Bisnis.com, JAKARTA - Perupa Ivan Sagita, Sigit Santoso, Gusti Alit Cakra, Narko Hanjaya dan I Wayan Sudiarta, menggelar pameran bertajuk ‘Affirmation’ di Dia.lo.gue Artspace Jakarta yang berlangsung sampai 31 Juli 2013.
Para seniman ini tumbuh dari generasi dan latar belakang sosial dan kultural yang berbeda. Mereka mengembangkan gagasan, juga cara ungkap melalui karya-karya yang unik dan otentik.
Otentisitas ini pulalah yang menempatkan mereka pada penilaian atau afirmasi ini. Pengantar pameran ini ditulis oleh Suwarno Wisetrotomo, seorang dosen di ISI, Jogjakarta.
Afirmasi memiliki arti ‘menegaskan’ atau ‘mengukuhkan’ bukan hasil dari proses, kesan selintas, atau pencapaian sesaat, apalagi kebetulan. Akan tetapi merupakan proses panjang yang dilakoni seseorang dengan teguh, tekun, seksama, melalui proses (semacam) penelitian, eksplorasi, eksperimentasi terus-menerus, yang berujung pada penilaian serta kesimpulan untuk mengukuhkan pencapaian seseorang yang dimaksud.
Tubuh terus menjadi kajian dan sumber inspirasi bagi banyak seniman, karena di dalamnya tersimpan kompleksitas riwayat, pengalaman, dan narasi. Salah seorang perupa yang terus menyelidik dengan tekun perkara tubuh adalah Ivan Sagita, alumni ISI Yogyakarta, yang kini tinggal dan berkarya di Yogyakarta.
Ivan Sagita terus mengeksplorasi tubuh diri maupun sosial. Ivan Sagita mengamati dari dekat, dan mengolahnya menjadi ide karyanya. Ivan dalam kesadarannya, masuk dan keluar, ulang-alik merenungkan, antara kesementaraan dengan kekekalan, atau antara kefanaan dan keabadian. Di sekitar itulah berkelindan absurditas.
Isu di sekitar tubuh, eksistensi, dan komentar kritis melalui gesture, juga menjadi dasar pijak karya-karya lukisan Sigit Santoso (alumni ISI Yogyakarta, yang tinggal dan berkarya di Yogyakarta).
Pelukis ini menggunakan pendekatan realistik, dan hampir selalu melemparkan tema-tema atau isu-isu kritis, yang tak jarang menohok kesadaran siapapun. Ia dengan caranya yang ‘halus dan canggih’ dan seringkali sinis, melempar olok-olok baik untuk dirinya sendiri (selft critic), maupun untuk orang lain.
Sementara itu karya-karya Wayan Sudiarta juga soal tubuh; lenggok-liuk para penari yang penuh greget jiwa dalam (taksu), dipadu dengan ketrampilan gerak. Salah satu karya Sudiarta, “Intimidasi Hitam Putih” (2013), menarik dicermati; dari dalam tubuh sang perempuan penari seperti muncul sosok-sosok (lima sosok) berukuran tubuh lebih kecil, belang hitam putih, dengan gerak tarian yang lebih gagah.
Lain lagi dengan Narko Hanjaya yang menunjukkan diri bahwa berkesenian – melukis – adalah perpaduan antara ketrampilan, ketekunan, dan pada ujungnya adalah berolah jiwa. Menggoreskan pena atau kuas, mengamati detil, memilih sudut pandang yang tepat, adalah bukan soal ketrampilan semata, tetapi sudah melibatkan persoalan kepekaan dan ketahahan mental.
Gusti Alit Cakra (alumni ISI Yogyakarta, tinggal dan berkarya di Yogyakarta) satu-satunya dalam pameran ini, yang karya-karyanya menghadirkan citraan nonrepresentasional. Meski demikian, sebenarnya karya-karya Alit tetap bertolak dari realitas atau peristiwa keseharian, yang dipicu oleh pergerakan semesta.