Masih teringat dengan jelas, tahun lalu pemerintah menggaungkan janji ‘Indonesia Bebas Pasung’ pada 2017. Entah bagaimana progres program tersebut saat ini, yang jelas tenggat waktu realisasinya sudah diambang mata karena 2016 akan segera berakhir.
Digelarnya program tersebut bisa jadi merupakan bentuk keprihatinan negara terhadap tingginya kasus gangguan kejiwaan di Tanah Air. Apalagi, para penderitanya kerap menerima perlakuan tidak adil; seperti dipasung atau dikucilkan.
Menurut riset Human Rights Watch, praktik memasung penderita gangguan jiwa di Indonesia kerap kali dikaitkan dengan hal-hal mistis. Banyak keluarga yang menganggap depresi atau skizofrenia sebagai buah dari ilmu hitam, kutukan, maupun roh jahat.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya pemerintah lebih serius mendidik masyarakatnya mengenai penanganan terhadap penderita gangguan jiwa. Misalnya saja melalui pelatihan layanan kesehatan maupun perluasan perlindungan terhadap pasien masalah psikologis.
Tahun ini, upaya tersebut mulai digagas pemerintah sehubungan dengan Hari Kesehatan Jiwa Seduia yang diperingati setiap 10 Oktober. Belum terlambat bagi Indonesia untuk menyadari bahwa masalah kejiwaan dapat diantisipasi melalui peran keluarga.
Menurut riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013 oleh Kementerian Kesehatan, sebanyak 6% dari sekitar 14 juta penduduk berusia 15 tahun ke atas di Indonesia menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional dengan gejala depresi dan kecemasan (anxiety).
Fakta lain mengungkapkan bahwa sekitar 400.000 penderita masalah psikologis di Tanah Air menunjukkan prevalensi gangguan kejiwaan berat seperti skizofrenia atau psikosis. Angka itu setara dengan 1,7 jiwa per 1.000 penduduk.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) memperkirakan pada 2016 terdapat 35 juta warga terserang depresi, 60 juta mengalami gangguan bipolar, 21 juta terserang skizofrenia, dan 47,5 juta terjangkit dimensia.
Meninjau tren itu, pemerintah tergerak menjalankan program pertolongan pertama psikologis dan kesehatan jiwa, yang berbasis pada peran keluarga. Tujuannya adalah agar penderita gangguan jiwa dipenuhi haknya untuk diperlakukan sesuai harkat dan martabat manusia.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza (P2MKJN) Kemenkes, Fidiansyah, mengatakan cara efektif menanggulangi gangguan kejiwaan di Indonesia adalah melalui dukungan psikologis dari tahap keluarga.
Dukungan itu mencakup penghargaan terhadap HAM dan penghapusan diskriminasi dan stigma terhadap anggota keluarga yang memiliki gangguan kejiwaan, sehingga mereka dapat tetap dihargai selayaknya manusia bermartabat yang berhak memperoleh hidup berkualitas.
“Kesehatan jiwa adalah bagian penting dalam penciptaan SDM Indonesia yang produktif sekaligus merupakan aset bangsa yang berharga. Untuk itu, menjaga kesehatan jiwa seluruh masyarakat merupakan tugas semua pihak,” ujarnya di Jakarta belum lama ini.
Dia menjelaskan keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat. Sehingga, keluarga harus mampu menjadi garda terdepan dalam menjaga kesehatan jiwa anggotanya dan memberikan pertolongan pertama apabila terjadi gejala-gejala yang mengarah pada gangguan jiwa.
Pertolongan Pertama
Ketua Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Eva Viora menjelaskan cara memberikan pertolongan pertama pada penderita gangguan jiwa harus ditinjau berdasarkan tingkat keparahan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
“Gangguan jiwa sangat beragam jenisnya, mulai dari yang ringan hingga akut seperti skizofrenia. Informasi yang akurat dari pihak keluarga akan sangat membantu para tenaga ahli untuk melakukan diagnosis dan menentukan perawatan yang tepat bagi ODGJ,” katanya.
Keluarga tidak perlu malu untuk memeriksakan anggotanya yang menunjukkan gejala-gejala gangguan jiwa. Justru, penanganan sedini mungkin berangsur-angsur akan mengembalikan kualitas hidup ODGJ sehingga mereka bisa kembali menjadi produktif dan mandiri.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Ketergantungan Obat Indonesia (Arsawakoi) Bambang Eko Sunaryanto berpendapat sulitnya menekan angka ODGJ dipicu oleh ketidakmerataan tenaga layanan kesehatan jiwa di Tanah Air.
“Ditambah lagi, kurangnya peminat dan berpindah-pindahnya lokasi tugas para tenaga kesehatan jiwa justru seringkali memutus rantai akses perawatan dan pengobatan ODGJ yang memerlukan terapi jangka panjang,” tuturnya.
Menurut Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Bagus Utomo, pemberdayaan keluarga untuk tindakan prefentif gangguan kejiwaan adalah cara paling efektif dalam menutup kesenjangan terhadap stigma negatif terhadap ODGJ dan keluarganya.
“Keterbukaan dan pemahaman masyarakat terhadap anggota keluarga yang mengalami gejala gangguan jiwa adalah sinyal bagus bagi kami, selaku komunitas yang berhadapan langsung dengan stigma negatif terkait ODGJ dalam kegiatan kami sehari-hari,” jelasnya.
Mudah-mudahan, setelah ini masyarakat tidak lagi mengucilkan dan mendiskreditkan permasalahan kesehatan jiwa dalam anggota keluarga. Sebaliknya, masyarakat harus menjadi sistem pendukung yang kuat untuk memartabatkan penderita gangguan kejiwaan.