Bisnis.com, JAKARTA – Rencana Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto untuk mengambil kembali wewenang pemberian izin produksi dan edar yang selama ini dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makan Republik Indonesia (Badan POM-RI) dinilai cacat hukum karena menabarak Keppres dan Perpres.
Hal itu dikemukakan oleh Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi dan Ketua Komisi IX DPR-RI Ansory Siregar secara terpisah.
Tulus mengungkapkan Badan POM adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang tugas, fungsi, dan kewenangannya diatur oleh Keppres No. 2/2003 dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Di samping itu, pada 9 Agustus 2017, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden No 80/2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan yang secara tegas menetapkan BPOM sebaga LPNK yang menyelenggarakan urusan pemerintah dalam bidang pengawasan obat serta makanan.
“Perpres 80/2017 juga mengungkapkan bahwa Badan POM-RI memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin edar obat. Jadi, kalau Menkes mau ngambil lagi itu jelas menabrak dua aturan sekaligus,” kata Tulus sebagaimana keterangan tertulis yang diterima Bisnis pada Kamis (5/12/2019).
Dia melanjutkan mengambil kembali kewenangan yang telah diberikan kepada Badan POM-RI tidak sejalan dengan kebijakan Presdien Jokowi yang ingin memperkuat Badan POM dari sisi pre-market control dan post-market control.
“Dari sisi pre-market, Badan POM saat ini telah punya divisi yang cukup baik dan andal untuk mengetahui berbagai macam bentuk pengujian obat, apakah Kemenkes punya hal ini? Lalu dari sisi post-market, pengawasan obat itu kan harus dilakukan setelah diberi izin edar, nah…Badan POM punya kaki tangan di daerah-daerah, Kemenkes nggak punya,” kata Tulus.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Komisi IX DPR RI Ansory Siregar mengungkapkan bahwa rencana mengambil kembali wewenang memberikan izin edar obat oleh Kemenkes hendaknya tidak diteruskan, karena masih banyak tugas dari Kemenkes yang belum diselesaikan dengan baik.
“Rencana Menkes Terawan untuk mengambil lagi wewenang Badan POM tekait izin edar dan produksi dihentikan sajalah, masih banyak tugas lain yang belum selesai, seperti soal BPJK Kesehatan yang merugi hingga triliunan rupiah, mahalnya harga obat, pembuatan e-katalog, masih banyak kok yang harus diselesaikan,” kata Ansory.
Komisi IX, kata Ansory, akan meminta Menkes dan jajarannya untuk fokus menangani berbagai masalah di bidang obat dan pengobatan yang dinilai belum memberikan hasil yang maksimal bagi masyarakat.
“Misalnya, kenapa harga obat di Indonesia itu paling mahal di Asia, padahal sudah ada aturan mengenai penggunaan obat generik atau kebijakan untuk membuat generiknya agar harganya terjangkau. Lalu kenapa, klaim pengobatan BPJS Kesehatan itu tinggi sekali bukankah sudah diwajibkan menggunakan obat murah dan berkualitas. Ini kan harus diselesaikan dulu masalahnya beralih ke lainnya,” kata Ansory.
Menurut dia, Menkes perlu mengambil langkah strategis untuk memenuhi ketersediaanobat dan alat kesehatan untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). “Fokus pemerintah itu kan peningkatan SDM. Salah satu faktor terpenting untuk mewujudkan SDM unggul itu kesehatan, itu dulu.”
Menurut Ansory, Badan POM-RI justru perlu penguatan mengingat maraknya produk ilegal yang masuk di era teknologi ini. Sistem pengawasan obat dan makanan perlu diperkuat seiring dengan berkembangnya teknologi, media, dan berkembangnya pasar bebas.
“Pengawasan obat dan makanan memiliki arti penting dan strategis dalam kehidupan masyarakat, harusnya diperkuat dong bukan malah diambil lagi wewenangnya,” kata Ansory.
Mengenai harga obat, menurut Tulus, Menkes tidak paham persoalan hulu masalah obat dan persoalan industri farmasi. Bahwa masalah utama mahalnya harga obat jelas bukan masalah perizinan, tapi masalah bahan baku obat yang hampir 100 persen masih impor, dan rantai distribusi obat yang sangat panjang. Bahkan dugaan adanya mafia impor obat inilah pemicu mahalnya harga obat.
“Jadi, kalau Menkes ingin menekan harga obat ke level yang lebih murah, maka Menkes harus mendorong untuk mengurangi impor bahan baku obat dan membuka keran bagaimana industri bahan baku obat bisa difasilitasi di Indonesia. Masak kalah sama Thailand? Juga membuat distribusi obat bisa lebih sederhana. Bahkan memberantas adanya dugaan mafia impor bahan baku obat,” ujar Tulus.
Menurut dia, apakah bisa dijamin jika pengambilalihan perizinan obat oleh Menkes, tidak akan mampu menurunkan harga obat, karena duduk persoalannya memang bukan pada perizinan. “Alih alih perizinan di Kemenkes malah menjadi masalah baru, dan harga obat malah kian mahal,” jelas Tulus.
Ansory juga mengungkapkan bahwa Komisi IX akan membentuk Panitia Kerja (Panja) soal tata kelola obat yang dinilainya melibatkan berbagai pihak serta tidak menutup kemungkinan adanya kolusi dan korupsi.
“Kami akan membentu Panja soal obat, kalau perlu mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ikut serta mendalami masalah ini,” ucap Ansory.
Sebelumnya Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menjelaskan perihal inisiatifnya mengambil alih peredaran obat menjadi di bawah Kementerian Kesehatan.
Terawan menyebut ketentuan tersebut sudah berlaku, tinggal menunggu koordinasi dengan pihak terkait. "Izin edar itu undang-undang bunyinya yang punya izin edar itu memang Kementerian Kesehatan. Selama ini ada Permenkes tahun berapa itu keluar didelegasikan. Kalau delegasinya saya perbaiki untuk tidak saya berikan kan, enggak apa apa," jelas Terawan.
"Sesuai dengan undang-undang, peraturan pemerintah, bunyinya kita sebagai pemegang izin edar. Ya sudah langsung berlaku tinggal koordinasi," sambung Terawan.
Terawan menilai hal ini perlu pihaknya lakukan demi efisiensi waktu yang lebih cepat dan gampang. "Karena kita tidak menilai sebagai pengawas, tapi sebagai pre market. Kalau post market mengawasi pre market, ya jadinya pasti lama," kata Menkes.