Bisnis.com, JAKARTA— Ubud Village Jazz Festival (UVJF) 2013 memang telah usai, tetapi spiritnya masih bergema di hati para pencinta musik jazz.
Inilah ajang musik yang ingin menjejakkan jati diri dan langsung tancap gas untuk perhelatan serupa tahun mendatang.
Tak berlebihan jika festival ini pantas mendapat perhatian, lantaran menyajikan suguhan musik berbeda dengan festival jazz yang ada di Tanah Air.
Pemilihan musisi, genre jazz yang disajikan, hingga kemasan panggung yang merujuk keasrian desa. Ubud yang telah berabad menyandang predikat desa internasional pun memberikan aura berbeda ketika 2 hari pergelaran jazz yang bertepatan pada Lebaran hari kedua dan ketiga, Agustus lalu.
Penonton yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air, juga pelosok dunia bergeming mengikuti alunan musik mulai pukul 15.00 hingga tengah malam.
Penggagas sekaligus yang ikut sibuk dalam festival ini Anak Agung Anom Darsana dan Yuri Mahatma tampak bahagia di sela-sela penonton yang tak henti menggoyangkan tubuh, berjingkrak mengikuti entakan musik jazz 1940-an.
“Kami memang ingin tampil beda dengan menghadirkan akar jazz, selain mengibur kami ingin berbagi khazanah musik jazz yang selama ini masih dipahami secara terbatas” kata Yuri.
Anom dan Yuri pada kurun 2010-2012 secara berkala menggelar konser Jazz Rendez-Vouz di Serambi Art Antida, di Kota Denpasar.
Acara ini kemudian dipindahkan dan berkembang menjadi Ubud Village Jazz Festival. Memang, kebanyakan generasi sekarang lebih mafhum world music, hiphop, jazz fusion. Pun kebanyakan festival menyuguhkan jenis musik tersebut.
Sementara itu, festival di Ubud yang mengusung nama village (desa) seolah ingin pulang kampung, kembali ke asal. Ada yang menyebut kembali ke khittah pada era keemasan jazz dengan bigband, swing, bebop yang digandrungi ketika itu.
Hal lain yang membuat UVJV berbeda adalah semangat ngayah atau gotong-royong para pendukungnya. Sejak dipersiapkan pada pertengahan 2012, sejumlah komunitas membantu mulai dari sound system, fotografi, film, transportasi, akomodasi, konsumsi dan lain-lain. Ini sangat meringankan dan biaya dapat ditekan seminimal sehingga panitia yang urunan modal awal bisa terbantu.
PENGENALAN JAZZ
Begitulah upaya untuk mewujudkan festival yang diyakini sebagai langkah memperkaya batin dan membentuk keadaban manusia melalui musik. Bukan suatu kebetulan jika sejumlah musisi dan grup jazz yang seia-sekata rela datang dengan sukarela.
Uwe Plath dan Dian Pratiwi, dari Jerman misalnya, membiayai sendiri untuk transportasi ke Bali. Dian yang dosen vokal jazz di sebuah kampus di Dortmund, Jerman ini memang berasal dari Bali, jadi merasa ikut bertanggung jawab secara moral untuk menyukseskannya.
Memang, tidak semua musisi bisa dihadirkan seperti itu, tetapi paling tidak hampir seluruhnya memberikan kemudahan untuk hadir dan bermain secara simultan di tiga panggung yang didesain hemat energi dan ramah lingkungan.
Meskipun Ubud diguyur hujan sejak pagi, menjelang senja langit mulai bersahabat, seolah ikut mendukung penampilan malam pertamaUnderground Jazz Movement, Gustu Brahmanta Trio, Yokohama Association of Artists (Jepang), Openmind Quartet (Universitas Pelita Harapan), Pramono Abdi Pamungkas (Bali), Dian Pratiwi Uwe Plath Quartet (Jerman), Sandy Winartha, Koko Harsoe, Dewa Budjana, Astrid Sulaiman, Eko Sumarsono Projects, Chika Asamoto and No Black Tie All Stars, dan Ventura Trio.
Sebagian besar musisi yang tampil di malam pertama, kembali naik panggung pada malam kedua ditambah andil beberapa musisi di antaranya Joe Rosenberg and Jeko Fauzy Trio, The Jongens Quartet, Balawan and gamelan Master, Yuri Mahatma, Ito Kurdi, Peter Beets Trio (Belanda), dan Dwiki Dharmawan.
Tak ketinggalan Ben van den Dungen dari Rotterdam Conservatory, Belanda memberikan jazz master class dalam sebuah workshop gratis bagi pemegang tiket UVJF.
Maestro gamelan Nyoman Windia ikut pula memberikan pelajaran tentang kerawatian Bali yang telah mashyur itu. Astrid Sulaiman, pianis yang juga panitia festival mengatakan bangga bisa ikut terlibat dalam festival yang ujung tombaknya adalah para musisi jazz dengan panitia dari Bali.
Terlebih lagi hajatan ini mengedepankan karya original baik dari musisi lokal, nasional dan internasional. Kata dia idealisme UVJF harus tetap dipertahankan dan tahun depan musisi yang tampil tak jauh berbeda dengan komposisi sekarang yakni 50% dari Bali, 25% luar Bali, dan 25% musisi internasional.
Banyak, katanya, musisi internasional yang sedang dibidik untuk tahun depan yang diproyeksikan lebih besar dan menerjemahkan keinginan penggemar jazz klasik di Indonesia maupun wisatawan yang sedang berlibur di Bali.
Semua penggemar memang terus menunggu kejutan festival jazz desa berkelas dunia ini mengentak lagi di Ubud 2014 mendatang. (ltc)