Bisnis.com, JAKARTA - Museum Nasional Indonesia bekerja sama dengan DapoerDongeng dan Teater Koma bakal menggelar pentas dongeng Wasiat Aksara, Wahyu Semesta, lakon yang mengangkat sejarah pendudukan Inggris di Nusantara yang singkat (1811-1815) namun penuh kontroversi.
Dalam keterangan tertuis yang diterima Bisnis pada Jumat (25/8/2017), pentas dongeng pada Minggu (27/8/2017) merupakan episode ke-3 AkhirPekan@MuseumNasional season 5, program storytelling interaktif dan penuh muatan sejarah yang sukses memopulerkan kembali museum di kalangan anak-anak, keluarga muda, dan dewasa muda Indonesia sejak 2013.
Wasiat Aksara, Wahyu Semesta menghadirkan sosok Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles, tokoh yang dielu-elukan sebagian orang karena kebijakannya menghapuskan perdagangan budak dan tanam paksa yang berlangsung semasa penjajahan Belanda.
Raffles yang fasih berbahasa Melayu dan Jawa juga dikenal sebagai pencinta ilmu pengetahuan dan kebudayaan Nusantara yang ‘menemukan kembali’ Candi Borobudur, memprakarsai pendirian Kebun Raya di Bogor, menyokong pendirian museum di Batavia (yang menjadi Museum Nasional Indonesia beberapa ratus tahun kemudian), serta menerbitkan buku History of Java.
Buku yang terbit pada 1817 di London itu merupakan ensiklopedia yang masih dijadikan referensi penting oleh para sejarawan masa kini.
Namun, kajian mutakhir menunjukkan bahwa Raffles dan pendudukan Inggris sebetulnya penuh dengan kasus pembantaian dan penjarahan.
Usai menyingkirkan pasukan Prancis-Belanda dari Jawa pada 1811, dia memimpin penyerbuan terhadap Kesultanan Palembang dan Kesultanan Yogyakarta yang berupaya memanfaatkan masa transisi dari pendudukan Prancis-Belanda ke Inggris untuk membebaskan diri dari penjajahan.
Pada 1812, 1,000 pasukan Inggris didukung 600 prajurit Mangkunegaran dan Notokusuma yang bersekutu dengannya menggasak Keraton Yogyakarta, menangkap Sultan Hamengkubuwono II, lantas menggantikannya dengan putranya.
Dia mengangkat Pangeran Notokusuma, adik tiri Sultan Hamengkubowono II, sebagai pangeran merdeka sehingga kerajaan di Yogyakarta pun terpecah menjadi dua: Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alam.
Pasukan Inggris juga mengangkut berpeti-peti perhiasan, gamelan, wayang, keris dan senjata pusaka, serta 800,000 Dollar Spanyol (setara dengan Rp. 179 miliar, uang sekarang) dari keraton sebagai pampasan perang. Raffles dan para pejabat Inggris menggondol berpeti-peti kitab sastra, sejarah, dan filsafat.
Benda-benda dan kitab-kitab pusaka yang menjadi bahan referensi Raffles saat menyusun History of Java tersebut, tak pernah ia kembalikan dan kini malah jadi koleksi di British Library dan aneka museum di Inggris!
Bahkan beberapa prasasti kuno yang digondol Raffles ke Inggris, seperti Prasasti Sanggurah yang berasal dari zaman Mataram kuno bertarikh 928 Masehi, kini cuma jadi hiasan taman di Skotlandia.
Lantas, bagaimanakah seharusnya kita menyikapi buku History of Java yang isinya bukan cuma mengulas bahasa, adat-istiadat, sejarah, alam, dan potensi ekonomi pulau Jawa secara lengkap, tapi juga memuat belasan ribu kosa-kata dalam bahasa Kawi, Jawa, Bali dan Melayu?
Apalagi mengingat bahwa kitab-kitab asli yang menjadi acuan Raffles dalam menyusun buku tersebut masih tersimpan di luar? Bagaimana pula kita harus menyikapi sosok Raffles yang menerbitkan berbagai kebijakan baik di satu sisi, namun juga berlaku sebagai perampok dan pembunuh di sisi lainnya?
Di sinilah keunikan program AkhirPekan@MuseumNasional yang bukan cuma menyajikan sejarah secara lebih menarik bagi anak-anak dan keluarga, tapi juga mengajak penonton untuk merenungkan dan mendiskusikan secara kritis pelajaran baik-buruk yang kita dapatkan dari kejadian masa silam.