Bisnis.com, Jakarta - Dalam salah satu adegan film The Devil Wears Prada (2006) seorang pria mempertanyakan mengapa perempuan sangat memerhatikan fesyen.
Dia tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang masuk akal, bahkan menurutnya tidak berguna sama sekali.
“Fesyen bukan soal kegunaan. Fesyen hanyalah sepotong ikonografi yang digunakan untuk mengekspresikan identitas diri,” jawabnya.
Kutipan dari dialog film yang dibintangi aktris Meryl Streep di atas adalah benar adanya. Fesyen adalah salah satu cara seseorang mengekspresikan identitasnya. Belakangan, fesyen juga digunakan sebagai pernyataan sosial.
Fenomena dalam Golden Globes Awards yang diselenggarakan awal bulan ini adalah salah satu contohnya. Para pesohor dunia perfilman yang hadir memutuskan untuk tampil seragam dengan menggunakan busana berwarna hitam ketika melenggang di karpet merah.
Mereka memilih warna hitam sebagai bentuk solidaritas atas isu pelecehan seksual yang terjadi di industri hiburan Amerika Serikat.
Lebih luas lagi, hitamnya busana mereka juga membawa pesan tentang ketidaksetaran gender dan kekerasan terhadap perempuan di dunia.
Aktris Diane Kruger malam itu tampil elegan dalam balutan gaun hitam rancangan rumah mode Prada. Selain itu aktris lain seperti Jessica Chastain, Laura Dern, Natalie Portman, dan Angelina Jolie juga tampil dengan gaun serba hitam.
Tak ketinggalan, Anne Hathaway—aktris utama dalam Devils Wears Prada—yang berhalangan hadir, juga ikut mengenakan gaun hitam melalui unggahan fotonya di instagram.
Pengamat fashion Ajeng Dewi Svastiari mengapresiasi pilihan busana serba hitam itu. Menurutnya, fesyen belakangan memang sangat berhubungan dengan isu sosial yang sedang terjadi.
Sebelumnya, sebagai protes terhadap kepemimpinan Presiden Donald Trump, banyak desainer yang menolak menata busana ibu negara AS, Melania Trump.
“Berbeda dengan masa Michele Obama saat desainer berebut untuk bisa menata busana ibu negaranya, di era Melania Trump justru banyak desainer yang menolak, salah satunya desainer Tom Ford,” katanya.
Pakar psikologi sosial Risa Permanadeli punya pandangan tersendiri tentang fenomena ini. Menurutnya fesyen sebagai pernyataan politis bukanlah barang baru.
Sebelum ramai di ajang Golden Globes, masyarakat Indonesia justru sudah lebih dulu menggunakan busana sebagai sikap politis.
“Itu sebetulnya kan keliru kalau hanya melihat itu saja, di Indonesia itu banyak yang sudah melakukan itu. Tidak ada yang istimewa hanya karena dia Golden Globe menarik perhatian dunia,” tegasnya.
Risa mencontohkan bagaimana suku Baduy di Jawa Barat dan penganut ajaran Samin di Jawa Tengah yang biasa menggunakan pakaian serba hitam untuk menolak sistem pajak yang diterapkan di era Belanda.
“Sebenarnya apa yang dilakukan oleh mereka lebih dalam ketimbang Golden Globe yang serba glamor,” ujarnya.
Selain Baduy dan Samin, Risa juga mencontohkan suku To Lotang di Sulawesi Selatan yang menggunakan sarung dengan cara yang berbeda dengan masyarakat Bugis.
Sarung mereka dibiarkan terbuka dan menggantung di tubuh.
Risa menjelaskan bahwa cara berpakaian tersebut adalah bentuk penolakan mereka terhadap dominasi negara yang memaksa mengkonversikan agama mereka ke dalam agama yang sesuai menurut aturan pemerintah.
“Dalam ilmu psikologi sosial, salah satu cara yang paling mudah untuk menunjukkan siapa dia dan apa yang membedakannya dengan orang lain adalah melalui busana. Karena itu yang paling mudah terlihat,” jelasnya.
Pendeknya, Bagi para pesohor Hollywood atau orang Baduy sekalipun, fesyen adalah sikap politis yang nyata. Gaun Prada hitam aktris Diane Kruger maupun selembar kain hitam sederhana dari pedalaman Banten, kedunya menyuarakan sikap politis yang tegas dan kuat.