Gadis Suku Sasak tengah menenun kain songket Lombok/JIBIFoto-Sukirno
Travel

PESONA WISATA LOMBOK: Pulau Seribu Masjid, Pulau Sejuta 'Maling'

Sukirno
Sabtu, 3 Mei 2014 - 13:46
Bagikan

Bisnis.com, MATARAM - Pernahkah mendengar istilah "Pulau Lombok adalah pulau seribu masjid dengan sejuta maling". Anda tahu apa arti istilah tersebut?

Begini ceritanya. Pulau Lombok yang termasuk Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) seperti kebalikan dari Pulau Bali. Di pulau ini, mayoritas masyarakatnya muslim.

Masjid-masjid megah dan mewah akan dengan mudah dijumpai di setiap desa di sepanjang perjalanan di pulau ini. Pulau ini terbagi dalam 4 kabupaten yakni Lombok Barat, Tengah, Timur dan yang terbaru adalah Lombok Utara.

Masuk akal apabila pulau yang berada tak jauh dari Bali ini disebut memiliki seribu masjid. Tapi, kenapa disandingkan dengan istilah 'sejuta maling'?

Untuk mendapat jawabannya, cobalah berkunjung ke desa adat Sade, Lombok Tengah. Desa Sade adalah salah satu dusun di Desa Rimbitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah.

Suku Sasak, sebagai suku asli Pulau Lombok yang berasal dari etnik Austronesia, mendiami desa ini dan dijadikan sebagai desa wisata budaya. Masyarakat di desa ini masih memegang teguh adat dan budaya dari nenek moyang mereka.

Suku Sasak

Wahid, salah satu warga desa ini yang menjadi pemandu wisata menjelaskan, Desa Sade merupakan desa tertua Suku Sasak yang kini telah berkembang menjadi 9 kampung. Desa yang terdiri dari 150 rumah dengan 150 kepala keluarga ini didiami oleh 700 penduduk.

"Semua orang disini bersaudara karena kawin dengan sepupu-sepupu masing-masing, sangat jarang yang menikah dengan penduduk luar Desa Sade," ujarnya.

Pernikahan dengan sesama suku Sasak dinilai lebih murah karena hanya memerlukan mahar seperangkat alat salat. Sedangkan jika menikah dengan warga luar, maharnya bisa saja dengan 2 ekor kerbau, sangat mahal bagi mereka. Seluruh warga Sade adalah muslim.

Pernihakah di Suku Sasak terbilang unik. Para pria diharuskan untuk menculik atau melarikan gadis pujaannya sebelum mereka menikah.

Setelah diculik - warga setempat menyebutnya dicuri seperti maling - orang tua pihak laki-laki akan meminta seorang penengah atau disebut penyelabar, untuk dipertemukan dengan pihak keluarga perempuan.

Penyelabar itulah nantinya yang akan melaporkan kepada ketua adat dan orang tua perempuan. Penyelabar ini yang mengabarkan bahwa anak gadis dari orang tua si perempuan telah dilarikan. Pihak pria serius untuk menikahinya.

"Kalau laki-laki meminta secara baik-baik kepada orang tua perempuan, nanti malah gadis itu dianggap barang. Tapi kalau dicuri justru menjadi terhormat," tuturnya.

Nah, dari adat inilah alasan Lombok disebut sebagai pulau sejuta "maling". Bukan berarti di Lombok banyak pencurian dan tidak aman, tetapi terkait cara perkawinan di Suku Sasak yang harus dilakukan dengan cara melarikan anak gadis orang.

Anak gadis Suku Sasak, tidak akan diculik apabila belum bisa menenun kain songket khas Lombok. Rata-rata gadis Sasak akan menikah pada usia 15-16 tahun dan pria akan menikah pada usia 18-19 tahun.

Orang tua telah mengajari anak-anak gadisnya menenun sejak usia 9 tahun. Menenun kain adalah pekerjaan perempuan disela-sela menunggu suami atau para pria yang bermata pencaharian sebagai petani sawah tadah hujan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Sukirno
Editor : Yusran Yunus
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro