Bisnis.com, JAKARTA - Sudah menjadi rahasia umum jika harga obat di dalam negeri begitu mahal karena bahan baku yang digunakan 97 persen impor. Dampaknya panjang, biaya kesehatan bagi masyarakat menjadi sangat mahal.
Padahal, Indonesia yang berada di zona biogeografi yaitu zona Oriental dan zona Australia berada di peringkat kedua setelah Brasil untuk tingkat keanekaragaman hayati (kehati).
Jumlah fitofarmaka, obat berbahan alam yang bahan baku hingga produk jadinya telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis serta distandardisasi oleh Badan POM, belum banyak.
Menurut Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati (IPH) LIPI Enny Sudarmonowati, baru ada lima di Indonesia dan semuanya dikembangkan oleh pihak swasta.
Hingga saat ini, lima produk fitofarmaka yang dimiliki Indonesia antara lain Nodiar dari PT Kimia Farma, Rheumaneer dari Ny Meneer, Tensigard dari PT Phapros, X-Gra dari PT Phapros dan Stimuno dari PT Dexa Medica. Jumlahnya sangat lambat bertambah mengingat dibutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang sangat besar untuk menghasilkan satu fitofarmaka.
"Di luar negeri (dengan fasilitas laboratorium sangat memadai) bikin satu obat terstandar bisa menghabiskan waktu tujuh tahun. Untuk sampai menghasilkan obat biosimilar saja paling cepat tujuh tahun dan paling lama bisa 18 tahun," ujar dia.
LIPI, ia mengatakan sudah tidak terhitung melakukan riset tumbuhan dan tanaman obat-obatan. Riset yang saat ini sedang dilakukan di antaranya melakukan inventarisasi, kajian ekologi dan etnobotani dalam rangka pengayaan koleksi dan pengetahuan tradisional tumbuhan obat. Selain itu juga memperbanyak beberapa jenis tumbuhan obat langka secara vegetatif seperti bidara upas (Merremia mammosa), sanrego (Lunasia amara), akar kuning (Concinium fenestratum), kayu kulim (Scorodocarpus borneensis) dan "unyur buut" (Kadsura scandens).