Benang dan Pewarna
Dewasa ini, Debora, Maria, dan Yosefina Piromete dari kampung Kalenarongo lebih memilih menenun dengan benang dan pewarna yang dibeli di toko karena prosesnya lebih praktis.
"Saya tidak penah belajar memintal benang, jadi saya memakai benang jadi dan jenis benang ini tidak bisa menyerap pewarna alami sehingga harus memakai pewarna buatan," kata Yosefina.
Penghasilan dari menjual kain tenun menjadi sumber nafkah utama bagi mereka, selain beternak.
Mengenai jumlahnya, mereka hanya menjawab: "Cukup untuk biaya hidup."
Meskipun bagi pendatang, khususnya dari Jawa, harga kain tenun dianggap relatif mahal, para perajin yang setiap bulan menjual hasil karyanya, tetap hidup dalam kesederhanaan. Mereka menempati rumah-rumah panggung dari bambu dan kayu dan nyaris tidak memiliki benda berharga.
Bahan baku untuk membuat selembar kain yang kelak dijual di toko dengan harga sekitar Rp200 ribu rata-rata bernilai Rp100 ribu, belum dihitung ongkos belanja membeli benang, uang lelah, dan ongkos mengirim kain tenun ke pasar.
Kain tenun dengan motif yang lebih rumit dan dijual dengan harga antara Rp500 ribu hingga sejuta rupiah memakai bahan yang lebih banyak untuk variasi sulam dan waktu pengerjaan sekitar 1 bulan.
"Cukup untuk hidup" adalah Bahasa bijak yang mereka sampaikan ketimbang mengungkapkan besaran rupiah yang mereka raup melalui hasil tenun-tenun itu.