Ilustrasi-Perokok usia dini sedang merokok di atas angkutan umum/Antara
Health

Waduh! Perokok Usia Dini Tak Terpengaruh Kenaikan Harga Rokok

MG Noviarizal Fernandez
Kamis, 22 Oktober 2020 - 19:55
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Kenaikan harga rokok, baik melalui kenaikan harga jual eceran maupun pengenaan kenaikan cukai rokok, dinilai tidak efektif menurunkan jumlah perokok usia dini dan prevalensi stunting.

Faktor utama penyebab munculnya perokok usia dini adalah lingkungan di dalam dan luar rumah, keingintahuan si anak, pengendali stres, dikuti dengan tingkat pendidikan ayah atau orang tua yang rendah.

Hal itu terungkap dalam penelitian yang dilakukan tim peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya, Jawa Timur.

Hasil penelitian, metode penelitian beserta waktu penelitian dan nara sumber atau responden penelitian, disampaikan anggota tim peneliti antara lain Imanina Eka Dalilah, dan Joko Budi Santoso,

“Faktor yang menyebabkan banyaknya jumlah perokok usia dini antara lain tingkat pendidikan orang tua khususnya ayah yang rendah serta adanya anggota keluarga yang merokok,” papar Joko Budi Santoso, Kamis (22/10/2020).

Dia menjelaskan industri hasil tembakau (IHT) berperan penting menyumbang penerimaan negara hingga lebih dari Rp150 triliun per tahun selama 5 tahun terkahir.

Selain itu, IHT yang bersifat padat karya mampu menyerap jutaan tenaga kerja dalam rantai produksi maupun distribusi.

Fakta ini juga didukung dengan resiliensi IHT dalam menghadapi berbagai krisis ekonomi, termasuk pandemi Covid-19.

Tekanan Terhadap IHT 

Keberlangsungan IHT terus mendapat tekanan luar biasa melalui berbagai aturan untuk pengendalian konsumsi maupun untuk kepentingan penerimaan negara.

Ketatnya regulasi dan kebijakan kenaikan tarif cukai berdampak pada penurunan volume produksi juga penurunan pabrikan rokok.

Data menunjukkan, volume produksi selama periode 2016-2018 menurun sebesar 4,59 persen dan jumlah pabrik rokok dari 4.793 perusahaan pada 2007 hanya tinggal sekitar 10 persen (487 perusahaan) pada 2017 .

IHT, tutur Joko, juga menghadapi tekanan, salah satunya adalah isu harga rokok terlalu murah mendorong peningkatan prevalansi merokok pada anak usia dini.

Tidak hanya itu, isu stunting dan dampaknya bagi kesehatan terus di digaungkan.

Hal itu memberikan tekanan bagi pemerintah untuk mengendalikan konsumsi produk IHT melalui kenaikan harga dengan simplikasi tarif dan kenaikan cukai rokok.

Harapannya dengan kebijakan harga akan mengubah perilaku masyarakat dalam mengkonsumsi produk IHT.

“Di tengah terjadi penurunan volume produksi dan jumlah pabrikan rokok yang signifikan, data Riskesdas menunjukkan angka prevalensi merokok usia di atas 10 tahun di Indonesia mengalami penurunan dari 29,3 persen pada 2013 menjadi 28,8 persen pada 2018," ujar Joko Budi Santoso.

Akan tetapi, lanjut Joko, penurunan volume produksi rokok dan penurunan jumlah pabrikan rokok yang besar ternyata berbanding terbalik dengan jumlah perokok usia dini.

Fakta ini menjadi indikasi awal bahwa kebijakan kenaikan tarif tidak selalu linier dengan perspektif teori yang digunakan.

"Fenomena ini menjadi salah satu alasan perlunya kajian yang lebih mendalam terkait penyebab meningkatnya perokok usia dini di Indonesia, “ papar Joko Budi Santoso.

Tren Perokok Usia Dini

Tim Peneliti dari PPKE Universitas Brawijaya memaparkan bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai dan kenaikan harga rokok yang beberapa kali dilakukan pemerintah nyatanya tidak searah dengan tren jumlah perokok usia dini dalam beberapa tahun terakhir.

Di tengah penurunan volume produksi rokok dan penurunan jumlah pabrikan rokok yang signifikan, jumlah perokok usia dini meningkat dari 7,2 persen di tahun 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.

“Hal ini mengindikasikan kebijakan pemerintah melalui kenaikan harga rokok berpotensi tidak efektif menurunkan jumlah konsumsi rokok. Kebijakan tersebut justru dapat mengancam keberlangsungan IHT yang memiliki peran strategis bagi perekonomian nasional,” jelasnya.

Padahal, kata dia, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Pemerintah mulai 2021 menargetkan akan menurunkan prevalensi perokok anak usia sekolah.

Jika pada 2021 terdapat 9,1 persen perokok anak usia sekolah, tahun 2022 ditargetkan menjadi 9,1 persen. Dengan begitu tahun 2024 tinggal 8,8 persen anak usia sekolah yang masih merokok. Bahkan diharapkan lebih rendah lagi.

Penurunan prevalensi ini bertujuan untuk meningkatkan sumber daya manusia agar lebih berkualitas dan berdaya saing.

Baik Joko Budi Santoso maupun Imanina menjelaskan dari hasil survei yang dilakukan PPKE FEB Universita Brawaijaya, didapatkan data 47 persen perokok usia dini berada dalam keluarga yang memiliki pendapatan lebih dari Rp 2.000.000 per bulan.

Angka pendapatan tersebut menurut kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan kategori nonmiskin. BPS menyebutkan bahwa garis kemiskikanan rata-rata secara nasional sebesar Rp 1.990.170 per rumah tangga per bulan.

Hasil survei terhadap jumlah rokok yang dikonsumsi oleh perokok usia dini menunjukkan bahwa 28 persen perokok usia dini mengkonsumsi rokok sebanyak 1 – 2 batang per hari, 27 persen mengkonsumsi 5 – 6 batang per hari, 18 persen mengkonsumsi 3 – 4 batang per hari,” papar Joko Budi Santoso.

Perilaku Merokok 

Ditambahkan Imanina, hasil survei terhadap perilaku merokok pada usia dini juga menunjukkan bahwa 95 persen perokok usia dini membeli harga rokok seharga Rp1.500 per batang. Empat persen perokok usia dini membeli rokok seharga Rp1.000 per batang.

Perokok usia dini cenderung lebih sering membeli rokok dalam bentuk eceran di Pedagang Kaki Lima (PKL). Selain membeli rokok secara eceran, perokok usia dini kerap mengkonsumsi rokok dengan pola merokok bersama teman sebaya.

“Berkaitan dengan harga rokok, hasil survei menunjukkan bahwa 57 persen perokok usia dini memilih tidak beralih produk rokok jika harga rokok mengalami kenaikan, sedangkan 43 persen lainnya memilih untuk beralih ke produk lain jika harga rokok naik. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan harga rokok tidak berpengaruh terhadap perubahan konsumsi rokok usia dini,” papar Imanina.

Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) berdiri sejak 28 Agustus 2000 berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.

PPKE merupakan wadah bagi para akademisi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya untuk memberikan solusi dalam mengelola pemerintahan (khususnya daerah).

Berjalannya Otonomi Daerah dan munculnya berbagai dinamika pemerintah daerah dari sisi ekonomi dan bisnis menjadi dasar didirikannya PPKE.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Saeno
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro