Sawah./.Antara
Fashion

PILIHAN KARIER: Saat Millennials Tak Lagi Gengsi Menjadi Petani

Wike Dita Herlinda
Minggu, 30 Oktober 2016 - 07:46
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA- Sejak kecil mayoritas dari kita telah terbiasa dengan konsep ‘petani adalah orang desa’.

Kita dicekokin dengan gambaran seorang Pak Tani yang pergi ke sawah atau ladang pagi-pagi, bercocok tanam menggunakan caping dan memanggul cangkul, dan pulang ketika sudah sore.

Petani kerap diidentikkan dengan warga kelas menengah bawah di desa atau dusun. Itulah sebabnya pekerjaan petani tidak menarik bagi banyak anak muda zaman sekarang. Padahal, tanpa profesi tersebut, apa daya kita dalam menjaga keamanan pangan di negara ini?

Namun, ternyata tidak semua pemuda merasa gengsi disebut sebagai petani. Bahkan, masih ada generasi muda berpendidikan tinggi dari kota besar yang rela banting setir dan mengabdikan hidupnya untuk berkecimpung di ladang dan sawah di pedesaan.

Itulah yang dilakukan oleh Andhika Mahardika. Pemuda asal DI Yogyakarta itu menerobos pola pikir kebanyakan millennials yang memandang sebelah mata profesi petani. Tidak hanya itu, dia turut mendorong anak muda lain untuk memperkuat pertanian di daerahnya.

Hal itu dilakoninya dengan membentuk pergerakan Agradaya dan juga komunitas Petani Muda. Uniknya, melalui gerakan itu, dia membagikan ilmunya untuk memberdayakan petani lokal guna menghasilkan produk tanaman pangan bernilai tambah.

Pengabdiannya pada dunia pertanian dimulai dari kegelisahan yang dia rasakan terhadap kondisi agribisnis di Indonesia. Survei pertanian BPS pada 2015 mencatat, dalam satu dekade teakhir ada 5 juta petani yang memutuskan berhenti dari profesinya.

Penyebabnya klasik, yaitu; semakin banyak lahan pertanian dan perkebunan yang beralih fungsi menjadi pemukiman atau ruang industri. Selain itu juga tantangan seputar harga beli yang rendah dan jeratan tengkulak di kalangan petani.

“Petani seperti tidak memiliki posisi tawar yang tinggi. Dari sana, lantas saya berinisiatif agar para petani memulai pengelolaan tanaman pangan secara organik dengan nutrrisi atau pupuk dari bahan alami, serta dijual melalui direct trade tanpa tengkulak,” tutur Andhika.

Agradaya sendiri merupakan gerakansocial entrepreneurship yang fokus pada pengembangan sumber daya daerah, khususnya sektor pertanian dan pangan. Komoditas utama dari gerakan ini adalah rempah-rempah; seperti jahe, kunyit, atau temulawak.

“Komunitas kami ini berdiri sejak 3 tahun lalu, dan berawal dari tim yang berjumlah 7 orang. Kami berfungsi sebagai pengembang produk pertanian yang tidak hanya fokus pada kegiatanon farm, tetapi juga off farm melalui pendekatan teknologi pertanian,” jelasnya.

Menurut Andhika, dia tidak hanya membina petani untuk menghasilkan produk mentah, tetapi juga mendidik mereka untuk membuat produk olahan bernilai tambah seperti bubuk rempah atau minyak esensial. Selain itu, petani juga diajari memproduksi tehkombucha.

“Kami juga ingin agar terjadi peningkatan kesejahteraan petani. Oleh karena itu, kami mencoba mengembangkan produk olahan pangan bernilai tambah. Jadi, kami memulainya dengan membangun alat pengering rempah.”

Gerakan tersebut dijalankan berdasarkan kemitraan dengan menggandeng kelompok-kelompok petani dan ibu-ibu di Desa Sendangreo, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Gerakan itu juga telah merambah Kabupaten Kulon Progo.

PESIMISTIS

Sejauh ini, Agradaya telah mampu memberdayakan sekitar 200 petani binaan. Meskipun kegiatan mereka berkembang cukup pesat, Andhika mengaku awal mula pendirian pegerakan tersebut tidaklah muda.

Pasalnya, saat ini semakin banyak pelaku pertanian yang pesimistis dengan kondisi petani dan agribisnis, khususnya di DI Yogyakarta. Di tengah pesimisme itulah, dia berpikir untuk mendirikan komunitas lain bernama Petani Muda.

“Dari komunitas itu, kami ingin menunjukkan bahwa masih ada optimisme di dunia pertanian, dan juga bahwa masih banyak anak muda urban yang mau memilih untuk hidup dari sektor agribisnis,” tegasnya.

Hasilnya, ternyata mulai banyak anak muda yang memilih menjadi pekebun, petani, petambak, atau peternak. Terbukti,anggota komunitas Petani Muda tidak hanya berasal dari Jogja, tetapi ada juga yang dari Garut, Banten, Bandung, Jawa Timur, dan bahkan luar Jawa.

“Para anak muda ini melakukan banyak hal di dunia agribisnis, mulai dari bertani padi, sayuran organik, ada juga yang olahan kelapa untuk kerajinan, ternak domba, hingga yang mendirikan usaha kuliner dengan bermitra dengan para petani organik,” kata Andhika.

Dia berpendapat pandangan bahwa menjadi petani bukan pilihan bijak untuk bertahan hidup adalah keliru. Justru, dia menilai anak-anak muda urban yang mengabdikan hidupnya untuk bertani adalah pahlawan bagi masa depan peradaban manusia.

Pasalnya, PBB telah memprediksi pada 2050 penduduk dunia akan menembus lebih dari 5 miliar jiwa. Artinya, dengan populasi semasif itu, bisa dibayangkan berapa juta ton pangan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan ragawi umat manusia.

“Ke depan, bisnis pertanian akan semakin prospektif. Anak muda bisakok bertani. Tidak perlu di sawah atau ladang di desa, tapi bisa juga dengan mengoptimalkan lahan di pekarangan rumah di kota. Itu juga bisa jadi solusi keterbatasan lahan,” terangnya.

Tidak perlu gengsi menjadi petani. Di kota pun, lanjutnya, siapa saja bisa memulainya seperti dengan rooftop farming, vertikultur, atau hidroponikSesederhana itulah cara yang bisa dilakukan anak muda untuk membantu upaya ketahanan pangan.

“Siapa tahu dari sana Anda juga bisa membisniskannya, bukan? Namun, kalau mau berbisnis, jangan lewat tengkulak. Lakukan melalui direct trade agar harga jual yang didapatkan bisa lebih tinggi. Misalnya saja, menjadi pemasok restoran atau katering,” katanya.

Bagi anak muda yang ingin mencoba menjadi petani, dia menyarankan agar mencari peluang bisnis dari lini produk olahan. Pasalnya, selama ini kecenderungan petani dari generasi tua di Indonesia adalah mengeksploitasi produk mentahnya saja.

“Peluang untuk terjun ke sektor olahan itu masih terbuka sangat lebar, asalkan pelakunya tidak semata-mata berorientasi pada keuntungan, tetapi juga memperhatikan faktor keberlanjutan seperti kelestarian alam, pemberdayaan masyarakat, atau kesehatan tanah.”

Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro