Bisnis.com, JAKARTA - Tidak ada yang bisa menghentikan kreatifitas seorang Putu Wijaya. Meskipun dihantam penyakit kelainan pembuluh darah pada akhir 2012, yang menyebabkan tangan kirinya tidak bisa bergerak, Putu masih menghasilkan karya-karya berupa cerpen, esai hingga lukisan.
Pada Kamis malam (3/4/2014) di Bentara Budaya Jakarta, Putu bersama anak lelakinya, Taksu Wijaya membacakan cerpen favoritnya, Merdeka dengan penuh atraktif. Meskipun tampil sambil duduk di kursi, semangat Putu masih terpancar dan menggebu-gebu. Demikian aksi Putu ketika membuka pameran lukisannya Bertolak Dari yang Ada pada 3-12 April 2014.
Dunia lukis sebetulnya bukan hal baru bagi Putu. Dia sempat belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta selama setahun. Kini, kegiatan melukisnya tengah digarap kembali. Terbukti, 27 dari 40 lukisan yang diproduksinya tengah dipamerkan yang membuat sebagian kalangan cukup apresiatif dengan kehadiran karya lukisan Putu.
Salah satu lukisannya berjudul Jangan Sentuh Kami (100 x 100 cm, cat minyak di atas kanvas, 1974) hadir menghiasi pameran. Jika dibandingkan dengan karya-karya terbarunya, lukisan Putu ini akan tampak berbeda baik dari cara pemilihan warna, tema hingga isi lukisan.
Mungkin karena sudah terlihat tua, warna pada lukisan ini tampak usang. Namun, dari sini bisa terlihat bagaimana karakter lukisan awal Putu. Karyanya memberikan identitas sendiri dibandingkan dengan lukisan yang dihasilkannya pada masa berkeseniannya kini—Putu seolah asik bermain dengan warna cerah dan glamor dalam beberapa goresan di atas kanvasnya.
Memasuki 1998, Putu tampaknya sudah mulai menemukan objek dan tema lukisan. Dia mulai menggoreskan kuasnya dengan memilih tema pohon. Di sinilah relevansi antara karya sastra dan lukisnya terlihat. Bertolak Dari yang Ada, sesuai tema yang diusung pameran bisa dipahami sebagai ‘ideologi’ Putu dalam berkarya. Pada lukisan Cinta Tak Kenal Henti (60 x 70 cm, cat minyak di atas kanvas, 1990) Putu melukis pohon terbalik. Akar pohon yang seharusnya di bawah, dia jadikan di atas sebagai potret kondisi kekisruhan pada masa itu.
Pada 2000, karakter lukisan bertema pohon yang dihasilkan Putu tampak jelas. Lukisan berjudul Walau Angin Bertiup Kencang (60 x 70 cm, cat minyak di atas kanvas, 2000), menandakan Putu sudah menemukan bentuk objek lukisannya tersebut. Jika pada 1998 lukisannya masih mencari celah dan warna, pada lukisan ini, Putu sudah berani bereksplorasi dengan warna. Hingga pada periode penyakit menyerang tubuhnya, pada 2012 itu, lukisannya sudah benar-benar berkarakter: pohon, warna dan garis yang cenderung ekspresif.
"Lukisan saya kebanyakan menggambarkan tentang pohon. Tetapi saya mencoba keluar dari estetika yang ada. Saya melukis pohon tidak dengan warna yang seharusnya. Saya melukis daun dengan warna biru atau warna lainnya yang tidak melulu hijau," tuturnya.
Meskipun tampak mendobrak estetika yang ada, namun karya lukis yang dipamerkan Putu linier dengan apa yang dianutnya. Lukisan Matahari dan Pohon Kehidupan (120 x 90 cm, akrilik di atas kanvas, 2012) serta Wajah Kota yang Terbelah (120 x 90 cm, akrilik di atas kanvas, 2014) misalnya sangat terlihat tidak mencerminkan pohon pada umumnya. Tetapi, di sinilah sebenar-benarnya dunia Putu Wijaya yang tak mau sama dengan yang lain.