Bisnis.com, JAKARTA - “Merawat si kembar kalau dibilang repot ya repot banget. Satu bayi saja sudah repot apalagi dua bayi kan? Satu menangis, lainnya ikut menangis. Itu ketika mereka masih bayi,” tutur Rita Hidayati, seorang karyawati swasta di Kota Semarang yang dikaruniai anak kembar bernama Alisa dan Alanis.
Namun, lanjutnya seiring berjalannya waktu, kerepotan itu dapat teratasi berkat koordinasi yang baik, tidak saling lempar tanggungjawab antara dirinya dan sang suami. Alisa dan Alanis adalah anak ketiga dan keempat yang lahir pada 27 Mei 2010.
Rita mengisahkan meskipun keduanya sejak dalam kandungan hingga sekarang sering bermain bersama, namun dirinya tidak harus menyamakan perlakukan dalam merawat mereka, karena karakter, minat dan hobinya pun berbeda.
“Alisa lebih aktif dan dinamis, sedangkan Alanis cenderung tenang dan pasif. Dan kebetulan keduanya tidak kembar identik,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Zuhdiar Laeis, karyawan swasta di Kota Semarang yang juga seorang ayah dari kembar identik bernama Giftan Azkaniar L dan Giftan Azraniar L. Mereka berdua, Azka dan Azra lahir pada 16 Februari 2012 dari rahim sang istri Ardiyanita Siskandini.
Menurut Zuhdiar sebenarnya dalam merawat si kembar tidak jauh berbeda dengan keluarga lainnya yang tidak kembar, hanya saja memerlukan tenaga cukup ekstra dalam merawat keduanya.
“Sebagai keluarga baru langsung merawat dua orang anak kembar tentu cukup merepotkan, tetapi Alhamdulillah dengan bantuan keluarga besar, semuanya dapat tertangani dengan baik,” ujarnya.
Zuhdiar mengaku meskipun anaknya kembar, dalam memperlakukan keduanya tidak harus selalu sama, misalkan dalam membelikan baju, saya tidak selalu memilih dengan warna yang sama, karena dia ingin mengajarkan sejak dini tentang arti perbedaan. "Iya mereka kembar, tetapi kan mereka dua individu yang berbeda,” ujarnya.
Menurutnya dengan tidak selalu memperlakukan sama bagi keduanya, juga akan menumbuhkan kemandirian dan tidak ketergantungan satu sama lain ke depannya.
“Tidak benar juga jika satu anak sakit, yang lain otomatis ikutan sakit, itu sugesti orang tua saja. Apabila satu orang sakit, jaga supaya yang lain tidak ikut tertular,” ujarnya.
Sementara itu, Psikolog Anak dan Keluarga dari Medicare Clinic dan Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Anna Surti Ariani mengatakan apa yang telah dilakukan oleh kedua keluarga di atas secara garis besar sudah benar.
“Meskipun anak kembar, sebetulnya jangan terus-terusan disama-samakan perlakuannya, seperti misalnya bajunya sama atau seragam, karena kalau keterusan, anak-anak tersebut akan menjadi tidak terlalu mengenal perbedaan dengan sodara kembarannya. Padahal mereka tetap berbeda,” tuturnya.
Menurutnya hal tersebut akan terlihat pada fase remaja, saat itu adalah fase mengenali identitas diri. Apabila keduanya selalu disamakan dengan kembarannya, akan bingung dan sulit menemukan indentitas dirinya masing-masing.
“Akan banyak mengalami problem, misalnya rasa percaya diri yang kurang berkembang, kurang berani menentukan keputusan sendiri, tidak berani mengambil resiko,” terangnya.
Nina mengatakan untuk beberapa moment sah-sah saja memakaikan atau membelikan baju yang sama atau seragam, tetapi sebaiknya tidak terlalu sering.
Selain itu, lanjutnya sebaiknya memberi panggilan si kembar tidak dengan sebutan kakak adik, akan tetapi panggilan nama saja.
“Karena yang perlu disadari adalah dampak dari lingkungan yang beranggapan bahwa peran kakak diidentikkan dengan memiliki tanggungjawab yang besar dibandingkan adiknya, jangan sampai hal itu mengganggu psikis anak yang dipanggil kakak,".ujarnya.
Padahal mereka adalah sama seusia, teman main sejak dalam kandungan. Pun begitu, meskipun secara fisik wajah kembar, tidak harus selalu disamakan dalam berbagai hal, karena mereka adalah pribadi yang berbeda.
“Tidak usah dibanding-bandingkan satu sama lain, karena bagaimanapun mereka adalah dua pribadi dengan kemampuan yang berbeda pula,” tuturnya.