Bisnis.com, JAKARTA--Film Soekarno, mencoba mengangkat sisi kemanusiaan sang tokoh yang selama ini jarang diketahui.
Misalnya, petikan dalam dialog Bung Karno dengan Bung Hatta berikut ini,
Hatta: “Bung Karno! Bung harus masuk ke dalam”
Soekarno : “Di dalam kan sudah ada ibunya...”
Hatta : “Tapi bung harus masuk...”
Soekarno: “Di dalam kan ada dokter..”
Hatta: “Fatma butuh bung sekarang”
Soekarno: “Tapi bung, saya takut darah...”
Manusiawi. Demikianlah cara Hanung Bramantyo menggambarkan sosok Bung Karno dalam film terbarunya, Soekarno. Di tangan Hanung sebagai sutradara, bapak proklamasi itu tidak sekedar menjadi tokoh heroik nasionalis yang berperan penting dalam sejarah Indonesia, melainkan juga seorang pria yang bergulat dengan emosi dan ambisinya sepanjang masa perjuangan.
Film ini bergulir pada 1912 dengan cerita seorang bocah lelaki bernama Koesno yang sering sakit-sakitan. Ayah Koesno, Raden Soekemi Sosrodiharjo (Sujiwo Tedjo), menganggap kondisi ini akibat nama anaknya yang tidak sesuai. Maka kemudian diadakanlah prosesi penggantian nama si bocah menjadi Soekarno, yang diilhami sosok Adipati Karno di kisah pewayangan.
Dari situ perlahan-lahan Hanung mulai menggiring penonton pada riwayat perkembangan pribadi Soekarno. Dari masa dia masih remaja dan berguru pada H.O.S Cokroaminoto, pendiri Sarekat Islam, sampai akhirnya membacakan teks proklamasi di Jl. Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta pada 17 Agustus 1945.
Adegan demi adegan dirancang Hanung untuk menggambarkan bagaimana Soekarno, yang saat dewasa diperankan Ario Bayu, berinteraksi dengan paham Marxisme sambil tetap memegang konsep keislamannya. Hal ini kemudian menjadi salah satu tonggak pemikiran Bung Karno dalam berpolitik.
Di sisi lain, Hanung tidak menginterpretasikan Soekarno sebagai sosok nan sempurna, tetapi sebagai seorang pria flamboyan yang menikah dengan Inggit Garnasih (Maudy Koesnaedi) setelah merebutnya dari suami pertamanya, dan pada kemudian hari malah jatuh cinta dengan Fatmawati (Tika Bavarni) yang seumuran dengan anak tirinya.
Pun, tokoh yang begitu garang saat berpidato di depan khalayak ternyata gugup juga ketika menghadapi proses persalinan anak pertamanya, Guntur Soekarno Putra, dan justru mengku takut dengan darah.
Cuplikan percakapan di atas terjadi pada adegan dimana Moehammad Hatta (Lukman Sardi) harus menarik-narik Soekarno supaya berani masuk ke ruang bersalin Fatmawati, yang sudah menjadi istrinya setelah dia menceraikan Inggit.
Saya bersyukur Hanung tidak bertele-tele memasukkan drama percintaan Bung Karno dengan banyak wanita, walaupun di tangan para produser sinetron hal itu jelas menjadi mainan utama. Dia memberikan takaran yang tepat dalam mengekspos sisi flamboyan ini, cukup untuk menampilkan bahwa Soekarno adalah manusia.
Selain alur cerita, tim produksi film ini juga sangat memperhatikan setting, sehingga penonton seakan dibawa memasuki suasana negeri ini sebelum kemerdekaan, lengkap dengan bendi, mobil-mobil antik, dan kostum tempo doeloe.
Tubuh-tubuh kurus pribumi, jas-jas rapi jali milik para meneer, hingga pedang-pedang samurai yang terselip di pinggang para jenderal Nippon menjadi elemen pemanis untuk melengkapi nuansa ketegangan yang disulam di antara adegan-adegannya.
Hanung juga tidak sungkan menampilkan cipratan darah, terutama saat menyajikan adegan romusha (kerja paksa) atau makian ala jawa timuran yang, sayangnya, kurang fasih dilafalkan oleh Ario Bayu.
Meskipun tokoh Soekarno menjadi sentral dalam film berdurasi dua jam 18 menit ini, ada tokoh-tokoh lain yang juga mencuri perhatian.
Sutan Sjahrir, yang diperankan dengan baik oleh Tanta Ginting, mampu menyamai ledakan pribadi Bung Karno, dan Hatta, yang merupakan sepupu Sjahrir, memiliki ketenangan dan sifat serba analitis yang mampu mendinginkan kepala keduanya saat tengah berdebat sengit.
Pada akhirnya, dua tokoh inilah yang mampu menyimpulkan dengan baik karakter Soekarno. “Dia orang yang agitatif, narsistik...” kata Sjahrir. “Dan sangat mencintai rakyatnya.” pungkas Hatta.
KONTROVERSIAL
Film-film yang diangkat berdasarkan biografi seorang tokoh sangat erat dengan kontroversi. Evita Peron, film musikal legendaris yang tokoh utamanya diperankan Madonna, sempat memancing kegusaran rakyat Argentina.
‘
Adapun film tentang mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher, “Iron Lady”, menuai protes dari keluarga yang bersangkutan. Keduanya memenangkan penghargaan Academy Awards atau Oscar, yang sangat bergengsi di dunia perfilman.
Kontroversi yang sama juga muncul beberapa bulan sebelum Soekarno dirilis. Rachmawati Soekarno Putri, anak dari Soekarno, menggugat Hanung dan Raam Punjabi selaku produser. Alasannya, kedua orang ini menyalahi perjanjian dengan tidak melibatkan Rahmawati dalam konten film.
Tidak hanya itu, Rahmawati juga sempat mengancam akan menggugat bioskop yang menayangkan film tersebut, termasuk pihak sponsor.
Dalam pembelaannya, Hanung mengaku tidak punya niat sama sekali untuk menjelek-jelekkan siapapun dalam filmnya. Multivision Plus, perusahaan milik Raam Punjabi, juga akhirnya memutuskan untuk tidak meladeni somasi Rachmawati.
Di luar itu semua, film ini adalah salah satu karya terbaik dari Hanung Bramantyo, dan cukup layak jika anda mengeluarkan uang untuk menontonnya di bioskop. Sebagai gambaran, saya tidak sekalipun menguap sepanjang pemutaran perdana film ini, walaupun sebelumnya sempat dibuat menunggu tidak jelas selama tiga jam.