan kehilangan hak perlindungan dalam pernikahan dan menanggung stigma amoral akibat tidak dapat mencatatkan pernikahannya, hanya karena kepercayaan yang dianutnya.

Tidak hanya itu, korban perempuan juga lebih rentan mengalami gangguan fungsi reproduksi. Kodrat perempuan sebagai ibu juga memiliki dampak mengkhawatirkan bagi anak-anak dari penganut agama leluhur.

Begitu banyak anak dari perempuan penghayat kepercayaan yang tidak bisa mencatatkan akta kelahiran yang utuh bagi kehidupan anaknya. Hal tersebut tentunya mengancam hak anak yang bersangkutan dalam mengakses pendidikan formal.

AKAR PERMASALAHAN

Ketua Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional (GK PKHN) Khariroh Ali menjabarkan setidaknya ada sembilan akar permasalahan yang memicu maraknya praktik kekerasan dan diskriminasi berbasis kepercayaan di Indonesia.

Pertama, adanya produk hukum dan kebijakan yang mendiskriminasi penghayat kepercayaan, seperti UU No.1 PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dan UU Administrasi Kependudukan.

Kedua, adanya tata kelola institusi pemerintah yang membedakan penanggungjawab pemeluk agama dari penghayat kepercayaan atau penganut agama leluhur. Ketiga, mekanisme pelayanan publik yang tidak dilandasi prinsip nondiskriminasi.

Keempat, kapasitas penyelenggara negara yang terbatas sehingga prinsip nondiskriminasi dalam pelayanan publik belum maksimal. Kelima, sikap penyelenggara negara yang menyepelekan konsekuensi yang harus ditanggung korban kekerasan dan diskriminasi.    

Keenam, penegakan hukum yang lemah terhadap pelaku diskriminasi dan kekerasan. Ketujuh, pemahaman yang memposisikan penghayat kepercayaan dan penganut agama leluhur sebagai pihak yang tidak beragama.

Kedelapan, proses politik yang tidak ditunjang mekanisme pengamanan berdasarkan prinsip nondiskriminasi, sehingga memunculkan hegemoni kepentingan kelompok tertentu; termasuk kelompok (pemeluk) agama dalam penyusunan kebijakan publik.

Kesembilan, sikap masyarakat yang masih menganggap biasa tindak kekerasan dan diskriminasi, termasuk yang berbasis agama atau kepercayaan.

“Oleh karena itu, kami meminta agar negara untuk melakukan perbaikan produk hukum agar dapat secara sungguh-sungguh menegakkan hak kemerdekaan beragama dan berkeyakinan, serta bebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi,” tegas Khariroh.

Selain itu, lanjutnya, harus ada pemantauan terhadap para perangkat dan aparatur pemerintah, maupun pejabat publik, guna memastikan mereka tidak mengulangi praktik diskriminasi terhadap warga berdasarkan keyakinan dan gender.  

“Hal lain yang harus digarisbawahi adalah menghentikan ‘imunitas’ [terhadap konsekuensi hukum] dari pelaku kekerasan dan diskriminasi berbasis keyakinan, termasuk terhadap pelaku nonnegara.”

Memang, mengatasi konflik laten dan manifes yang berakar dari isu kepercayaan adalah tantangan yang sangat pelik. Dibutuhkan pikiran terbuka untuk mengintegrasikan penghormatan dan toleransi pada keragaman agaman dan keyakinan di Indonesia.

Mungkin sudah waktunya ada perubahan dalam kurikulum pendidikan nasional dan pendidikan publik guna menumbuhkan kembali semangat  ‘Bhineka Tunggal Ika’, agar semboyan itu tidak sekadar menjadi jargon tekstual di dalam simbol negara ini.

Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro