Ilustrasi: depresi, gangguan jiwa, gangguan kejiwaan, gangguan mental./Antara
Health

Pertolongan Pertama untuk Gangguan Jiwa

Wike Dita Herlinda
Sabtu, 22 Oktober 2016 - 10:32
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Barangkali Anda pernah melihat seorang penderita gangguan jiwa yang ditelantarkan keluarganya. Dia dijebloskan ke liponsos, dipasung atau disekap di kamar, ditinggal begitu saja di rumah sakit jiwa, atau bahkan dibiarkan luntang-lantung sendirian di jalanan.

Malang nian nasib mereka. Sebab, di Indonesia masih berkembang stigma negatif terhadap orang-orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Akibatnya, memiliki anggota keluarga yang ‘gila’ dianggap sebagai aib yang sangat memalukan.

Namun, bagaimana bila hal tersebut terjadi pada keluarga Anda? Bagaimana jika ada anggota keluarga yang mengalami gangguan psikologis? Apakah Anda akan menelantarkannya juga? Apakah Anda akan menganggapnya sebagai aib?

Sebelum membahas mengenai apa itu gangguan jiwa dan bagaimana bila ada anggota keluarga yang mengalaminya, mari kita telaah terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kesehatan jiwa menurut UU Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan RI.

Menurut UU, seseorang dikatakan sehat jiwa apabila dia dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga mampu menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja produktif, serta memberi kontribusi untuk komunitasnya.

Orang yang jiwanya sehat ditandai dengan memiliki perasaan sehat dan bahagian, serta nyaman pada dirinya sendiri sehingga mampu mengatasi amarah, iri hati, cemas, rendah diri, takut, dan kecewa. Dia juga mampu menilai dirinya sendiri dengan sepatutnya.

Jiwa sehat juga ditandai dengan kemampuan menerima orang lain apa adanya, bersikap positif pada diri sendiri dan orang lain, serta merasa nyaman berhubungan dengan orang lain sehingga mampu menerima, mencintai, dan menggunakan akalnya dengan sehat.

Selain itu, orang yang jiwanya sehat menyadari kemampuan diri, mampu menghadapi tantangan dan kebutuhan hidupnya, menerima tanggung jawab, mampu mengambil keputusan, mempunyai tujuan hidup nyata, dan merancang masa depannya. 

Lebih lanjut, menurut World Federation for Mental Health (WFMH), satu dari empat orang dewasa akan mengalami masalah kesehatan jiwa pada satu masa dalam hidupnya, dan setiap 40 detik di suatu tempat di dunia ada seseorang yang meninggal karena bunuh diri.

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV, gangguan jiwa adalah gejala pola perilaku seseorang yang secara klinis cukup bermakna dan secara khas berkaitan dengan gejala distres atau hendaya di dalam satu atau lebih fungsi penting manusia.

Ketua Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Eva Viora menjabarkan, gangguan jiwa tidak mengenal batasan usia dan bisa terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, ibu hamil, maupun para manusia lanjut usia (manula).

“Mereka adalah populasi yang paling berisiko mengalami gangguan jiwa dan membutuhkan pencegahan dan pengendalian agar tidak berkelanjutan dan hanya akan membebani keluarga dan masyarakat, serta kualitas bangsa,” ujarnya.

Pencegahan terhadap gangguan jiwa dapat dimulai dari perang melawan kekerasan terhadap anak dan perempuan (terutama kekerasan seksual), anak jalanan, pornografi, penyalahgunaan napza, kecanduan media sosial (medsos), bencana, kepikunan, dan beban psikologis. 

“Jika faktor-faktor tersebut terabaikan karena ketidakpahaman, kelelahan menghadapi, kurang peduli, dan kurangnya akses pelayanan kesehatan, maka para penderita gangguan jiwa akan sulit ditangani dan akhirnya akan membebani keluarga.”

Menurut Eva, anggota keluarga yang terdeteksi menderita gangguan jiwa sebaiknya jangan langsung dianggap sebagai aib atau kutukan. Sebaliknya, mereka harus diberi pertolongan pertama dan kesempatan agar diperlakukan secara bermartabat.

“Sebab, bagaimanapun mereka berhak dan berkehendak untuk dihargai serta mendapatkan perlakukan serta martabat yang setara dengan masyarakat lainnya atau dengan kata lain, tanpa diskriminasi sesuai dengan UU Kesehatan Jiwa,” tegasnya.

Lima Langkah

Untuk itu, Eva menyarankan agar setiap keluarga mempelajari dan memahami keterampilan dasar pertolongan pertama kesehatan jiwa (Mental Health First Aid Action Plan), yang terdiri atas lima langkah.

Langkah-langkah tersebut antara lain pendekatan, deteksi, dan membantu pada krisis apapun; mendengarkan tanpa menghakimi; memberikan dukungan dan informasi yang tepat; mendorong penderita untuk mendapatkan bantuan profesional; dan memberi dukungan lain.

“Pertolongan pertama ini seharusnya diberikan kepada seseorang yang bukan kader kesehatan dan tidak memiliki latar belakang kesehatan, melainkan seseorang yang berada dalam lingkup sosial penderita; terutama keluarga,” tambah Eva

Dengan memberdayakan peran keluarga dalam menolong penderita gangguan jiwa, akan lahir banyak manfaat maksimal tidak hanya bagi prognosis kesehatan jiwa tetapi juga dalam proses pembangunan kesehatan dan kualitas bangsa dalam jangka panjang.

Setiap keluarga perlu menyadari pentingnya kesehatan jiwa dan mau mengentaskan stigma negatif pada ODGJ. Biar bagaimanapun, menelantarkan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa adalah sebuah tindakan yang keji dan tidak berperikemanusiaan.

Berikan mereka kesempatan untuk ditolong dan dinaikkan martabatnya, agar mereka bisa tetap menjalani hidup lebih berkualitas ketimbang dibuang di jalanan, dipasung, atau ditelantarkan di panti sosial.

Gangguan Jiwa Berat:

Gejala: halusinasi, gangguan proses dan isi pikir (bicara tidak nyambung, waham), gangguan emosi, tingkah laku aneh (agresif, menarik diri, dsb)

Prevalensi di Indonesia: 1,7 jiwa per mil.

Kasus terbanyak: DI Yogyakarta (2,7 jiwa per mil), NAD (2,7 jiwa per mil), Sulawesi Selatan (2,6 jiwa per mil), Bali (2,3 jiwa per mil), dan Jawa Tengah (2,3 jiwa per mil).  

Skizofrenia:

Gejala: kesulitan memproses pikiran sehingga berhalusinasi, delusi, pikiran dan tingkah laku tidak jelas atau tidak wajar, kesulitan berinteraksi, menarik diri dari dunia luar

Penyakit ini adalah jenis gangguan jiwa terberat dengan total 10% dari penderita skizofrenia berakhir bunuh diri. Gejalanya kerap muncul pada remaja atau dewasa muda.

Prevalensi di Indonesia: 1,7 jiwa per 1.000 penduduk atau sekitar 400.000 orang.

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2016

Editor : Nancy Junita
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro