Bisnis.com, JAKARTA – Sejak pandemi Covid-19 mulai masuk ke Indonesia pada Maret 2020, masyarakat terus melakukan berbagai upaya untuk menjaga kesehatan dan meningkatkan daya tahan tubuh, salah satunya dengan memanfaatkan ramuan tradisional.
Umumnya masyarakat menggunakan bahan herbal terutama yang mengandung curcumin seperti kunyit dan temulawak. Namun, beberapa saat kemudian muncul berbagai mitos yang membuat masyarakat sempat ragu mengonsumsi curcumin.
Inggrid Tania, Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) menyebutkan beberapa mitos dan fakta terkait curcumin.
Pertama, konsumsi curcumin tidak bermanfaat karena hanya menghasilkan placebo effect atau efek sugesti semata. Inggrid menuturkan bahwa faktanya penggunaan kunyit dan temulawak dalam ranah pencegahan dan terapi suportif justru sangat relevan berdasarkan beberapa penelitian praklinik dan klinik.
“Cucumin ini terbukti memiliki efek immunomodulator di samping efek anti inflamasi dan efek sinergistik lainnya,” ujar Inggrid dalam webinar peluncuran Curcuma Force, Rabu (21/10/2020).
Kedua, sempat muncul informsi yang menyebutkan konsumsi curcumin dapat meningkatkan risiko terrpapar Covid-19 karena dapat meningkatkan reseptor ACE-2.
Namun, faktanya berdasarkan riset dari Bioinformatika yang dirilis pada Maret 2020, curcumin justru mampu berikatan dengan reseptor protein SARS-CoV-2 yaitu melalui ikatan dengan domain protease dan spike glikoprotein.
“Curcumin diketahui menghambat pelepasan senyawa penyebab peradangan atau sitokin proinflamasi sehingga mencegah terjadinya badai sitokin. Curcumin juga memiliki efek menghambat proses pertumbuhan virus,” terangnya.
Selain itu, Inggrid juga mengatakan bahwa jamu yang mengandung kunyit dan temulawak memang sudah dikonsumsi masyarakat Indonesia selama berabad-abad lamanya dan terbukti aman dan bermanfaat terhadap kesehatan.