Bisnis.com, JAKARTA --Kekayaan Indonesia di bidang jamu masih belum dimanfaatkan secara optimal.
Selain belum dimanfaatkan secara optimal, informasi tentang jamu belum terkelola dengan baik.
Tak hanya itu, kesadaran pengusaha jamu untuk penerapan aspek hygiene dan sanitasi juga masih menjadi catatan penting.
Hal lain yang menjadi sorotan terkait jamu adalah cara pembuatan obat tradisional, serta masih ditemukannya jamu yang dicampur dengan bahan kimia obat.
Hal itu terungkap dalam simposium nasional masalah jamu yang bertema Peluang dan Tantangan Obat Tradisional dalam Pelayanan Kesehatan Formal, berlangsung di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Sabtu (15/3/2014).
Dalam paparannya, Kepala Badan POM, Roy A. Sparringa menyampaikan bahwa setidaknya ada empat isu strategis dalam peningkatan citra jamu atau obat tradisional Indonesia.
Keempatnya, seperti disampaikan di atas yaitu:
- belum dimanfaatkannya potensi kekayaan jamu Indonesia dengan optimal
- belum terkelolanya informasi jamu dalam pemeliharaan kesehatan
- masih rendahnya kesadaran pengusaha jamu untuk penerapan hygiene dan sanitasi, penerapan cara pembuatan obat tradisional yang baik, serta
- masih ditemukannya jamu yang dicampur dengan bahan kimia obat.
Untuk mengatasi itu, ujar Roy, diperlukan keterlibatan semua pihak baik pemerintah, pelaku usaha, akademisi, maupun masyarakat untuk dapat mengembangkan potensi obat tradisional Indonesia.
"Simposium ini merupakan wujud peran aktif akademisi dalam pengembangan obat tradisional yang sudah lama digunakan untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat Indonesia, " tutur Asisten Wakil Dekan Fakultas Kedokteran UGM dalam laman pom.go.id, Minggu (16/3/2014).
Menurut Roy, di Indonesia tidak semua obat tradisional bisa diresepkan oleh dokter.
Hanya fitofarmaka yang dapat diresepkan oleh dokter, dan sampai saat ini, ujar Roy, baru 6 fitofarmaka yang terdaftar di Badan POM.
Simposium ini diselenggarakan untuk mencari kemungkinan obat tradisional dapat digunakan pada pelayanan kesehatan formal, sejajar dengan obat konvensional.
Selain Kepala Badan POM, narasumber lain dalam simposium ini adalah Wakil Kementerian Kesehatan dan akademisi Fakultas Kedokteran UGM.
Simposium menghasilkan kesimpulan bahwa walaupun tidak mudah, peluang obat tradisional untuk dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan formal terbuka lebar.
Untuk itu kerja sama interdisipliner termasuk kerja sama pemerintah, perguruan tinggi, dan industri sangat diperlukan dalam mengembangkan obat tradisional menjadi fitofarmaka agar semakin banyak obat tradisional yang dapat diterima dalam pelayanan kesehatan formal.