Pertemuan keduanya dalam panggung tersaji ketika Didik ngamen ke rumahnya. /bisnis.com
Show

Matinya Sang Maestro, Refleksi Guna Menjaga Nusantara Raya

Diena Lestari
Minggu, 20 April 2014 - 11:50
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Banyak slogan yang mengumandangkan sebuah optimisme berbangsa, tapi nyatanya itu hanya slogan. Kebudayaan dan kesenian sebagai pilar dalam menjaga keberlangsungan nusantara raya dipandang sebelah mata. Tetapi layaknya sebuah perjuangan tanpa henti, pelaku seni tak pernak kapok untuk bersuara bahkan jika perlu berteriak.

Itulah yang ingin disuarakan para maestro kesenian dalam pertunjukan “Matinya Sang Maestro”, pada 12-13 April 2014, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM). Pertunjukan besutan Agus Noor ini membuat gedung pertunjukan hangat penuh tawa. Lebih dari 120 menit penonton digiring kepada sebuah ironi yang dibalut sangat manis.

Cak Kartolo dan Didik Nini Thowok sebagai tokoh sentral tidak perlu memberikan topeng dalam karakter mereka, cukuplah memerankan dirinya sebagai pelaku seni yang terus berjuang. Kartolo yang menekuni kesenian ludruk harus gigit jari ketika perhatian dari pemerintah hanya akan diberikan sesudah ia meninggal. Sedangkan Didik sebagai penari tradisional yang terkenal dengan “tari Dwirupa” hanya bisa melongo ketika sajian joget oplosan merajai televisi.

Pertemuan keduanya dalam panggung tersaji ketika Didik ngamen ke rumahnya. Ditemani Djaduk Ferianto romansa kejayaan masa lalu terulang kembali. Itulah yang pada akhirnya membawa Kartolo dan Didik memilih untuk mengamen bersama. Upaya melestarikan kebudayaan tidak pernah mati, baik lewat pertunjukan di gedung mewah hingga turun ke jalanan langsung. (David Eka Issetiabudi & Diena Lestari

Pemerintah seakan setengah hati dalam memperhatikan para maestro, mereka lebih memilih memberikan bantuan dana yang terkesan terlambat dan bersifat simbolis. Hal itu terekam dalam sebuah adegan dimana Marwoto yang memerankan pihak pemerintah meresmikan monumen untuk maestro Cak Kartolo.

Ironi tragis ini tersaji dibalut dengan sindiran dan gojekan kelas atas. Sepanjang pertunjukan penonton seakan tak bisa berhenti tertawa melihat setiap adegan. Dialeg khas mataraman dipadu dengan jawatimuran semakin membuat pertunjukan begitu hidup. “walau begitu kita harus titen ya mas, harus tau konteksnya” Ungkap Cak Kartolo menjawab pertanyaan mengenai dialeg yang digunakan. Lengkapnya pertunjukan ini karena didukung juga oleh Trio pelawak Guyonan Ala Mataraman (Gareng Rakasiwi, Joned, Wisben), Sruti Respati, Yu Ning, Cak Sapari dan comic Insan Nur Akbar.

Dalam menyajikan pertunjukan ini, Agus Noor merasa beruntung mendapatkan pemeran yang sudah tidak diragukan sepak terjangnya. Sajian pertunjukan yang merupakan seri dari “Indonesia Kita” memberikan warna berbeda kali ini. Agus Noor menuturkan bahwa pertunjukan kali ini mengusung isu humanisme dan hal ini tak biasa menurutnya. “kata temen sih, cukuplah kamu menyajikan yang lucu-lucu” Ungkap sang Sutradara.

Sementara itu, Butet Kertarajasa yang menjadi Produser menuturkan, bahwa ini adalah bentuk keseriusan maestro untuk terus berkesenian dan bersuara. “Pokoknya, kami tidak pernah kapok untuk ngritik” tutur Butet. Dalam membawakan pertunjukan ini, Butet merasa para aktor merasa senang dan santai karena inilah dunianya.

Pertunjukan yang tiketnya sudah soldout semalam sebelumnya disambut meriah oleh para penontonnya. Salah satunya Eko, dari Duren Sawit mengatakan, mengaku menjadi penonton sejati dari setiap pertunjukan seri Indonesia Kita. Lain halnya pemuda asal Slipi, Bayu (22), mengatakan menyempatkan diri untuk menonton karena menyukai garapan Agus Noor. “garapannya Agus itu rapih, jadi aku suka” ujar Bayu.

Disamping itu, para undangan merespon baik diadakannya pertunjukan semacam ini, salah satunya budayawan FX Mudji Sutrisno. Ia menuturkan pertunjukan semacam ini pantas diadakan pada waktu sekarang. “tadi sudah dikatakan, ada baiknya pemimpin kita besok adalah pemimpin yang mengerti kebudayaan” ungkap salah satu pengajar di STF Driyakarya ini pada Bisnis. Ia juga menuturkan, ada baiknya para filantrofi juga fokus dalam bidang kesenian dan menggelontorkan dana yang lebih besar.

“Ini sindiran yang amat tajam, kita tragis sekali ternyata,” tambah Romo Mudji. Seharusnya perhatian pemerintah tidak hanya pada ranah penghargaan dan bentuk simbolik tetapi lebih pada perawatan dan pembinaan. Dan menurutnya di negara ini masih nol besar.

Pengabdian maestro tak ada hentinya, sudah sepantasnya pemimpin mendatang menjadikan kebudayaan menjadi panglimanya. Kebudayaan menjadi jurus sakti, untuk menjaga nusantara raya agar tetap bersatu. Tidak perlu berkoalisi untuk bersuara, para maestro akan tetap menjadi garda terdepan dalam memelihara kebudayaan walau pemerintah menutup mata.

Penulis : Diena Lestari
Editor : Fatkhul Maskur
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro