Bisnis.com, JAKARTA – Bagi sebagian orang, mengakui video game sebagai olahraga mungkin sulit, apalagi tidak ada cucuran keringat yang keluar. Tapi, toh, catur yang dilakukan sambil duduk pun sudah lama masuk kategori olahraga.
Kini main video gim juga bisa disebut olahraga, yakni olahraga elektronik atau e-sports dengan tingkat kompetisi yang tinggi. Didukung pula oleh hadirnya turnamen-turnamen besar dengan hadiah yang hampir menyamai kejuaraan Wimbledon.
Industri olahraga elektronik ini merupakan salah satu yang pertumbuhannya sangat cepat seiring dengan semakin majunya teknologi permainan.
Gim Defense of the Ancients (Dota) 2 yang dikembangkan oleh Valve Corporation, memimpin dengan turnamen tahunannya. Ajang The International 2017 menyediakan total hadiah US$24,69 juta (Rp336 miliar), naik dari 2016 yang mencapai US$20,77 juta.
Bandingkan saja dengan olahraga yang benar-benar menguras keringat seperti Dubai BWF Super Series Finals yang digelar 13-17 Desember lalu dengan hadiah total US$1 juta atau Rp13,4 miliar. Super Series di Dubai ini sama dengan hadiah di Indonesia Terbuka Super Series Premier Juni 2017.
Dari segi penonton pun, e-sports telah menarik puluhan juta pandangan mata sekali ajang. Catatan Forbes, final NBA 2015/2016 ditonton oleh 31 juta orang, sedangkan final League of Legendsworld 2015 menyedot 36 juta penonton (unique viewers) dari seluruh dunia.
Bahkan hak siar sejumlah turnamen e-sports juga jadi rebutan.
Klub-klub e-sports dunia ikut merasakan gelontoran dan investor yang sebagian berasal dari olahragawan kaya. Ronaldo Luís Nazário de Lima membeli CNB e-Sports, Shaquille O’Neal jadi pemegang mayoritas NRG E-Sports, dan legenda LA Lakers Earvin ‘Magic’ Johnson merogoh kocek untuk Team Liquid—juara kompetisi The International 2017.
Tak ketinggalan klub-klub sepakbola pun merambah ke e-sports , seperti Manchester City, Paris Saint-Germain, dan Samdoria.
Tren yang sama merambah Indonesia. Wakil Ketua Indonesia e-Sports Association (IeSPA) William Tjahyadi menyebut esports adalah olahraga masa depan yang menyediakan berbagai kesempatan dan lapangan kerja.
Olahraga ini bahkan sama seperti sepak bola atau bola basket, setiap tim memiliki pelatih, manajer, analis, fisioterapis, bahkan psikiater tim. Gaji atlet e-sports pun boleh dibilang lebih dari cukup, apalagi jika sering menang turnamen.
IeSPA menjadi lembaga resmi di bawah Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI) dan bertindak sebagai regulator untuk kegiatan e-sports yang di Indonesia. “Sekarang setidaknya ada 10-15 tim yang sudah punya infrastruktur bagus di Indonesia,” katanya.
Seperti catur, olahraga ini tidak menguras keringat tapi sangat kompetitif. Setidaknya ada tiga game yang paling banyak dimainkan di seluruh dunia yakni League of Legends, CS-Go, Dota 2.
Di Indonesia, dari segi kuantitas, permainan yang di urutan teratas adalah Point Blank. Di Asia tenggara, untuk genre first-person shooter (FPS) didominasi CS-Go dan Point Blank.
Untuk kategori multiplayer online battle di Asia Tenggara paling banyak Dota 2, sedangkan di Eropa atau Amerika yang paling banyak dimainkan adalah League of Legends.
Soal masa depan, William mengklaim e-sports adalah ajang olahraga masa depan. “E-sports adalah the future of sports. Sekarang kalau lihat di televisi luar negeri bahkan sudah ada sebutannya sendiri, olahraga basket, sepak bola, dan sebagainya sekarang disebut traditional sports, dan ada kategori lain yang namanya e-sports.”
Seperti PSSI yang menginduk ke FIFA, IeSPA berada di bawah bendera International e-Sports Federation (IeSF). Ada sekitar 130 negara yang tergabung di bawah IeSF.
Asian Games 2018 menjadi salah satu pergelaran yang memasukkan cabang e-sports, meskipun sifatnya masih eksibisi. Pengakuan ini tak lepas dari perjuangan IeSPA.
“Selain itu, kabar gembira lainnya adalah sudah dipastikan akan ada 10 cabang perlombaan e-sports yang akan diperlombakan di Olimpiade 2022, semua sudah ada medalinya.”
Wiliam sendiri dahulu adalah pemain e-sports profesional. Aktivitasnya di dunia e-sports dimulai sekitar 2005, tapi berhenti pada 2011/2012.
“Waktu itu saya berhenti main profesional dan berfokus di belakang layar sekarang. Dulu saya main game FPS [first person shooter] Counter Strike yang lama.”
GIM UNTUK ANAK
Pemain video gim banyak datang dari kalangan muda, bahkan anak-anak. Wajarjika anak-anak juga terdorong untuk bercita-cita menjadi gamer pro.
Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua bila anaknya ingin menekuni bidang ini. Mulai dari aspek fisik hingga kogntif. Selain itu, orang tua juga perlu diskusikan dengan anak terkait cita-cita mereka ini.
Menurut psikolog Ayoe Sutomo, untuk anak perlu diperhatikan aspek fisik dan mental/sosial. Fisik berhubungan dengan tulang atau tumbuh kembang, karena pemain gim elektronik biasanya kurang gerak.
“Namanya bermain game, gerakannya berulang itu-itu saja [duduk di depan layar komputer]. Dengan begitu mereka akan mengalami ketidakseimbangan hanya di salah satu aspek saja,” kata Ayoe.
Dari aspek sosial, kemampuan mereka dalam melakukan hubungan sosial secara riil menurun karena sebagian besar waktu mereka dihabiskan untuk bermain gim daring.
“Sebetulnya mereka harus berinteraksi di dunia nyata, karena kemampuan itu dibutuhkan nantinya terutama pada saat kerja.”
Namun, diakuinya, gim daring pun memiliki sisi positifnya. Salah satunya kemampuan bahasa Inggris mereka menjadi cukup baik karena sifatnya praktis.
Game juga mamberikan semacam penghargaan kepada pemainnya yang kadang membuat anak lebih kecanduan selain faktor kesenangan. Sebagai contoh, ketika seseorang bermain game kemudian kalah, mereka disuguhi kata-kata penyemangat seperti ‘kamu sudah hampir berhasil, silahkan coba lagi.’
Terkait dengan pemain cita-cita anak untuk jadi atlit e-sports profesional, Ayoe Sutomo menganggap tidak jadi soal. “Apalagi kalau sekarang memang banyak profesi baru yang tidak terpikirkan sebelumnya seperti gamer ini.”