Bisnis.com, JAKARTA - Bisa dipastikan, hampir setiap orang pernah mengambil gambar rupa diri alias selfie. Bahkan, orang yang mengaku tidak suka selfie pun pasti pernah melakukannya setidaknya sekali di dalam hidup; entah untuk coba-coba, iseng, pas foto, atau kepentingan lainnya.
Selfie menjadi sedemikian pentingnya dalam kehidupan umat modern, sampai-sampai kata tersebut secara resmi telah ditambahkan kedalam kamus besar bahasa inggris Oxford. Di dunia dalam jaringan (daring), pamer foto selfie juga menjadi kegiatan yang sangat lumrah.
Namun, bagaimana dengan orang yang terlalu keranjingan selfie? Mengapa memotret diri sendiri menjadi begitu penting bagi mereka untuk dipamerkan di media sosial (medsos)? Pada batasan apa kegemaran mengunggah foto selfie di medsos masih dianggap wajar?
Sebuah studi oleh J. Fox dan M.C. Rooney yang diterbitkan di jurnal psikologi Personality and Individual Differences pada 2015 menganalisis hubungan antara hobi mengunggah foto selfie dan menyunting foto terhadap kepribadian seseorang.
Hasilnya, seseorang yang terlalu gemar mengedit foto selfie-nya dan mengunggahnya ke medsos kemungkinan besar mengalami setidaknya satu dari tiga gangguan kejiwaan, yaitu; narsisisme, psikopatik, dan objektifikasi diri. Ketiganya dikenal dengan istilah Dark Triad.
Narisisme berarti perilaku egosentris yang terlalu ekstrim dan menganggap dirinya paling superior dibandingkan orang lain. Penderita penyakit kejiwaan ini memiliki kebutuhan kuat untuk dipuja-puja orang lain sebagai bentuk pengakuan diri.
Psikopatik adalah penyakit psikologis yang ditandai dengan impulsivitas dan kurangnya empati terhadap orang lain. Sementara itu, objektifikasi diri adalah tendensi untuk memandang tubuh sendiri sebagai obyek yang bernilai atau berdaya tarik seksual tinggi.
Dalam studinya, Fox dan Rooney menggunakan 1.000 responden antara usia 18-40 tahun. Mereka diminta menjawab pertanyaan seputar Dark Triad dan tendensi objektifikasi diri. Mereka ditanya berapa kali mengambil foto selfie dalam sehari.
Mereka juga ditanya berapa banyak foto selfie yang diunggah ke media sosial dalam sepekan terakhir. Tidak hanya itu, mereka ditanya berapa banyak foto lain yang mereka unggah ke internet dan berapa lama mereka menghabiskan waktu di medsos setiap harinya.
Para responden diminta menilai dirinya sendiri dan berterus terang tentang seberapa sering mereka menggunakan aplikasi penyunting foto (seperti cropping, filtering, dan retouching) sebelum mengunggah fotoselfie-nya ke medsos.
Hasilnya, kebanyakan orang yang gemar berlama-lama di medsos dan menggunakan aplikasi penyunting foto cenderung terasosiasi dengan penyakit narsisisme dan objektifikasi diri. Adapun, mereka yang keranjingan mengunggah foto selfie lebih terkait erat dengan penyakit narsisisme dan psikopatik.
“Para penderita narsisisme cenderung pamer selfie dan berupaya keras untuk terlihat maksimal dalam foto-foto selfiemereka. Menariknya, orang yang terlalu sering mengunggah foto selfietanpa diedit memiliki kecenderungan psikopatik,” papar Fox dalam jurnalnya.
Alasannya, lanjut Fox, orang dengan gejala psikopatik bertendensi untuk memiliki pengendalian diri yang lemah. Sehingga, mereka cenderung tidak terlalu tertarik mengedit fotonya sebelum diunggah.
Sebaliknya, orang narsisistik sangat self aware, sehingga mereka sangat ekstra hati-hati dengan foto diri yang akan diunggahnya ke medsos. Mereka sangat berhati-hati terhadap representasi atau pencitraan dirinya di hadapan publik.
Di lain pihak, penderita objektifitas diri cenderung memiliki harga diri (self esteem) yang rendah. Mereka lebih jarang mengunggah foto ke medsos karena selalu merasa tidak puas dengan penampilannya. Gangguan mental ini lebih banyak diderita oleh perempuan.
Jika Anda merasa memiliki salah satu ciri-ciri dari tiga penyakit kejiwaan di atas, ada baiknya mulai introspeksi diri. Pertanyakan kembali pada diri Anda, seberapa signifikan dampakselfie bagi hidup Anda? Sepenting itukah selfie dalam menentukan siapa Anda?
Pendiri ESQ Leadership Center, Ary Ginanjar Agustian, mengungkapkan 52% dari pengguna medsos di Indonesia mengunggah foto selfie yang tidak asli alias hasil suntingan. Kebanyakan membuat kulit tampak lebih putih dan hidung lebih mancung.
Banyak orang yang merasa tidak percaya diri dengan kondisi natural raganya, sehingga merasa perlu mengedit fotonya sebelum diunggah. Padahal, tanpa disadari itu adalah bentuk penyangkalan diri yang mengarah ke gangguan kejiwaan.
“Anda menipu diri sendiri dan orang lain hanya untuk mendapatkan ‘like’. Ironisnya, seringkali jumlah ‘like’ di medsos menjadi tolok ukur kepercayaan diri seseorang. Padahal, belum tentu orang yang memberi ‘like’ itu memang benar-benar suka pada Anda,” ujarnya.
Dia menambahkan jika foto selfie Anda yang memiliki banyak ‘like’ adalah foto hasil suntingan, maka sudah semestinya Anda bertanya-tanya, ‘Apakah orang lain menyukai Anda karena hidung mancung dan kulit putih? Atau karena siapa Anda yang sebenarnya?’
Menurut Ary, ketimbang terobsesi dengan memajang foto selfie di medsos, lebih baik mengumbar ‘selfie prestasi’. “Lebih baik mengunggah foto dagangan kerupuk hasil buatan dan jerih payah sendiri ketimbang memamerkan foto selfie hasil editan,” tegasnya.